Presiden Joko Widodo menjanjikan pemekaran di wilayah Papua, dari saat ini dua provinsi menjadi empat provinsi. Pemekaran itu jadi aspirasi masyarakat agar bisa memperpendek rentang kendali pelayanan kepada masyarakat.
Oleh
FX Laksana Agung Saputra
·4 menit baca
Presiden Jokowi berjanji memekarkan Papua yang kini terdiri atas dua provinsi. Pemekaran ini dapat seperti membuka kotak pandora karena akan diikuti permintaan serupa dari daerah lain.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menjanjikan pemekaran di wilayah Papua, dari saat ini dua provinsi menjadi empat provinsi. Pemekaran itu menjadi aspirasi masyarakat agar bisa memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
”Terkait pemekaran, jangan banyak-banyak dulu. Mungkin kalau tidak dua, ya tiga (daerah pemekaran baru). Ini perlu kajian. Undang-undangnya mendukung ke sana. Dan, saya memang ingin usulan dari bawah, bukan dari pusat,” kata Presiden saat bertemu tokoh Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Pernyataan Presiden itu untuk menjawab aspirasi yang disampaikan Ondoafi Besar Kampung Skouw Yambe, Jayapura, Abisai Rollo, juru bicara 61 tokoh Papua yang hadir di Istana Negara. Pertemuan yang berlangsung sekitar 45 menit itu lalu dilanjutkan dengan makan siang bersama dan foto bersama di depan Istana Merdeka.
Dalam pertemuan ini, Presiden didampingi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan.
Dalam pertemuan itu, Abisai menyampaikan sejumlah kegelisahan masyarakat Papua, seperti terkait perubahan demografi dan tata ruang di Papua yang berpotensi meminggirkan orang asli Papua.
Abisai yang juga Ketua DPRD Kota Jayapura dari Fraksi Partai Golkar ini juga menyampaikan sembilan aspirasi, yang salah satunya adalah pemekaran wilayah. Menurut dia, Papua yang kini terbagi dalam dua provinsi perlu dimekarkan menjadi tujuh provinsi. Dengan demikian, ada lima wilayah pemekaran baru yang didasarkan atas wilayah adat, yakni Ma Pago, La Pago, Tabe, Saereri, dan Ha Anim.
”Nanti kami atur secara internal di Papua, mana saja yang harus dimekarkan,” katanya seusai pertemuan.
Moratorium pemekaran
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menyatakan, ketentuan pemekaran daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan pengesahan dua peraturan pemerintah (PP), yakni PP tentang Desain Besar Penataan Daerah dan PP tentang Pembentukan Daerah.
Dalam lima tahun terakhir, menurut Endi, pemerintah melakukan moratorium pemekaran daerah karena sejumlah pertimbangan, seperti pemekaran ternyata tidak serta-merta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dana transfer daerah sebagai implikasi pemekaran lebih banyak digunakan untuk membangun gedung pemerintahan dan belanja birokrasi ketimbang pelayanan publik. Pemekaran wilayah langsung berimplikasi pada membesarnya anggaran yang harus dikirimkan pusat ke daerah.
Karena itu, Endi mengatakan, pemerintah sengaja menahan pengesahan kedua PP. Jika Papua akan dimekarkan, pemerintah harus lebih dahulu mengesahkan kedua PP itu. ”Tetapi, jika kedua PP disahkan, seperti membuka kotak pandora. Pemerintah harus siap menerima permintaan pemekaran dari 314 calon daerah yang sebelumnya mengajukan diri untuk memekarkan diri,” ujarnya.
Endi berpendapat, Papua secara obyektif perlu pemekaran. Namun, momentumnya perlu dipertimbangkan. Kini, yang lebih dibutuhkan adalah menyiapkan kebijakan untuk Papua. Terkait hal itu, pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang sudah mencapai 20 tahun di Papua dan 12 tahun di Papua Barat harus lebih dahulu dievaluasi secara komprehensif.
Papua secara obyektif perlu pemekaran. Namun, momentumnya perlu dipertimbangkan.
Dana otonomi khusus yang digelontorkan selama ini, kata Endi, lebih banyak sebagai dana politik sehingga akuntabilitasnya kurang. Ke depan, anggaran harus berdasarkan kinerja yang ukurannya jelas.
Papua pada 2013 mendapat anggaran Rp 4,36 triliun. Pada 2019, anggarannya jadi Rp 5,8 triliun. Sementara Papua Barat dapat Rp 1,87 triliun pada 2013 dan Rp 2,5 triliun pada 2019. Ada pula dana tambahan infrastruktur. Tahun ini, Papua dan Papua Barat mendapat Rp 4,7 triliun.
Sembilan aspirasi
Selain pemekaran, ada delapan aspirasi yang disampaikan dalam audiensi kemarin. Aspirasi itu adalah revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pembangunan Istana Kepresidenan di Jayapura, pembentukan Badan Nasional Urusan Tanah Papua, serta penempatan putra Papua pada jabatan eselon 1 dan 2 di kementerian dan lembaga.
Empat aspirasi lain adalah membangun asrama Nusantara di semua kota studi dan menjamin keamanan mahasiswa Papua, menerbitkan instruksi presiden untuk pengangkatan aparatur sipil negara honorer di Papua, melakukan percepatan Palapa Ring untuk Papua, serta mengesahkan Lembaga Adat Anak dan Perempuan Papua.
Dengan adanya Istana Kepresidenan di Papua, Abisai berharap Presiden tidak saja berkunjung ke Papua, tetapi ada kalanya berkantor di Papua. ”Ketika berkantor di Papua, beliau akan melihat Papua secara utuh,” katanya.