Sedikitnya 70 undang-undang dinilai menghambat investasi dan menyebabkan ketidakpastian berbisnis. Undang-undang yang ada dinilai masih menciptakan peluang bagi segelintir orang untuk menahan perizinan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/C ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya 70 undang-undang dinilai menghambat investasi dan menyebabkan ketidakpastian berbisnis. Revisi dibutuhkan agar regulasi relevan dan menyokong pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, sejumlah undang- undang terkait dengan investasi diproduksi pada 1980-1990, sebagian bahkan sudah ada sejak zaman kolonial dan belum diperbarui. Ketentuannya dinilai tidak relevan dengan kondisi nasional dan global sekarang ini.
”Produk perundang-undangan zaman Belanda, pola pikirnya adalah kolonial untuk koloni, bukan dalam rangka melayani orang atau memperbaiki lingkungan investasi,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Sejauh ini teridentifikasi 70 undang-undang (UU) yang dinilai menghambat investasi. Regulasi yang rumit dan berbelit menjadi alasan utama investor tidak memilih berinvestasi di Indonesia. Hal itu mengonfirmasi laporan berbagai lembaga internasional.
Berdasarkan riset Bank Dunia pada Juni-Agustus 2019, sebanyak 33 perusahaan merelokasi pabrik dan ekspansi ke luar China. Namun, dari jumlah tersebut, tidak satu pun yang ke Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, sementara 10 perusahaan lainnya memilih ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand.
Menurut Sri Mulyani, peraturan yang akan direvisi antara lain UU tentang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Ketiganya direvisi pada awal tahun 2000 dan dinilai tidak relevan lagi.
Selain merevisi UU, pemerintah juga tengah menyusun rancangan UU tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan. Rancangannya akan mengakomodasi hal-hal yang tidak masuk dalam UU PPh, PPN, dan KUP yang mencakup segenap aspek yang disebut omnibus law.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menambahkan, sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo, tenggat penyusunan omnibus law satu bulan oleh Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Undang-undang yang ada masih menciptakan peluang bagi segelintir orang untuk menahan perizinan.
Menurut Luhut, UU yang ada masih menciptakan peluang bagi segelintir orang untuk menahan perizinan. Hal itu menyebabkan ketidakpastian berbisnis sehingga investor menolak datang.
Perbaikan
Ekonom senior Anton Gunawan berpendapat, revisi UU dan upaya lain untuk mendorong investasi harus dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil riset dan survei, beberapa lembaga internasional bisa menjadi acuan untuk perbaikan iklim investasi.
Terkait regulasi, salah satu yang mesti diperbaiki adalah bidang perpajakan. Perbaikan bukan dari aspek tarif pajak, melainkan fasilitas dan sistem secara keseluruhan. Penurunan tarif pajak tidak menjamin meningkatkan investasi secara signifikan.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 190 negara dalam urusan perpajakan. Peringkat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Korea Selatan kendati besaran PPh badan sama. Korea Selatan menempati peringkat ke-24 dalam urusan kemudahan perpajakan.
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, mengatakan, daya saing Indonesia menjadi tolok ukur investor. Dari 12 aspek daya saing yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, Indonesia hanya unggul dalam aspek ukuran pasar dibandingkan dengan Malaysia dan Korea Selatan.
”Masalah ini harus diatasi dalam jangka panjang, mulai dari isu produktivitas hingga struktural,” ujarnya.
Daya saing Indonesia dalam aspek penciptaan inovasi juga sangat rendah. Dari rentang 1-100, skor penciptaan inovasi Indonesia hanya 40. Rendahnya daya saing inovasi berkaitan dengan bidang pendidikan. Minat generasi muda untuk belajar ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika dinilai semakin berkurang.
Perizinan
Persoalan terkait perizinan masih menjadi salah satu hal yang kerap dikeluhkan pelaku usaha. Pembenahan proses perizinan dibutuhkan apabila pemerintah menginginkan investasi bertumbuh.
”Salah satu problem perizinan ada di daerah akibat belum sinkronnya pusat dan daerah, dan itu tidak masuk dalam OSS (sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik),” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono.
Menurut Fajar, persoalan yang masih dianggap merepotkan terutama di izin lingkungan. Persoalan lain yang dihadapi adalah soal lahan. Saat tiba pembebasan lahan, harga tanah dapat melonjak dan tidak masuk akal.
Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy, ada kebijakan yang dinilai dapat membatasi penjualan produk. ”Soal baku mutu limbah air, misalnya, standar baku mutu di Indonesia lebih tinggi dibanding di negara pesaing,” ujar Ernovian.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tingkat kepercayaan masyarakat, pelaku usaha, atau investor terhadap kebijakan pemerintah penting dalam menarik investasi. Terkait hal itu, investor butuh kepastian hukum dan konsistensi kebijakan dari pusat sampai daerah.
Sementara Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat berpendapat, banyak anggota Gapmmi yang berinvestasi di daerah. ”Saat mengurus perizinan di pusat, mereka merasa lancar, tetapi begitu mau membangun pabrik di daerah, pengurusan tidak selancar seperti waktu di pusat,” ujarnya.
Pelaku usaha terkadang masih menghadapi persoalan saat hendak mendapatkan izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), dan izin gangguan. ”Hal seperti ini terutama banyak dihadapi di tingkat kabupaten/kota,” ucap Rachmat.
Pemerintah juga perlu terus membenahi persoalan transportasi dan logistik. Pelaku industri selalu membutuhkan aspek jaminan kelancaran transportasi dan biaya logistik kompetitif.