Sejak diusulkan pada 2016, hingga kini hutan adat di Provinsi Aceh belum disahkan. Masyarakat adat mukim mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mempercepat pengesahan hutan adat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sejak diusulkan pada 2016, hingga kini hutan adat di Provinsi Aceh belum disahkan. Masyarakat adat mukim mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mempercepat pengesahan hutan adat. Mukim merupakan ketua pemerintahan adat di bawah kecamatan di Aceh.
Mukim Bengga Kabupaten Pidie, Ilyas, dalam diskusi ”Mengapa Belum Ada Penetapan Hutan Adat di Aceh”, Rabu (11/9/2019), menuturkan, masyarakat adat mukim di Aceh mempertanyakan keseriusan pemerintah mewujudkan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial yang diusung oleh Presiden Joko Widodo.
Diskusi ini digelar oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda Aceh. Diskusi dihadiri oleh pemerintah, lembaga adat, dan pekerja lingkungan.
Ilyas mengatakan, Kemukiman Bengga telah mengajukan permohonan penetapan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2016 dengan luas 10.988 hektar. Walaupun semua persyaratan telah dipenuhi, hingga saat ini belum ditetapkan.
Ilyas menambahkan, kawasan hutan yang diusulkan sebagai hutan di Kemukiman Bengga masuk dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain. ”Terakhir kami mendengar sebagian kawasan yang kami usulkan masuk dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI), tetapi mengapa tidak disahkan yang di luar itu,” kata Ilyas.
Walaupun semua persyaratan telah dipenuhi, hingga saat ini belum ditetapkan. (Ilyas)
Menurut Ilyas, melalui program TORA, Presiden memberikan hak besar kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan di wilayah adat. ”Tetapi mengapa pejabat di kementerian terkesan tidak serius,” kata Ilyas.
Ilyas mengatakan, para kepala mukim di Aceh beberapa kali berkunjung ke KLHK untuk mempertanyakan kelanjutan proses penetapan hutan adat. ”Jawaban selalu akan segera ditetapkan,” kata Ilyas.
Hutan adat merupakan skema pengalihan hak kepemilikan kawasan hutan dari hutan negara menjadi hak masyarakat adat. Meski status menjadi hutan adat, fungsi hutan tetap harus dipertahankan.
Pada 2018, Pemprov Aceh kembali mengusulkan kawasan hutan adat di Aceh seluas 145.250 hektar terletak di Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat.
Pada 27 Mei 2019, KLHK meluncurkan Peta Hutan Adat dan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat dengan No SK.312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019. Dalam surat keputusan itu, hutan seluas 24.778 hektar di Pidie dan hutan seluas 806 hektar di Aceh Besar masuk dalam peta indikatif. Artinya, KLHK telah menyiapkan hutan seluas itu sebagai hutan adat.
Sebaran Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Per RegionKepala Bidang Planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Win Rima Putra menuturkan, penyebab lambatnya penetapan hutan adat karena ada konflik regulasi dan tumpang tindih kawasan yang diusulkan. Sempat juga terjadi perdebatan terkait definisi mukim sebagai masyarakat adat di Aceh.
Selain itu, kata Win, sebagian hutan yang diusulkan masuk dalam izin konsesi perusahaan. ”Oleh sebab itu, perlu duduk dengan para pihak ini untuk mencari jalan tengah agar penetapan lebih cepat,” kata Win.
Koordinator JKMA Aceh Zulfikar Arma mengatakan, secara historis mukim memiliki hak mengelola hutan. Bahkan, dalam masyarakat adat mukim terdapat perangkat khusus mengurusi hutan yang disebut panglima hutan dan sejumlah hukum adat dalam menjaga hutan.
Selain di bidang kehutanan, perangkat adat juga terdapat di kelautan, yakni panglima laut dan pertanian disebut kejrun blang. ”Ini menandakan masyarakat adat mukim sejak zaman dahulu memiliki kekuasaan mengelola hutan,” kata Zulfikar.
Namun, pada masa Orde Baru terjadi pelemahan terhadap peran kepala mukim. Pada saat itu, banyak kawasan hutan oleh pemerintah dijadikan lahan konsesi, baik hak guna usaha maupun hutan tanaman industri kepada perusahaan.
Namun, dengan turunnya keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 yang menyatakan masyarakat adat memiliki hak mengelola hutan menjadi momentum bagi masyarakat adat untuk kembali berdaya. Zulfikar berharap, KLHK dan Dinas LHK Aceh memiliki komitmen yang sama dalam mempercepat penetapan hutan adat di Aceh.