Menerapkan kebiasaan baru memang tidak mudah. Harapan pengambil kebijakan agar warga beralih menggunakan transportasi umum belum sepenuhnya terwujud meski pembatasan kendaraan diperluas.
Banyak pihak berharap perluasan wilayah pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil genap mendorong warga beralih menggunakan transportasi umum. Meski diterapkan di 25 ruas jalan di Jakarta, ternyata hal ini tidak mudah terwujud. Tidak sedikit warga yang tetap ingin menggunakan kendaraan pribadi.
Soedarjanto sangat gusar saat ditilang oleh petugas kepolisian di Jalan Tomang Raya, Jakarta Barat. Senin (9/9/2019) pagi itu, ia baru saja keluar dari Gerbang Tol Tomang dan ingin berputar arah untuk menuju kantornya, yang masih di sekitar Tomang Raya.
Niatnya menuju ke kantor tepat waktu seketika tertunda. Ia melanggar aturan pembatasan kendaraan berdasarkan pelat nomor ganjil genap yang diberlakukan di 25 lokasi jalan Ibu Kota, pagi itu. ”Tidak ada pemberitahuan saat keluar gerbang tol, tahu-tahu saya kena tilang oleh polisi,” ujarnya.
Soedarjanto bukan satu-satunya yang merasa gusar karena ditilang. Di hari pertama pemberlakuan aturan perluasan ini, Senin (9/9/2019), Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencatat sekitar 941 orang yang ditilang karena melanggar aturan pembatasan kendaraan ganjil genap.
Berbagai alasan dari warga muncul saat ditilang karena aturan ini. Ardiansyah (43), misalnya, mengaku salah melihat tanggal saat ditilang polisi hari ini. ”Duh, saya ketiduran, hari ini tanggal berapa, Pak? Ganjil, ya? Maaf Pak, saya enggak tahu,” katanya kepada polisi saat melanggar aturan ganjil genap di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur.
Ia terus berkilah mengatakan, tidak mengetahui aturan ganjil genap dan hendak pergi ke Bandara Halim Perdanakusuma. Berbagai alasan tidak membuat Ardiansyah bebas dari tilang polisi.
Pengendara lainnya, Yudi Harmadi (30), mempunyai jurus lain untuk mengelabuhi polisi. Sadar menggunakan pelat ganjil, ia meminta saudaranya berpura-pura sakit.
Sebelum diminta surat, ia langsung bertanya kepada polisi arah Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk mengantar saudaranya yang sakit. Namun, ketika diperiksa polisi, ternyata Yudi berbohong. Dengan wajah malu, akhirnya ia mengakui kesalahannya.
Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, warga berusaha menyuap polisi agar pelanggaran mereka bisa dimaafkan. Sinta (36), warga Jakarta Barat, berusaha menyelipkan dua lembaran Rp 50.000 di STNK-nya saat diperiksa polisi, di Jalan Gajah Mada, saat sore hari. Polisi kemudian mengembalikan uang itu sambil memarahi Santi.
Berbagai alasan
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, selalu ada berbagai alasan yang dilontarkan warga saat ditilang. Hal ini tidak hanya dilakukan warga biasa, tetapi juga para aparatur sipil negara (ASN).
”Mulai hari ini, kami tak pandang siapa pun itu, semua diperlakukan sama apabila melanggar aturan ganjil genap. Ini pun telah diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019,” kata Syafrin.
Pengamat lanskap perencanaan kota, Deden Rukmana, dari Alabama A&M University menuturkan, upaya untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum memang bukan hal mudah dan selalu mendapat resistensi. Ia menilai langkah yang diambil Jakarta sudah tepat, tetapi butuh konsistensi terkait bagaimana langkah kelanjutan dari pemberlakuan ganjil genap.
”Sebenarnya ini adalah kebijakan unik dalam manajemen lalu lintas kota urban. Setahu saya, tidak ada kota-kota di Amerika Serikat yang menerapkan ini. Saya pikir ini perlu diteruskan, seraya menambah pembangunan kereta MRT, LRT, dan moda bus,” ujarnya.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan, tujuan aturan ganjil genap sejak awal memang berusaha untuk menekan pengguna kendaraan pribadi. Jika pelanggar mengeluh, ia menganggap berarti aturan ini tepat sasaran.
Berdasarkan data BPTJ, ada sekitar 24,3 juta orang yang beraktivitas di Ibu Kota pada 2018. Namun, sekitar 20 juta orang dari total tersebut adalah warga pelaju yang berasal dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Bambang mengatakan, jumlah ini yang ingin dibidik BPTJ melalui Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Pada lanskap rencana tersebut, BPTJ menargetkan agar moda transportasi di Jabodetabek dapat terhubung secara menyeluruh.
”Beberapa hal ini kami upayakan lewat pengadaan moda bus Jakarta Residence (JR) Connexion dari Perum PPD. Dengan moda ini, BPTJ mengakomodasi layanan transportasi secara langsung untuk wilayah Bodetabek menuju Jakarta. Saat perluasan ganjil genap hari ini, kami pun menambah sebanyak 45 jadwal perjalanan untuk moda bus tersebut,” tutur Bambang.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen S W Tangkudung, menuturkan, aturan ganjil genap bukan satu-satunya cara agar orang beralih moda. Hal ini harus diterapkan secara bertahap dengan seperangkat peraturan lainnya.
Ia mencontohkan, sejumlah kebijakan di Jakarta, seperti sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) mestinya segera dilakukan. Seperangkat aturan ini baru dapat menggerakkan orang untuk berpindah moda.
”Saat ini, masih ada alternatif lain bagi pengendara untuk menghindari ganjil genap dengan tanpa mengakses transportasi umum. Perlu aturan lain, seperti ERP, yang dapat memaksa mereka berpindah karena biaya yang semakin mahal untuk kendaraan pribadi,” ucap Ellen.
Ellen menambahkan, seperangkat peraturan itu pun harus dibarengi dengan perbaikan kualitas dan kuantitas moda. ”Orang merasa tidak enak atau ribet untuk menuju halte ataupun stasiun. Angkot kurang bagus. Jadi, malas, ah, mending gunakan kendaraan pribadi,” ujar Ellen menambahkan.