Dheva Anrimusthi dan Hafizh Brilliansyah Menembus Keterbatasan
Medali emas kejuaraan dunia bulu tangkis Para-Badminton 2019 di Basel, Swiss, sudah digenggam Dheva Anrimusthi (21) dan Hafizh Briliansyah (28).
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Medali emas kejuaraan dunia bulu tangkis Para-Badminton 2019 di Basel, Swiss, sudah digenggam Dheva Anrimusthi (21) dan Hafizh Briliansyah (28). Namun, mereka tidak ingin berpuas diri. Pasangan cabang olahraga bulu tangkis ini ingin tetap mengibarkan Merah Putih di pentas dunia untuk menembus keterbatasan.
Suasana silaturahmi di Gedung Sate, Bandung, Jumat (30/8/2019), terasa hangat. Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyambut para juara dari kejuaraan dunia bulu tangkis Para-Badminton 2019 asal Jabar ini. Berbarengan dengan kejuaraan dunia bulu tangkis, bulu tangkis Para-Badminton diikuti atlet difabel dari sejumlah negara yang digelar pada 20-25 Agustus 2019.
Di antara kerumunan, tampak Dheva-Hafizh tersenyum bangga sambil mengalungkan medali hasil perjuangan mereka di arena. Untuk mendapatkan medali tersebut, mereka harus melawan para pemain terbaik dunia.
Tidak main-main, Dheva mendapat dua medali emas. Di ganda putra, dia dan Hafiz menekuk pasangan China, Shi Shengzhuo-He Zhirui, dua set langsung, 21-18 dan 21-13. Sementara di nomor tunggal putra, Dheva menang atas rekan senegaranya, Suryo Nugroho, 21-15 dan 21-15. Medali itu jadi simbol perjuangan mereka, bersaing dalam keterbatasan fisik.
Hasil itu jadi buah manis perjuangan berlatih selama tiga tahun terakhir semenjak bergabung di tim Pemusatan Latihan Daerah pada Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) Jabar 2016. Namun, jauh sebelum itu, perjuangan keduanya pantas jadi pelecut semangat semua atlet di negeri ini.
Dheva menuturkan, dia sempat aktif sebagai atlet badminton di Candra Wijaya Badminton Club, Tangerang. Namun, kecelakaan bermotor menimpanya tahun 2013. Akibatnya, tangan kanan Dheva tidak bisa berfungsi normal. Bahkan, dia harus merelakan sebagian aktivitas kesehariannya bergantung pada tangan kiri.
Dheva akhirnya vakum dari olahraga bulu tangkis. Jangankan melakukan serangan, dia kesulitan menyambut bola yang diterima karena susah mengontrol posisi tangannya. Namun, Dheva tidak gantung raket sepenuhnya. Dia masih berlatih karena bulu tangkis memang kegemarannya sedari kecil.
”Saya masih main bulu tangkis, tetapi cuma sebatas bermain bersama teman-teman sebaya dan tetangga. Saya malah hampir tidak berpikiran masuk lagi ke dunia bulu tangkis karena dianggap tidak mampu akibat kecelakaan tersebut,” ujarnya.
Beberapa tahun kemudian, harapan Dheva untuk mengharumkan nama bangsa terjawab. Meski terputus di dunia bulu tangkis reguler, dia mendapat jalan yang baru, berkarier di para-badminton, olahraga bulu tangkis untuk difabel. Dia masuk kategori SU5 (standing/upper limb impairment atau disabilitas tubuh bagian atas).
Dalam persiapan di Peparnas 2016 ini, Dheva bertemu dengan Hafizh. Hanya dalam waktu kurang dari enam bulan, mereka dituntut menyamakan ritme permainan. Namun, yang terpenting, mereka harus bisa mengalahkan sisi pesimis dari dalam diri sendiri, menembus keterbatasan dengan memaksimalkan kekurangan yang ada akibat disabilitas.
Mereka harus berdamai dengan keadaan. Dheva menggunakan tangan kanan, sedangkan Hafizh menggunakan tangan kiri.
”Kami menggunakan tangan yang disabilitas karena itu salah satu syarat untuk masuk ke dalam kategori tersebut,” tutur Hafizh.
Sama seperti bermain pasca-kecelakaan, pada awalnya Dheva kesulitan saat berlatih. Akurasi penerimaan dan serangan berkurang sehingga dia membutuhkan usaha lebih agar bertahan dalam permainan. Belum lagi dia juga harus menyesuaikan irama permainan Hafizh yang memiliki posisi tangan berbeda. Dheva berujar, tidak jarang raket mereka beradu saat latihan.
Hal yang sama juga dirasakan Hafizh. Dia membutuhkan waktu dan usaha untuk menyamakan ritme bermain Dheva. Mereka harus saling mendukung di lapangan, saling mengisi posisi kosong, saling mengamankan lapangan di saat yang lain menyerang.
”Perjuangan saya bersama Dheva mirip usaha untuk bangkit setelah mengalami kecelakaan yang membuat gerak tangan kiri ini terganggu. Dukungan orangtua untuk terus bermain bulu tangkis apa pun kondisinya jadi semangat. Perlahan, semua hal baik bisa terwujud. Kuncinya bekerja keras,” kata Hafizh, yang mengalami kecelakaan saat duduk di bangku kelas 2 SD.
Hal tersebut berbuah manis. Prestasi pertama pasangan ganda ini adalah emas Peparnas Jawa Barat 2016. Dari sana, mereka masuk ke dalam skuad Indonesia dalam Asian Para Games 2018 Jakarta. Mereka kembali memberikan yang terbaik. Dheva mempersembahkan tiga emas, dari beregu putra, ganda putra SU5, dan tunggal putra SU5. Sementara Hafizh menyabet dua emas dari beregu putra dan ganda putra SU5.
Keduanya sepakat Asian Para Games 2018 adalah ajang paling berkesan. Mereka terharu saat ”Indonesia Raya” berkumandang. Dheva dan Hafizh bangga saat Merah Putih berkibar lebih tinggi daripada bendera negara lain.
”Di kejuaraan dunia kami juga merasakan itu. Tetapi, yang ikut menyanyikan \'Indonesia Raya\' saat itu tidak seramai di Jakarta waktu Asian Para Games,” tutur Dheva.
Berjuang
Setelah titel juara dunia di tangan, bukan berarti perjuangan kedua atlet ini berhenti. Mereka tengah mempersiapkan diri, berlatih di Pemusatan Latihan Nasional di Solo. Target mereka selanjutnya adalah emas di ASEAN Para Games 2020 Manila. Dheva bahkan memiliki porsi latihan yang lebih tinggi. Paralimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, sudah di depan mata.
”Saya ingin kembali merasakan kebanggaan Asian Para Games dan Kejuaran Dunia. \'Indonesia Raya\' berkumandang di pentas Asia Tenggara dan dunia,” tuturnya optimistis.
Hafizh, Dheva, beserta atlet difabel nasional lainnya memiliki mimpi yang sama. Di tengah keterbatasan, mereka ingin ”Indonesia Raya” berkumandang di pentas dunia. Tidak hanya mengalungkan medali emas di dada, mereka juga menggantungkan asa agar Merah Putih terus berada di puncak dunia.
Dheva Anrimusthi
Lahir: Kuningan, Jawa Barat, 5 Desember 1998
Pendidikan: SMK Negeri 1 Kuningan (Lulus 2017)
Hafizh Briliansyah Prawiranegara
Lahir: Bogor, 26 Februari 1991
Pendidikan: D-3 Komunikasi Akademi Komunikasi Bogor (Lulus 2012)