Semenjak GH Armauer Hansen menemukan ”Mycobacterium leprae” sebagai penyebab kusta pada 1873, upaya penanganan kusta mengalami kemajuan yang sangat luar biasa.
Kemudahan mengakses layanan kesehatan bagi penderita menjadi titik krusial dalam program eliminasi kusta. Layanan kesehatan yang ramah terhadap keterbatasan yang dimiliki penderita dan mantan penderita perlu disiapkan.
Ketidaktahuan warga dan terbatasnya layanan kesehatan membuat kusta yang sebenarnya tidak mudah menular menjadi terlambat diatasi.
Petugas puskesmas mengumpulkan para tokoh dan perwakilan masyarakat untuk dikenalkan cara penularan kusta.
  Kusta mengancam anak-anak terutama yang tinggal di negeri tropis dan subtropis Parahnya mereka termasuk paling rentan terhadap bakteri Mycobacterium leprae penyebab kusta Rendahnya pemahaman akan risiko bakteri dan penanganannya kerap membuat anak cacat Padahal kondisi cacat a
Sebagai negara dengan jumlah kasus baru kusta terbanyak di dunia, Indonesia harus serius belajar dari penanganan penyakit ini di tingkat global. Program yang berkesinambungan dan konsisten menjadi kunci kesuksesannya.
Siapa sangka di balik kehidupan normal Kampung Sitanala, Tangerang, itu ada perjuangan hidup yang tak mudah. Tetap berdaya bagi penderita dan mantan penderita kusta menjadi sesuatu yang layak dihargai.
Stigma bahwa kusta mudah menular ditambah cacat fisik yang terlihat memicu diskriminasi terhadap pengidap dan mantan penderitanya.
Eliminasi terhadap kusta telah membuahkan hasil signifikan. Prevalensinya sudah di bawah 1 per 10.000 penduduk. Tantangan selanjutnya, menghapus diskriminasi terhadap penderita kusta dan orang yang pernah menderitanya.
Kusta sudah dikenal sejak Kerajaan Majapahit. Hari ini, berabad-abad kemudian, kusta masih ada di tengah kita. Bagaimana penanganannya sepanjang masa ini menjadi catatan sejarah yang penting dipelajari.