Pemerintah Menyiapkan Ruang Uji Terbatas bagi Inovasi Baru
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Inovasi di bidang kesehatan, terutama terkait farmasi dan alat kesehatan, kian berkembang. Pendekatan baru dalam mempercepat perumusan regulasi diperlukan agar inovasi yang dihasilkan tetap sesuai aturan dan memastikan perlindungan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, saat membuka acara “The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesia Health Tech Innovation” di Jakarta, Selasa (10/9/2019), menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan ruang uji terbatas atau regulatory sandbox bagi industri yang memiliki inovasi baru.
Hasil pengujian di ruang uji terbatas memungkinkan regulator untuk mengeluarkan peraturan baru. Dengan begitu, pemerintah akan lebih mudah mengendalikan keamanan, mutu, dan kemanfaatan atas inovasi atau produk baru.
“Contoh yang telah dilakukan dalam sektor farmasi dan alat kesehatan dari regulatory sandbox, antara lain, simplifikasi persyaratan, percepatan waktu layanan dalam melakukan pengujian, serta pendampingan bagi industri rintisan (start up) dan UMKM (usaha menengah, kecil, mikro),” ujarnya
Seminar di bidang kefarmasian dan alat kesehatan tersebut diselenggarakan untuk meningkatkan akses kemandirian bangsa atas ketersediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Kolaborasi antara akademisi, industri, komunitas, pemerintah, dan inovator semakin kuat diharapkan mendukung percepatan hilirisasi riset di sektor kesehatan.
Terkait ruang uji terbatas, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi, menambahkan, pendekatan baru diperlukan karena pendekatan lama dalam merumuskan peraturan kesehatan tidak lagi cukup untuk mengimbangi perkembangan pesat dari disrupsi inovasi kesehatan digital.
Regulasi harus bersifat flesibel dan gesit dalam menyikapi perkembangan yang terjadi.
Hiliriasi
Meski perkembangan riset di bidang kesehatan sudah berkembang pesat, Nila menuturkan, bangsa Indonesia masih memerlukan penguatan untuk mendukung hilirisasi riset. Tujuannya untuk mewujudkan kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan produksi dalam negeri.
Dari data Kementerian Kesehatan, industri alat kesehatan telah tumbuh 12 persen setiap tahun. Namun, 90 persen alat kesehatan yang digunakan di dalam negeri merupakan produk impor. Selain itu, sekitar 95 persen bahan dasar dari obat yang diproduksi di Indonesia masih harus diimpor.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine mengatakan, percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan telah menjadi prioritas pemerintah.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 telah mendorong 12 kementerian dan lembaga untuk mendukung percepatan tersebut.
Selain itu, melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi juga menempatkan industri farmasi sebagai industri strategis nasional.
Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan menargetkan, pada 2021 Indonesia mampu menurunkan ketergantungan impor bahan baku obat hingga 15 persen. Juga memberikan berbagai kemudahan bagi industri yang ingin mengembangkan inovasi.
"Selain dengan pemberian 300 persen super deductible tax bagi industri yang mau mengembangkan kegiatan penelitian dan inovasi, perizinan pun sudah dimudahkan melalui sistem daring,” ujar Engko.