Dadeng Sutaryadi, Inovator Kemajuan Desa
Usai lulus kuliah sepuluh tahun lalu, Dadeng Sutaryadi Irawan (33) tak ragu pulang kampung. Berbagai pekerjaan, dari guru, kepala dusun, hingga direktur BUMDes, ia jalani. Jalannya untuk mengabdi membangun desa tak sepenuhnya mulus.
Setelah lulus kuliah sepuluh tahun lalu, Dadeng Sutaryadi Irawan (33) tak ragu pulang kampung. Berbagai pekerjaan, mulai dari guru, kepala dusun, hingga direktur BUMDes ia jalani. Kisahnya untuk mengabdi membangun desa tak sepenuhnya mulus.
Dingin menyergap Desa Gelaranyar, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Sabtu (17/8/2019) pagi. Menerobos rerumputan yang masih berembun, Dadeng melangkah menghampiri dapur-dapur warga.
Pagi itu, dia mengecek stok gula aren produksi warga. Sejak 1,5 tahun terakhir, produk unggulan desa tersebut diminati banyak pembeli dari luar daerah, seperti Bandung, Bekasi, dan Sumedang.
Gula aren dijual ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mugilancar yang dipimpin Dadeng. Dengan memanfaatkan internet, gula aren dan produk desa lainnya, seperti lengkuas bubuk, kunyit bubuk, serta minyak sereh wangi, dipasarkan lewat media sosial. Alhasil, jangkauan pasar meluas, harga jual pun ikut terkerek naik.
Salah satu dapur yang dia kunjungi milik mertuanya. Di dapur berdinding bilik bambu itulah lembaran baru perekonomian petani aren Gelaranyar dimulai. ”Tiga tahun lalu, saya merenung di dapur ini. Mertua saya punya pohon aren dan mengolahnya sendiri, tetapi mengapa sulit berkembang?” ujar Dadeng, mengenang pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
Setelah bertanya kepada mertua dan petani aren lainnya, Dadeng menemukan jawabannya. Masalah utamanya adalah minimnya inovasi produk dan terbatasnya pasar. Petani hanya bergantung pada tengkulak.
Harga gula aren yang dipatok tengkulak tak menentu, berkisar Rp 7.000-Rp 9.000 per kilogram. Harga Rp 9.000 per kg hanya berlaku pada saat-saat tertentu, seperti menjelang Idul Fitri. Petani tak mempunyai banyak pilihan saat tengkulak menetapkan harga rendah.
Persoalan tersebut membuat Dadeng yang saat itu masih menjadi pendamping lokal desa gelisah. Dia pun mendiskusikannya dengan Kepala Desa Mugilancar, Jenal. Hasilnya, mereka sepakat produk gula aren perlu inovasi sehingga tak hanya dijual batangan. Rantai pasar harus segera diubah.
”Inovasi dibutuhkan untuk memberikan nilai lebih. Selain itu, pemasaran juga harus diperbaiki agar petani menikmati produksi gula arennya sendiri, bukan tengkulak,” ujarnya.
Tak ingin ide itu membeku, Pemerintah Desa Gelaranyar mengadakan pelatihan mengolah gula aren kepada 45 warga pada 2017. Mereka dibimbing tim dari Kementerian Ketenagakerjaan yang kebetulan saat itu tengah melatih potensi masyarakat desa di Indonesia.
Kini, sebagian petani tidak lagi menjual gula aren dalam bentuk batangan. Gula diolah menjadi serbuk atau sering dinamakan gula semut aren. Produk ini diminati usaha pengolahan makanan di beberapa daerah.
Walakin, inovasi saja tak cukup. Produk unggulan desa, seperti gula aren, juga perlu akses pasar hingga ke luar desa. Dipasarkan secara manual tidak efektif karena Desa Gelaranyar jauh dari pusat pemerintahan dan bisnis.
Jalan menuju desa itu sempit dan berlubang. Saat musim hujan, jalan berlumpur sehingga semakin sulit dilalui. Jarak ke jalan raya sekitar 6 kilometer. Desa Gelaranyar berjarak sekitar 63 km dari pusat Pemerintahan Kabupaten Cianjur dan 93 kilometer dari pusat Pemerintahan Provinsi Jabar.
Menyadari desanya ”terkurung” akses yang kurang memadai, Dadeng melihat media sosial dapat dijadikan solusi. Oleh sebab itu, sejak akhir 2017, BUMDes memasarkan produk unggulan desa lewat Facebook, Twitter, dan Instagram.
”Dampaknya luar biasa. Kami bisa terhubung dengan pembeli dari luar desa, bahkan di luar Cianjur,” ujarnya.
Medsos tak hanya memudahkan petani menjual gula arennya. Mereka juga menikmati harga lebih tinggi. BUMDes membeli gula petani seharga Rp 11.000 per kg dalam bentuk batangan. Sementara, jika diolah menjadi serbuk, dihargai Rp 14.000 per kg.
Perubahan rantai pasar ini membuat petani tersenyum lebar. Sopiah (50), mantan TKI di Arab Saudi pada 2002-2005, merasakannya. Dari enam pohon aren, dia dan suaminya, Ruslan (54), memproduksi sedikitnya 10 kg gula aren per hari.
Artinya, jika menjual gula batangan ke BUMDes, penghasilannya Rp 770.000-Rp 980.000 per pekan atau Rp 3 juta-Rp 3,9 juta per bulan. Padahal, saat menjadi TKI, dia hanya digaji Rp 1,2 juta per bulan.
”Ternyata kerja di desa bisa menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan kerja di luar negeri. Ini enggak pernah terbayang sebelumnya,” ujar Sopiah sambil menggiling gula aren menggunakan batok kelapa untuk dijadikan gula semut.
Mengabdi di desa
Dadeng menamatkan kuliah dari Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pasundan, Bandung, pada 2009. Namun, niat untuk mengabdi di desanya sudah tercetus sejak memulai kuliah pada 2004. Tak ada kata gengsi untuk pulang kampung. Baginya, desa ibarat harta karun. Harus terus digali potensinya untuk kesejahteraan warga desa.
Dia mengawali karier sebagai guru di SMP Negeri 2 Pagelaran yang terletak di Gelaranyar. ”Saat itu, beberapa guru di sekolah itu berasal dari luar desa. Kalau mereka pensiun, tentu tidak mudah mencari guru yang mau mengajar di desa terpencil seperti di sini,” ujarnya.
Pada 2017, suami dari Siti Hodijah itu beralih menjadi pendamping lokal Desa Gelaranyar. Dia bertugas mendampingi pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat dan mengembangkan BUMDes. Setahun berselang, Dadeng menjadi Kepala Dusun Sukamulya yang membawahi 1 RW dan 4 RT di Gelaranyar.
Dia mengenal warga lebih dekat, termasuk unek-uneknya. Momen ini menjadi kesempatan baginya untuk ”belanja” masalah. Mencari berbagai persoalan, lalu menemukan jawabannya. Di saat itulah dia menyadari potensi gula aren di Gelaranyar sangat besar. Sebab, aren tidak mengenal musim panen sehingga dapat diproduksi setiap hari.
Dadeng mengatakan, Gelaranyar menghasilkan sekitar 2,5 ton gula aren per minggu. Namun, baru 1 ton per minggu yang dipasarkan oleh BUMDes. Hasil penjualan itu memberikan pemasukan sekitar Rp 10 juta per bulan.
Akan tetapi, sebagian petani aren masih terjebak sistem ijon. Mereka membayar utang kepada tengkulak dari hasil panen. Jadi, petani tak punya banyak pilihan ketika tengkulak menetapkan harga rendah. Namun, Dadeng optimistis, peran tengkulak akan semakin tergerus jika pemberdayaan warga terus diasah.
Menjelang siang, pemeriksaan stok usai meski belum ideal. Dadeng pulang ke rumahnya. Gula aren batangan tertata rapi di dapurnya. Namun, kontainer plastik tempat penyimpanan gula semut kosong. Sebab, dari puluhan petani aren di desa itu, baru tiga orang yang rutin mengolah gula semut.
Dadeng Sutaryadi Irawan
Lahir: Cianjur, 4 April 1986
Pendidikan Terakhir: Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pasundan (Lulus 2009).
Riwayat Pekerjaan
· Guru SMP Negeri 2 Pagelaran, Cianjur (2009-2016)
· Pendamping lokal Desa Gelaranyar (2017)
· Kepala Dusun Sukamulya, Desa Gelaranyar (2018)
· Sekretaris Desa Gelaranyar (Januari-Mei 2019)
· Direktur BUMDes Mugilancar, Desa Gelaranyar (Juni 2019-sekarang)
Istri: Siti Hodijah (31)
Anak: Abraham Dzakir Khafadi Irawan (5)
Asya Qiana Khaliqa Irawan (3 bulan)