Stigma dan Diskriminasi Menghambat Eliminasi Kusta
Stigma bahwa kusta mudah menular ditambah cacat fisik yang terlihat memicu diskriminasi terhadap pengidap dan mantan penderitanya.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS—Adanya stigma di masyarakat terhadap penderita dan orang yang pernah terkena kusta menghambat penanggulangan kusta di Tanah Air. Kerentanan terkena penyakit itu kian tinggi di masyarakat kurang mampu karena kurang gizi, buruknya sanitasi, serta rendahnya kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat.
Stigma bahwa kusta mudah menular ditambah cacat fisik yang terlihat memicu diskriminasi terhadap pengidap dan mantan penderitanya. Itu membuat banyak orang tak mau periksa dan berobat meski menyadari terkena kusta hingga mengalami kecacatan. Orang yang sembuh pun sulit mendapat penghidupan layak. Jadi penanganan kusta tak bisa hanya dianggap urusan sektor kesehatan tapi juga terkait aspek sosial dan ekonomi.
Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta, Al Qadri, Senin (9/9/2019), di Makassar, berharap pemerintah mendorong sosialisasi dan advokasi penyadaran dini kusta. Selama ini mayoritas pasien kusta tak menyadari apa yang mereka alami sejak dini hingga kondisinya parah.
“Padahal banyak rentang waktu antara gejala awal hingga terjadi kerusakan organ. Jika disadari sejak dini, pengobatan bisa lebih cepat dan penderita sembuh sebelum organ rusak,” ungkapnya.
“Banyak persoalan saling terkait mempersulit penanganan kusta. Namun stigma dan pengucilan berperan besar membuat penderita enggan mengaku atau berobat. Saat sembuh, mereka tak bisa menata hidup karena terkucil. Pembuatan penampungan dan rumah sakit kusta, serta pemisahan disabilitas akibat kusta dan bentuk disabilitas lain juga bentuk diskriminasi dan pengucilan,” ujarnya.
Stigma dan pengucilan dari warga karena kusta diutarakan sejumlah penderita dan mantan pengidap kusta. Al Qadri (47) menuturkan, saat duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, ia dikeluarkan pihak sekolah karena mengalami gejala kusta.
Sementara Munawar, bukan nama sebenarnya, (67), warga Kabupaten Bangkalan, mengaku diusir warga sekitar dari kampungnya karena terkena kusta pada 1993 silam. Akhirnya ia berobat ke Rumah Sakit Kusta Kediri untuk mengamputasi jari-jari tangannya yang menempel dan bengkok. Karena fasilitas terbatas, ia dirujuk dan dirawat di RS Sitanala Tangerang selama 25 tahun tanpa pernah pulang ke kampungnya.
Stigma juga dialami orang yang pernah terkena kusta, terutama yang mengalami disabilitas. Samida (63), mantan penderita kusta di Medan, misalnya, pernah jadi petugas kebersihan di sejumlah kantor tetapi diberhentikan karena menyandang disabilitas kusta sehingga akhirnya mengemis dan menggantungkan hidup dari bantuan pemerintah daerah setempat.
Kepala Instalasi Rawat Inap RS Kusta Sitanala Tangerang Rabiatun menjelaskan stigma masih dialami orang yang pernah terkena kusta. Contohnya, mantan pengidap kusta yang ingin periksa penyakit lain di RS umum diarahkan untuk datang ke RS kusta. “Mereka seolah-olah menyandang stigma kusta seumur hidup meski sudah sembuh,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menilai, stigma pada kusta muncul karena kurangnya pengetahuan warga tentang cara penularannya. Karena itu, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat digalakkan melalui Rapid Village Survey.
Ada anggapan di masyarakat bahwa luka terbuka di tubuh penderita jadi sarang kuman. Padahal luka tak selalu mengindikasikan ada kuman. Luka sulit sembuh, terutama di saraf tepi, karena tak ada darah mengaliri bagian itu. Dengan lebih dini diobati, penderita terhindar dari kecacatan.
Faktor lingkungan
Warga perlu memahami, kusta hanya menular jika pembawa kuman berinteraksi erat dan lama dengan orang lain. Lingkungan tak higienis mendukung adanya Mycobacterium leprae. “Kuman mudah mati jika kena sinar matahari. Dengan berobat selama tiga hari, kuman berkurang drastis,” ujarnya.
Persoalannya, menurut Koordinator Upaya Kesehatan Masyarakat Unit Pelayanan Kusta RS Sumberglagah Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Edy Cahyono, warga dengan kondisi ekonomi rendah kurang memerhatikan kesehatan lingkungannya. Ventilasi membuat sinar matahari masuk rumah agar tak lembab, sehingga kuman kusta cepat mati.
Selain sanitasi buruk, kasus kusta banyak ditemukan di masyarakat yang sulit mengakses air bersih seperti di pedalaman Kabupaten Asmat, Papua. Minimnya akses air bersih menyebabkan warga di daerah itu sulit menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mandi minimal dua kali sehari dan membiasakan mencuci tangan sebelum makan.
Ketidaktahuan tentang kusta serta adanya stigma dan diskriminasi membuat orang yang terkena kusta menolak memeriksakan diri. Sebab, saat diketahui kena kusta, penderita bisa dikucilkan keluarga dan dari kehidupan bermasyarakat, termasuk akses layanan umum dan kesempatan kerja.
Untuk itu stigma dan diskriminasi terhadap penderita maupun orang yang pernah terkena kusta serta keluarganya harus dihapuskan. Itu bisa dilakukan dengan pemberian informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang kusta, gejala dan penanganannya, serta mengajak warga dan keluarga inti memotivasi penderita dan mengawasi pengobatannya.
Kepatuhan pengobatan bisa memutus rantai penularan dan mencegah resistensi obat. Hal yang tak kalah penting adalah pemantauan setelah pengobatan. Penderita kusta yang menuntaskan masa pengobatan dengan MDT (Multi Drug Therapy) idealnya diperiksa ulang demi memastikan kondisinya. (FAJAR RAMADHAN/RUNIK SRI ASTUTI/NIKSON SINAGA/RENY SRI AYU/AHMAD ARIF)