Independensi KPK Ingin Diberangus Saat Banyak Negara Justru Mencontohnya
Perancis bahkan membentuk lembaga antikorupsi setelah melihat KPK dan membaca Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif menyebutkan, banyak lembaga antikorupsi negara lain yang mencontoh KPK. Mereka terutama mengadopsi bagaimana KPK menjaga independensinya. Maka, sangat disayangkan jika kini DPR justru berupaya memberangus prinsip paling utama dalam penegakan hukum itu.
Pernyataan Laode di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019), terkait dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK yang diusulkan oleh DPR. Revisi dinilai KPK dan juga banyak kalangan akan melemahkan KPK, termasuk mengancam independensi KPK.
Hal ini antara lain karena jika revisi UU KPK benar disahkan, kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden.
Selain itu, personel penyidik KPK tidak lagi independen karena harus berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan aparatur sipil negara.
Kemudian, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi ini pun akan membuat penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun boleh dihentikan oleh KPK.
Laode melanjutkan, Perancis bahkan membentuk lembaga antikorupsi setelah melihat KPK dan membaca Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.
”Jakarta Principles itu ditegaskan pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa independensi lembaga antikorupsi sangat penting. Masa sudah disetujui di Jakarta oleh semua lembaga antikorupsi dunia, tiba-tiba kita ingin mengubahnya tidak sesuai dengan Jakarta Principles,” tutur Laode.
Jakarta Principles dihasilkan saat pertemuan lembaga antikorupsi dari 30 negara di Jakarta, 27 November 2012. Jakarta Principles berisi 16 prinsip yang harus dilakukan untuk melindungi pimpinan ataupun pegawai lembaga antikorupsi agar menjalankan tugasnya dengan efektif dan tidak menyalahgunakan kewenangan.
Kontrak politik
Ancaman terhadap independensi KPK belakangan menguat karena 10 calon pimpinan (capim) KPK yang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR diharuskan menandatangani surat pernyataan bermeterai. Hal ini disebut sebagai bentuk kontrak politik. Tujuannya, agar capim terpilih nantinya tidak mengingkari janjinya selama diuji di DPR.
Laode mengkritik kontrak politik tersebut. Dia menekankan, untuk menjadi aparat penegak hukum tidak boleh diikat dengan kontrak politik.
”Dari dulu komisioner jilid 1 sampai jilid 4 saya sekarang ini, tidak ada komitmen politik seperti itu. Jadi, menurut saya, kalau DPR menetapkan kontrak politik, jangan-jangan dia (capim KPK) akan loyal kepada pemimpin politiknya, bukan kepada penegakan hukum yang menjadi tujuan utama dari aparat penegak hukum itu bekerja,” ujarnya.
Secara terpisah, ahli sosiologi korupsi Meuthia Ganie Rochman mengatakan, potensi pelemahan KPK melalui revisi UU KPK akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi. Padahal, korupsi masih merajalela.
Selama ini, misalnya, korupsi masih marak terjadi di pemerintahan dan sektor-sektor tertentu. Sementara sistem pencegahan korupsi tak kunjung dibangun. Oleh karena itu, seharusnya KPK diperkuat, bukan justru dilemahkan.