Joshua Wong (22), seorang aktivis demokrasi ternama, kembali ditahan oleh Kepolisian Hong Kong, Jumat (30/8/2019). Wong ditahan atas tuduhan menyelenggarakan dan berpartisipasi dalam unjuk rasa ilegal. Dua aktivis lainnya juga ditahan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, JUMAT — Joshua Wong (22), seorang aktivis demokrasi ternama, kembali ditahan oleh Kepolisian Hong Kong, Jumat (30/8/2019). Wong ditahan atas tuduhan menyelenggarakan dan berpartisipasi dalam unjuk rasa ilegal. Dua aktivis lainnya juga ditahan.
Wong baru saja dibebaskan pada 17 Juni 2019 setelah dihukum lima minggu penjara atas tuduhan penghinaan kepada pengadilan. Ia merupakan remaja yang memimpin aksi unjuk rasa prodemokrasi atau Gerakan Payung pada 2014.
”Sekretaris jenderal kami (Wong) baru ditahan pagi ini, sekitar pukul 07.30. Ia secara paksa didorong ke dalam sebuah mobil pribadi di jalan. Pengacara kami sedang menangani kasus ini,” bunyi pernyataan Demosisto, organisasi politik prodemokrasi yang menaungi Wong, melalui Twitter.
Wong kembali menjadi sorotan China setelah sebuah surat kabar pro-Beijing merilis fotonya bertemu dengan seorang pejabat Konsulat Amerika Serikat pada awal Agustus 2019. AS mengecam China karena merilis foto dan menyebarkan informasi pribadi diplomat tersebut.
Aktivis lain yang ditahan bersamaan dengan Wong adalah rekannya di Demosisto, Agnes Chow (22). Chow menghadapi tuduhan yang sama, yakni menyelenggarakan unjuk rasa ilegal dan berpartisipasi dalam unjuk rasa ilegal secara sadar.
Menurut Demosisto, Wong dan Chow kini ditahan di markas kepolisian di Wan Chai. Hingga saat ini, Kepolisian Hong Kong tidak merespons terkait penahanan kedua aktivis ini.
Aktivis lain yang telah ditahan terlebih dulu adalah Andy Chan (28). Chan ditahan di Bandara Internasional Hong Kong ketika akan berangkat ke Jepang, Kamis (29/8/2019). Ia ditahan atas tuduhan berpartisipasi dalam kerusuhan dan menyerang anggota kepolisian dalam unjuk rasa pada 13 Juli 2019.
Chan merupakan pendiri partai pro-kemerdekaan, Partai Nasional Hong Kong. Partai ini dilarang pemerintah sejak September 2018 dengan alasan mengancam keamanan nasional.
Penahanan mereka menjadi penahanan aktivis ternama yang pertama kali terjadi setelah ratusan pengunjuk rasa lainnya ditahan polisi. Sejauh ini, sekitar 900 orang ditahan polisi dalam sejumlah aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan.
Sejak awal Juni 2019, warga menggelar aksi unjuk rasa menolak rancangan undang-undang ekstradisi usulan Pemerintah Hong Kong yang dapat mengirim warga ke China. Aksi protes berubah menjadi gerakan prodemokrasi.
Tuntutan para pengunjuk rasa kini bertambah, antara lain meminta Pemerintah Hong Kong mencabut RUU Ekstradisi, membatalkan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, membebaskan pengunjuk rasa yang ditahan, mendesak Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri, membentuk penyelidikan kekerasan oleh polisi, serta menghendaki pemilihan pejabat Pemerintah Hong Kong kembali.
Tebar ketakutan
Penahanan sejumlah aktivis prodemokrasi ternama Hong Kong semakin menebar rasa ketakutan di antara para pengunjuk rasa. Mereka sebelumnya akan menggelar aksi unjuk rasa besar pada Sabtu (31/8/2019), tepat pada peringatan lima tahun Beijing mencabut hak pemilihan umum bagi warga Hong Kong.
Penahanan sejumlah aktivis prodemokrasi ternama Hong Kong semakin menebar rasa ketakutan di antara para pengunjuk rasa.
Salah satu kelompok penyelenggara protes, Front Hak Asasi Manusia Sipil, mengumumkan akan membatalkan aksi unjuk rasa pada Sabtu (31/8/2019). Mereka awalnya berencana melakukan unjuk rasa mulai dari distrik pusat bisnis Hong Kong (CBD Hong Kong) hingga Kantor Perwakilan Kantor Penghubung Beijing.
Hong Kong merupakan wilayah khusus China yang menganut sistem pemerintahan sendiri sejak 1997. Meskipun China belum ikut campur atas krisis politik yang terjadi secara langsung, intimidasi Pemerintah Hong Kong dan Beijing terus menguat.
Pengunjuk rasa kerap diserang oleh sekelompok preman tidak dikenal setelah melakukan aksi. Kepolisian juga menahan ratusan pengunjuk rasa dengan menggunakan kekerasan.
Sementara itu, Pemerintah China berulang kali mengecam aksi unjuk rasa yang terjadi. Media massa China juga terus merilis foto dan video latihan pasukan militer yang berada di sekitar Hong Kong.
Amnesty International menyatakan, para pengunjuk rasa kini dilanda rasa ketakutan mengingat kekerasan terhadap aktivis prodemokrasi berulang kali terjadi. ”Sangat penting bagi pihak berwenang untuk mengirim pesan yang jelas bahwa mereka yang mengincar pengunjuk rasa dengan kekerasan, terlepas dari pandangan politik mereka, akan diadili,” bunyi pernyataan Amnesty International. (Reuters/AFP)