Tunisia Perkokoh Budaya Demokrasi
Tunisia saat ini dikenal sebagai satu-satunya negara Arab yang berhasil membangun sistem negara demokrasi modern dari rahim gerakan revolusi rakyat tahun 2010-2011 yang terkenal dengan nama Musim Semi Arab.
Hari ini, Minggu (15/9/2019), Tunisia untuk kedua kalinya, sejak ambruknya rezim diktator Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011, menggelar pemilu presiden langsung sebagai wujud proses demokrasi modern itu.
Tercatat ada 24 kandidat presiden—setelah dua kandidat mundur pada Jumat malam lalu—dengan berbagai latar belakang spektrum ideologi yang berlomba dalam pemilu presiden hari Minggu ini.
Pilpres langsung pertama kali digelar di Tunisia pada 2014 dan dimenangi oleh ketua partai Nidaa Tounes, Beji Caid Essebsi.
Pemilu presiden hari Minggu ini adalah pemilu yang dipercepat setelah wafatnya Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi pada 25 Juli lalu. Jadwal waktu pemilu presiden Tunisia sedianya pada 17 November mendatang.
Tunisia sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil mewujudkan cita-cita revolusi rakyatnya pada 2010-2011 tentang kesejahteraan dan kemakmuran. Akan tetapi, negara berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu terus berupaya membangun budaya demokrasi seperti layaknya negara-negara maju di Barat.
Budaya demokrasi
Salah satu budaya demokrasi cukup menonjol yang diperkenalkan di Tunisia adalah debat kandidat presiden melalui televisi. Debat itu dilakukan sekaligus untuk menyampaikan program kerja jika terpilih sebagai presiden nanti.
Debat langsung kandidat presiden melalui televisi, yang biasa disaksikan dalam forum pemilu di negara-negara maju, untuk pertama kalinya kini bisa disaksikan pula di forum pemilu di dunia Arab, persisnya di Tunisia. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa peradaban rakyat Tunisia jauh meninggalkan rakyat negara Arab lain yang masih banyak dilanda perang saudara ataupun sistem politik diktator.
Salah satu budaya demokrasi cukup menonjol yang diperkenalkan di Tunisia adalah debat kandidat presiden melalui televisi.
Media Tunisia melaporkan, antusias rakyat Tunisia untuk menyaksikan debat langsung itu sangat tinggi. Debat pertama yang digelar pada Sabtu (7/9/2019) dilaporkan disaksikan tiga juta pemirsa. Debat kedua, sehari setelahnya, disaksikan 2,5 juta pemirsa.
Fenomena lain yang turut andil memperkuat konsolidasi demokrasi di Tunisia adalah semakin cairnya konflik ideologi, persisnya pertarungan ideologi Islamis dan sekuler-liberal, yang sering menggagalkan proses demokrasi di negara Arab lain, seperti di Mesir, Aljazair, dan Palestina.
Faktor terbesar keberhasilan demokrasi yang diakui di Tunisia selama ini adalah kemampuan elite politik dari beragam latar belakang ideologi di negara itu melakukan kompromi dan bahkan berkoalisi dalam kekuasaan.
Pascaambruknya rezim Prsiden Ben Ali pada 2011, Tunisia diperintah oleh Troika yang merupakan koalisi trio antara partai Islamis Ennahda, partai Kongres Republik yang beraliran kiri liberal (CPR), dan Ettakatol yang beraliran kiri sosialis.
Koalisi
Setelah pemilu presiden Tunisia tahun 2014, terjalin koalisi antara partai Islamis Ennahda dan partai Nidaa Tounes yang beraliran kanan liberal melalui kesepakatan Carthage yang dicapai antara pemimpin partai Nidaa Tounes, Beji Caid Essebsi, yang juga Presiden Tunisia saat itu, dan pemimpin partai Ennahda, Rached Ghannouchi.
Pada pemilu presiden 2019, tak menonjol lagi pertarungan Ennahda dan Nidaa Tounes atau Islamis dan liberal. Pertarungan sengit justru terjadi sesama kandidat kubu liberal atau sesama kubu Islamis.
Padahal, menjelang pemilu 2014, pertarungan partai Ennahda dan partai Nidaa Tounes sangat keras. Bahkan, partai Nidaa Tounes dibentuk oleh Caid Essebsi untuk melawan partai Ennahda yang saat itu memegang hegemoni politik di Tunisia. Namun, pascapemilu 2014, partai Ennahda dan partai Nidaa Tounes justru berkoalisi berbagi kekuasaan.
Pada pemilu presiden 2019 ini, tidak menonjol lagi pertarungan antara Ennahda dan Nidaa Tounes atau Islamis dan liberal. Pertarungan sengit sekarang justru terjadi sesama kandidat dari kubu liberal atau sesama kubu Islamis.
Calon kuat
Para analis Tunisia menyebut hanya ada lima dari 26 kandidat yang punya potensi kuat memenangi pemilu presiden hari Minggu ini. Dari lima kandidat itu, ada tiga kandidat yang lahir dari rahim partai Nidaa Tounes atau dari kubu kanan liberal dan saling bersaing ketat.
Pertama, Nabil Karoui (56), yang dikenal sebagai pengusaha sukses dan pemilik TV, Nessma. Karoui adalah pendukung kuat partai Nidaa Tounes dan Beji Caid Essebsi pada tahun 2014. Karoui adalah arsitek yang memenangkan Caid Essebsi pada pemilu presiden 2014.
Pada Juni 2019, Karoui keluar dari partai Nidaa Tounes dan mendirikan partai Alb Tounes (Jantung Tounes). Karoui dinilai punya potensi menang karena program kampanyenya yang fokus memerangi kemiskinan di Tunisia yang sejak revolusi rakyat tahun 2011 terus dililit kesulitan ekonomi.
Kedua, Youssef Chahed (44) yang juga mantan anggota teras partai Nidaa Tounes. Chahed adalah orang kepercayaan mendiang Presiden Caid Essebsi.
Pada Agustus 2016, Essebsi menunjuk Chahed sebagai PM Tunisia. Namun, Chahed kemudian terlibat beda pendapat sengit dengan Hafez Essebsi (putra mendiang Presiden Caid Essebsi) sehingga Chahed keluar dari partai Nidaa Tounes dan mendirikan partai Tahya Tounes.
Mendiang Presiden Caid Essebsi pernah minta Chahed mundur dari jabatan perdana menteri, tetapi partai Ennahda membela Chahed. Chahed kini lebih melihat partai Nidaa Tounes sebagai musuh ketimbang partai Ennahda.
Ketiga, Abdelkarim Zbidi (69) yang menjabat Menteri Pertahanan Tunisia sebelum mencalonkan diri sebagai presiden. Zbidi dinilai punya potensi menang dalam pilpres kali ini karena didukung oleh dua partai, yaitu partai Nidaa Tounes dan Afek Tounes. Zbidi merupakan loyalis mendiang Presiden Caid Essebsi.
Keempat, Kais Saied (61) yang sebelum ini berprofesi sebagai guru besar hukum tata negara. Saied dalam kampanyenya sangat mengandalkan program antikorupsi dan penegakan hukum serta menciptakan keadilan dalam ekonomi.
Saied berjanji akan mengembalikan kekayaan Tunisia yang dilarikan para oknum pejabat era Presiden Ben Ali ke luar negeri jika memenangi pemilu presiden.
Kelima, Abdelfattah Mourou (71) yang merupakan kandidat resmi partai Islam Ennahda. Mourou dinilai punya potensi kuat memenangi pemilu presiden karena didukung dan sekaligus calon resmi partai terbesar di Tunisia saat ini, yakni partai Ennahda. Namun, partai Ennahda juga pecah karena salah satu petingginya yang mantan PM Tunisia pada 2011-2014, Hamadi Jebali, mencalonkan diri pula sebagai presiden dari jalur independen.
Partai Ennahda kini lebih sinis melihat Jebali ketimbang para kandidat partai liberal karena Jebali dituduh memecah suara massa Ennahda. Ennahda sudah meminta Jebali mundur sebagai kandidat presiden, tetapi Jebali menolak permintaan Ennahda itu.