Kesadaran akan bahaya berita bohong terhadap demokrasi menjadi salah satu perhatian dunia.
Oleh
Rini Kustiasih dari Stockholm, Swedia
·3 menit baca
STOCKHOLM, KOMPAS — Kesadaran akan bahaya berita bohong terhadap demokrasi menjadi salah satu perhatian dunia. Hal itu salah satunya dipicu oleh tidak terkendalinya penguasaan data pribadi, yang tidak hanya merusak privasi, tetapi juga membahayakan fundamen demokrasi.
Sejumlah pembicara dalam Gather Festival yang diadakan di Stockholm, Swedia, 12-14 September 2019, mengemukakan perlunya perhatian masyarakat dan pemerintah di setiap negara untuk mengatasi berita bohong yang berpotensi membuat masyarakat terpecah karena informasi yang tidak benar. Sejumlah inisiatif didorong untuk mengatasi berita bohong atau hoaks dengan elemen teknologi yang melibatkan masyarakat, jurnalis, dan pemerintah.
”Media sosial menjadi kekuatan yang berbeda saat ini dalam kehidupan politik dan demokrasi karena mereka bisa mengetahui apa yang kita sukai, apa yang kita baca, berapa umur kita, dan preferensi pribadi maupun politik kita. Tidak ada yang bisa mengendalikannya, dan tanpa kita sadari hal itu telah kita setujui,” kata Andie Zhang, pakar teknologi yang bermukim di Jerman, Kamis (12/9/2019).
Dengan algoritma, kecenderungan pengguna media sosial dan internet dengan mudah diketahui. Data pribadi itu kemudian dimanfaatkan oleh para politisi dan jaringannya di dunia maya untuk memengaruhi pemilih potensial.
Informasi dan berita dikirimkan ke masing-masing platform media sosial pemilih potensial yang disesuaikan dengan preferensi politik mereka. ”Tidak semua berita atau informasi yang dikirimkan itu pasti bohong, tetapi berita-berita itu memiliki satu tujuan tertentu untuk memengaruhi pilihan politik yang disesuaikan dengan preferensi mereka selama ini. Hal itu berbahaya karena mereka cenderung hanya mendapatkan informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, dan sedikit variasi bagi adanya pendapat yang berbeda,” kata Andie.
Berita dan informasi yang tersajikan hanyalah yang sesuai dengan keyakinan mereka, dan hal itu menutup peluang bagi perdebatan lain atau pendapat yang lebih beragam. Dalam kondisi ini, menurut Andie, masyarakat cenderung terus terpolarisasi dan hanya menerima yang mereka anggap sebagai kebenaran. Hal ini pun secara tidak langsung mengganggu fundamen demokrasi yang menyediakan akses pada pendapat yang beragam dan perlindungan privasi.
Masyarakat cenderung terus terpolarisasi dan hanya menerima yang mereka anggap sebagai kebenaran. Hal ini pun secara tidak langsung mengganggu fundamen demokrasi yang menyediakan akses pada pendapat yang beragam dan perlindungan privasi.
Upaya untuk menjaga data pribadi, misalnya, telah dimulai melalui sejumlah regulasi, seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di wilayah Uni Eropa yang melindungi data pribadi semua warga negara Uni Eropa. Perlindungan GDPR meliputi juga perpindahan data pribadi mereka ke luar kawasan Uni Eropa.
Manajer Proyek eGovlab dari Universitas Stockholm, Pooyeh Mobini, mengatakan, sebuah inisiatif sedang dirancang di laboratoriumnya untuk membuat semacam sarana dan aplikasi teknologi untuk mendeteksi hoaks. Proyek itu akan melibatkan warga, jurnalis, dan pemerintah dalam pembuatan kebijakan.
”Kami masih sedang menyusun model dalam mengatasi berita bohong sebab untuk melakukannya diperlukan banyak upaya yang terkait dengan kebijakan pemerintah, dan terutama jurnalis,” katanya.
Swedia melalui eGovlab menginisiasi upaya itu dan mengundang sebanyak mungkin co-creator atau partisipan dalam proyek guna memberikan masukan.
Di Indonesia, hoaks juga menjadi salah satu persoalan selama berlangsungnya kontestasi yang ketat dalam Pemilu 2019. Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto mengatakan, secara teoritis hoaks yang disebar secara masif dan berulang akan memengaruhi ”gambaran di dalam pikiran orang” mengenai kebenaran.
”Kebohongan yang kita biarkan akan menjadi kebenaran. Itulah fenomena era post-truth. Fakta kebenaran bagi kelompok tertentu sering menjadi tidak penting dan diabaikan karena tidak mereka sukai. Sementara kebohongan yang terus menerus sangat bahaya jika dibiarkan tanpa gugatan,” katanya.