Di dalam negara yang menganut sistem presidensial seperti Amerika Serikat dan Indonesia, seorang presiden memegang kekuasaan sangat besar. Dengan mandat yang diterimanya lewat pemilihan presiden, ia menentukan banyak hal, mulai dari hitam putihnya kebijakan luar negeri hingga bagaimana wajah kehidupan ekonomi bangsanya. Memang ada lembaga legislatif yang menjadi ”partner”, yang sewaktu-waktu bisa memberi perimbangan terhadap beberapa kebijakan presiden, tetapi tetap saja sebagian besar arah perjalanan negara diwarnai Sang Presiden.
Dalam bekerja, presiden dibantu para menteri. Biasanya ada pula sekelompok penasihat yang tak henti-hentinya memasok sang presiden dengan informasi dan analisis. Namun, semua ini tetap tak mengurangi posisi presiden sebagai pengambil keputusan akhir.
Di AS, beberapa waktu lalu, Penasihat Keamanan Nasional John Bolton yang bertugas memberi masukan kepada Presiden Donald Trump diberhentikan. Hal itu diungkapkan Trump melalui Twitter meski Bolton menyampaikan bahwa sebenarnya dia mengajukan pengunduran diri, bukan diberhentikan. Apa pun itu, yang jelas Bolton sudah tak lagi di samping Trump untuk memberi saran dan informasi.
Bolton, Dubes AS untuk PBB 2005-2006 dan bekas komentator di televisi Fox News, dikenal berpandangan keras. Ia berdiri pada garis paling depan saat menyarankan AS agar meninggalkan Kesepakatan Nuklir Iran. Bolton, penasihat kebijakan luar negeri kandidat presiden 2012, Mitt Romney, juga berpandangan bahwa perlu ada pergantian rezim di Iran dan Korea Utara.
Belakangan, Trump dan Bolton berselisih pandangan berkaitan dengan perundingan damai AS dan kelompok Taliban Afghanistan, penyelesaian kasus Iran, serta denuklirisasi Korut. Perbedaan pendapat keduanya memuncak ketika Bolton berupaya agar Trump tak menandatangani perjanjian damai di Camp David dengan pemimpin Taliban. Trump akhirnya membatalkan rencana itu.
Beberapa kalangan mengungkapkan harapan bahwa dengan hengkangnya Bolton dari Gedung Putih, kebijakan luar negeri AS akan lebih lunak. Saat ini, salah satu pihak yang mungkin tak sabar bertemu Pemerintah AS lagi guna bernegosiasi adalah Korut.
Pyongyang selama ini melihat Bolton sebagai ganjalan besar. Hal itu dirasakan Pyongyang sejak lama. ”Pyongyang melihat Bolton sebagai ancaman terbesar, bahkan sejak masa pemerintahan George HW Bush memberikan pandangan garis kerasnya, seperti mendukung perubahan rezim di Korea Utara,” kata Ryo Hinata-Yamaguchi, profesor tamu di Pusan National University, Korea Selatan, seperti dikutip scmp.com, 12 September 2019.
Pyongyang melihat Bolton sebagai ancaman terbesar, bahkan sejak masa pemerintahan George HW Bush memberikan pandangan garis kerasnya, seperti mendukung perubahan rezim di Korea Utara.
Karena itu, menurut dia, pasca-kepergian Bolton, Korut akan merasa bahwa Trump bakal fleksibel dalam memenuhi tuntutan negara itu. Korut beberapa waktu lalu menyatakan siap kembali menegosiasikan denuklirisasi dengan AS setelah kegagalan pertemuan Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong Un di Vietnam, Februari silam.
Namun, benarkah harapan beberapa kalangan itu pasca-kepergian Bolton?
Dalam editorial tanggal 10 September 2019, harian The New York Times mengingatkan bahwa masalah tidak terletak pada Bolton atau penasihat presiden lainnya, tetapi pada diri sang presiden. Disebutkan, penunjukan Bolton sebagai Penasihat Keamanan Nasional pada Maret 2018 merupakan contoh ”kekacauan khas Trump”. Presiden Trump saat itu ingin mengakhiri ketegangan di Korea dan pertikaian di Afghanistan serta mewaspadai konflik di Iran ataupun Venezuela. Namun, Trump malah memilih seorang ”pendukung perang” yang cenderung meremehkan diplomasi dan mendukung unilateralisme. Bolton dikenal juga berpikiran bahwa mengebom Korut dan Iran adalah cara terbaik untuk menetralisasi ancaman nuklir kedua negara.
Dengan kata lain, drama sesungguhnya belum selesai setelah Bolton hengkang karena tokoh sentral drama adalah Sang Presiden.