Menggugat Pembinaan Atlet Muda Bulu Tangkis
PB Djarum berencana menghentikan program beasiswa bulu tangkis pada 2020 setelah lembaganya dituding melakukan eksploitasi anak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Polemik penghentian audisi bulu tangkis oleh Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum menuai beragam reaksi dari masyarakat. Namun, di balik pro dan kontra audisi PB Djarum, gugatan sesungguhnya adalah model pembinaan bibit atlet nasional.
PB Djarum berencana menghentikan program beasiswa bulu tangkis pada 2020 setelah lembaganya dituding telah melakukan eksploitasi anak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tudingan ini dimulai pada akhir Juli 2019 ketika KPAI menyatakan bahwa kegiatan audisi beasiswa yang diselenggarakan PB Djarum merupakan praktik eksploitasi anak terselubung.
Dalam argumennya, KPAI mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam aturan itu terdapat larangan perusahaan rokok untuk menampilkan logo, merek, atau brand image produk tembakau dalam kegiatannya.
Di mata KPAI, audisi yang diselenggarakan PB Djarum sarat akan promosi produk tembakau yang tersirat dari warna hingga tulisan yang tertera di kaus peserta audisi. Dalam pertemuan antara PB Djarum, Kementerian Pemuda dan Olahraga, PP PBSI, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di kantor Kemenpora di Jakarta, Kamis (12/9/2019), PB Djarum sepakat mengubah nama kegiatan.
Nama Audisi Umum Beasiswa PB Djarum 2019 diganti menjadi Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis, tanpa menggunakan logo, merek, dan brand image Djarum. Sementara KPAI setuju untuk mencabut surat tanggal 29 Juli 2019 tentang permintaan pemberhentian audisi Djarum.
Audisi 2019 yang menyisakan penyelenggaraan di tiga kota tetap bergulir. Namun, untuk audisi 2020 dan selanjutnya, PB Djarum belum memutuskan apakah tahun depan akan melanjutkan audisi atau mengubah format perekrutan atlet-atlet muda.
Baca juga: Djarum Hentikan Program Audisi Bulu Tangkis Mulai 2020
Sebelumnya, PB Djarum memutuskan menghentikan audisi yang diumumkan pada Sabtu, 7 September 2019. Berhentinya kegiatan audisi beasiswa ini tidak membuat PB Djarum lantas membekukan sekolah bulu tangkis di bawah binaan mereka. Hanya saja, sudah hampir dipastikan tidak akan ada lagi audisi-audisi di daerah untuk mencari para calon penerus pebulu tangkis Indonesia.
Reaksi
Reaksi kekecewaan diungkapkan warganet di media sosial atas tindakan KPAI yang menuding PB Djarum. Bahkan, sudah muncul petisi daring di laman Change.org sebagai bentuk penolakan dan sudah ditandatangi lebih dari 15.000 partisipan hingga 11 September 2019 pagi hari. Dalam mengajukan tudingannya, KPAI didukung oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Yayasan Lentera Anak.
Kendati dalam RAPBN 2019 Kemenpora mendapat alokasi dana Rp 1,95 triliun, pembinaan talenta muda sejak dini tetap dirasa sulit karena dana tersebut lebih diutamakan untuk program-program prioritas, seperti persiapan SEA Games atau Olimpiade.
Kekecewaan masyarakat patut dipahami karena begitu banyak atlet bulu tangkis lulusan PB Djarum yang berhasil mengharumkan nama Indonesia selama ini. Sebut saja atlet sekaliber Liem Swie King (King Smash), Alan Budi Kusuma, Hariyanto Arbi, Tontowi Ahmad, dan Kevin Sanjaya Sukamuljo. Di laman resminya, PB Djarum pun turut mengklaim lebih dari 5.000 atlet bulu tangkis telah dibina dan dibiayai penuh oleh mereka sejak 1969.
Gayung bersambut, harapan diadakannya kembali audisi bulu tangkis PB Djarum turut dilontarkan Menpora Imam Nahrawi. Menurut dia, dunia olahraga membutuhkan dukungan dari pihak swasta, khususnya soal dana. Senada dengan Menpora, perwakilan PBSI sekaligus mantan atlet bulu tangkis, Susy Susanti, menyatakan keprihatinannya dan mengharapkan konflik ini dapat diatasi melalui mediasi semua pihak.
Sarat prestasi
Ketika Indonesia masih mencecap manisnya kemerdekaan, Presiden Soekarno menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pertama di Solo pada 8-12 September 1948. Selain untuk mempersatukan bangsa, PON menjadi kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia eksistensi Indonesia sebagai bangsa merdeka. Kala itu, Presiden Soekarno sudah menyadari bahwa ajang olahraga dapat digunakan sebagai narasi membangkitkan nasionalisme.
Begitu pula dengan bulu tangkis yang menjadi bagian dari sejarah ketika pertama kali tercatat sebagai pemenang Piala Thomas Cup 1958 berkat jerih payah Ferry Sonnevil, Tan Joe Hok, Njo Kiem Bie, Tan King Gwa, dan Eddy Jusuf. Di era-era selanjutnya dan bahkan hingga tahun ini, bulu tangkis selalu menorehkan prestasi di mata dunia. Maka, wajar jika muncul reaksi kekecewaan masyarakat dalam menanggapi kabar berhentinya audisi bulu tangkis PB Djarum.
Boleh jadi, bulu tangkis menjadi salah satu cabang olahraga yang konsisten berprestasi tiap tahun. Di Olimpiade, prestasi pertama diukir pada 1992 di Barcelona oleh Susy Susanti dan kawan-kawan yang membawa 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Pada ajang-ajang Olimpiade berikutnya, Indonesia tidak pernah absen membawa pulang medali, kecuali pada Olimpiade 2012 di London.
Aksi para atlet bulu tangkis pun selalu diikuti euforia masyarakat dengan mendukung, baik secara langsung di stadion maupun di layar kaca. Bahkan, euforia ini menular ke generasi muda dengan banyaknya anak-anak yang bermain bulu tangkis di jalanan perumahan. Olahraga ini seakan menjadi energi masyarakat untuk mengobarkan nasionalisme.
Dengan keputusan PB Djarum menghentikan sementara audisi beasiswa, masyarakat pun khawatir tidak ada lagi regenerasi atlet bulu tangkis. Anggapan ini tidak salah karena sejauh ini hanya PB Djarum yang menyelenggarakan audisi beasiswa secara nasional dan rutin. Padahal, ada pula klub-klub bulu tangkis yang juga menyediakan program beasiswa meskipun modelnya berbeda dan tidak setenar program PB Djarum.
Meskipun lebih sulit, regenerasi atlet bulu tangkis masih akan berlanjut. Klub-klub bulu tangkis pada dasarnya sama seperti sekolah pembinaan olahraga lainnya, yakni menerima anggota meskipun memang memerlukan biaya dari anggota. Misalnya, di PB Satria, Surabaya, yang menerima murid baru mulai usia enam tahun dengan iuran Rp 150.000 per bulan.
Baca juga: Eksploitasi Anak di Audisi PB Djarum?
Model perekrutan pemain berbakat pun akan kembali mengandalkan para pencari bakat yang hadir di turnamen-turnamen lokal maupun nasional. Masalahnya, peluang pemain muda untuk direkrut dengan model seperti ini tidak sebesar peluang yang diberikan dengan adanya proses audisi terbuka seperti yang dilakukan PB Djarum. Meskipun tidak memiliki biaya untuk masuk ke dalam klub lokal, para talenta muda menjadi pihak yang tertolong dengan adanya program audisi nasional dan terbuka ini.
Bagi Kemenpora dan PBSI, adanya audisi beasiswa oleh pihak swasta merupakan suatu keuntungan tersendiri. Dari sanalah mereka mencari pemain berbakat untuk kemudian dibina secara intensif dalam pelatnas. Skema seperti ini tentu akan menghemat secara biaya dalam pembinaan dan pencarian bibit atlet bulu tangkis.
Di sinilah titik lemah kedua lembaga pemerintahan itu. Kendati PBSI memang tidak memiliki anggaran tetap dari pemerintah, seharusnya ada skema pembinaan calon atlet yang dirancang bersama Kemenpora. Namun, seperti yang sudah dinyatakan Menpora Imam Nahrawi, dana tetap menjadi permasalahan.
Dukungan swasta
Dalam laporan Bappenas 2014, olahraga disebut sebagai bagian budaya yang bersifat internasional. Olahraga dilihat sebagai instrumen pembangunan dan memiliki tujuan nasional yang salah satunya ialah untuk kesejahteraan masyarakat. Bahkan, tertulis pula, China dapat menjadi kiblat dalam mengarahkan kebijakan terkait olahraga sebagai instrumen pencapaian visi bangsa.
Masih dalam laporan yang sama, Bapennas mengutip pemikiran Mantan Sekjen PBB Kofi Annan mengenai pembangunan olahraga. Dituliskan, ada empat model pembangunan olahraga, yakni fondasi, partisipasi, performa, dan kesempurnaan (excellence). Setelah fondasi olahraga terbangun, butuh partisipasi dari masyarakat, teknokrat, maupun dunia usaha untuk menopang fondasi yang sudah ada.
Ironisnya, fondasi olahraga Indonesia terkait sarana olahraga masih menyisakan sejarah kelam. Proyek pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional di Hambalang, Bogor, justru tidak terwujud lantaran tindak korupsi sejumlah pihak. Padahal, pembangunan itu dapat menjadi cikal bakal sekolah olahraga nasional yang dapat melahirkan atlet-atlet harapan bangsa.
Baca juga: Akhir Polemik KPAI dengan PB Djarum?
Di tahap kedua, yakni partisipasi, salah satu yang niscaya ialah peran pihak swasta, terutama dalam dukungan dana dan program-program yang diadakan. Kendati dalam RAPBN 2019 Kemenpora mendapat alokasi dana Rp 1,95 triliun, pembinaan talenta muda sejak dini tetap dirasa sulit karena dana tersebut lebih diutamakan untuk program-program prioritas, seperti persiapan SEA Games atau Olimpiade.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mawas diri bahwa dalam membangun olahraga, partisipasi masyarakat dan pihak swasta masih sangat diperlukan. Di balik tudingan KPAI kepada PB Djarum, titik lemah pemerintah dalam pembinaan dan perekrutan talenta muda justru tersorot kembali. Bukankah keterlibatan pihak swasta juga dapat menjadi bukti nyata kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun olahraga bangsa? (LITBANG KOMPAS)