Harga Garam di Pantura Semakin Jatuh, Petani Terus Rugi
Harga garam di tingkat petani di Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, masih anjlok di bawah Rp 300 per kilogram.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Harga garam di tingkat petani di Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, masih anjlok di bawah Rp 300 per kilogram. Padahal, beberapa upaya penyerapan garam rakyat telah dilakukan pemerintah dan pengusaha.
Di Desa Kalianyar, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jumat (6/9/2019), harga garam di tingkat petani jatuh hingga Rp 270 per kg. ”Awal panen Juni lalu harganya masih Rp 350 per kg. Ini sudah rendah karena tahun lalu, harga garam mencapai Rp 800 per kg. Bahkan, lebih mahal,” ujar Kholid (45), petani setempat.
Bersama tiga petani lain, Kholid menggarap 2 hektar lahan garam. Meskipun tidak mengeluarkan modal, ia tetap merugi. Dia mencontohkan, dalam sehari, hasil panen mencapai 1 ton. Dengan harga Rp 270 per kg, hasil panennya dibeli Rp 270.000.
Jumlah itu lalu dibagi dua kepada pemilik lahan dan penggarap. Uang Rp 135.000 itu lalu dibagi tiga kepada sesama penggarap. Artinya, Kholid mendapatkan Rp 45.000 per hari. Jumlah itu jauh di bawah buruh tani atau kuli bangunan, di atas Rp 85.000 per hari.
”Bahkan, kalau dihitung, saya bisa dapat Rp 30.000 per hari. Saya terpaksa jual gabah sisa panen dan mengutang lebih dari Rp 1 juta ke keluarga. Kalau tidak, bagaimana bisa makan. Semoga harga garam segera naik sekitar Rp 500 per kg,” katanya.
Vindhi Ferdiansyah (37), petani lainnya, heran dengan anjloknya harga garam. Padahal, lanjutnya, petani telah berupaya memperbaiki kualitas garam. Salah satunya memasang plastik membran di meja garam. Dengan begitu, garam tidak langsung bercampur tanah. Sebagian garam yang dihasilkan juga tampak putih.
”Saya menghabiskan lebih dari Rp 4 juta untuk beli plastik. Kalau harganya anjlok seperti sekarang, modal untuk beli plastik saja belum ada,” kata Ferdiansyah yang mengolah 2 hektar lahan. Bahkan, menurut dia, ongkos membayar kuli angkut saja tidak cukup jika harga garam Rp 270 per kg.
Ironisnya, meskipun harganya jatuh, petani tetap saja kesulitan menjual garam. Gudang berdinding bambu dan beralas tanah penuh dengan garam. Jika tidak punya gudang, petani menyimpan hasil panennya yang telah dikemas dalam karung di sekitar tambak. Karung berisi garam tersebut berjejer di pinggir jalan. Stok 30 ton garam Ferdiansyah hasil panen tahun lalu juga masih terbengkalai di gudang. Beratnya pun diperkirakan telah susut sekitar 10 persen.
”Garam itu dulu saya beli Rp 800 per kg. Kalau dijual Rp 300 per kg, saya rugi Rp 500 per kg. Itu pun belum ada yang mau beli,” katanya.
Ismail (32), petani garam asal Desa Rawaurip, Kabupaten Cirebon, juga masih menyimpan 60 ton garam hasil panen. ”Harganya sudah turun Rp 200 per kg. Padahal, puncak panen sudah lewat. Saya mau jual kalau musim hujan saja supaya harganya bagus. Tetapi, sekarang garam petani lainnya juga belum terjual,” ungkap Ismail yang ragu harga garam membaik.
Harganya sudah turun Rp 200 per kg. Padahal, puncak panen sudah lewat. Saya mau jual kalau musim hujan saja supaya harganya bagus.
Dalam rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian, Selasa (20/8/2019), di Jakarta, pelaku industri telah menyerap 100.000 ton garam rakyat. Jumlah itu masih 10 persen dari total komitmen penyerapan garam rakyat sebesar 1,1 juta ton periode Agustus 2019-Juli 2020. Pertengahan Agustus, produksi garam rakyat mencapai 197.462 ton. Sisa stok produksi 2018 tercatat 181.620 ton (Kompas.id, 20/8/2019).
Secara terpisah, Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan, kualitas garam rakyat menjadi kendala penyerapan. Ini membuat pengusaha serba salah. ”Kami disalahkan satuan tugas pangan karena membeli garam dengan natrium klorida (NaCl) di bawah 94 persen, tidak beryodium. Tetapi, kalau tanpa kami, siapa yang menyerap garam petani?” katanya.