Mengapa Harus Bangun Literasi kalau Pemerintah Tetap ”Main” Blokir?
Di saat masyarakat tengah berjuang keras membangun literasi digital, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika justru beberapa kali melakukan pembatasan dan pemblokiran internet secara sepihak.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Di saat masyarakat tengah berjuang keras membangun literasi digital, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika justru beberapa kali melakukan pembatasan dan pemblokiran internet secara sepihak. Jika hanya cukup pencet tombol on atau off saja untuk mengendalikan peredaran informasi di dunia maya, kampanye literasi digital yang sudah digembar-gemborkan selama ini sia-sia.
Masih tercatat tebal di rekam jejak digital bagaimana dua tahun lalu Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital #SiBerkreasi di Jakarta. Ini adalah gerakan nasional untuk menanggulangi penyebaran konten negatif melalui internet, seperti hoaks, perundungan, serta radikalisme daring.
Penanggulangan penyebaran konten-konten negatif di internet dilakukan dengan cara menyosialisasikan literasi digital ke berbagai sektor, salah satunya dengan mendorong masuknya materi literasi digital ke kurikulum formal sekolah. Gerakan ini juga mendorong masyarakat untuk aktif berpartisipasi menyebarkan konten-konten positif melalui internet.
Namun, ketika pendewasaan literasi digital mulai bertumbuh di akar rumput, pemerintah justru memilih jalur pintas dengan memperlambat, bahkan memblokir layanan data dan telekomunikasi. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan, sudah dua kali insiden pembatasan dan pemblokiran dilakukan.
Ketika proses pendewasaan literasi digital mulai bertumbuh di akar rumput, pemerintah justru memilih jalur pintas dengan memperlambat, bahkan memblokir layanan data dan telekomunikasi.
Sembilan hari sudah saudara-saudara kita di Papua dan Papua Barat mengalami kegelapan internet. Pemblokiran akses internet atau layanan data dan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat bukanlah yang pertama kali. Pada Mei 2019 lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membatasi layanan media sosial pasca-kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta.
Selang tiga bulan, rupanya pola yang sama dilakukan kembali oleh pemerintah untuk menekan eskalasi konflik di Papua dan Papua Barat. Sama seperti di kasus di Jakarta, alasan pembatasan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat adalah untuk menekan transmisi kabar-kabar bohong.
”Jika pola-pola pemblokiran akses internet seperti ini diterapkan terus-menerus pada saat terjadi konflik atau kerusuhan, lalu apa gunanya pemerintah gencar mengampanyekan gerakan literasi media sosial kepada masyarakat? Yang semestinya diperkuat adalah literasi masyarakat dalam menyikapi peredaran informasi di media sosial,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Pertanyakan kewenangan
Berbagai organisasi mendesak pemerintah untuk segera membuka kembali akses layanan data telekomunikasi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut mereka, pemblokiran akses internet adalah sebuah kemunduran karena membiarkan masyarakat berada di dalam kegelapan informasi.
Hari Jumat (23/8/2019), mereka menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Kominfo dengan membawa poster dan menyampaikan orasi. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti SAFEnet, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Amnesty International Indonesia, Yayasan Pusaka, Asia Justice and Rights, Elsam, Protection International Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Yayasan Satu Keadilan, Federasi Kontras, Universitas Papua Manokwari, Walhi, Papua Itu Kita, Vivat Indonesia, dan Greenpeace.
Dalam petisi yang disampaikan, mereka menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur kewenangan Menkominfo untuk melakukan pembatasan dalam bentuk pelambatan ataupun pemutusan akses internet. Oleh karena itu, pembatasan dan pemblokiran akses internet oleh Menkominfo bukan bentuk diskresi yang diperbolehkan menurut hukum.
Pembatasan dan pemblokiran akses internet oleh Menkominfo bukan bentuk diskresi yang diperbolehkan menurut hukum.
Berdasarkan UUD 1945, hanya Presiden yang berwenang menetapkan pembatasan terhadap penikmatan hak-hak sipil dan politik di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia. Namun, pembatasan tersebut harus dinyatakan oleh presiden secara terbuka dan dilakukan untuk jangka waktu tertentu yang harus dinyatakan terbuka pula.
Aksi penolakan terhadap pemblokiran ini masih terus-menerus bergulir. Petisi #NyalakanLagi internet di Papua dan Papua Barat telah tembus 12.074 penandatangan, Senin (26/8/2019), pukul 18.44 WIB. Namun, pemerintah bergeming.
Saat ini, masyarakat di Papua dan Papua Barat hanya bisa berkomunikasi dengan layanan panggilan telepon dan pesan singkat/SMS. Meski layanan telpon dan pesan singkat masih bisa digunakan, pemblokiran internet tetap saja sangat merugikan masyarakat karena berbagai macam aktivitas publik kini sangat mengandalkan fasilitas internet.
Mulai dari transaksi jual beli, belajar-mengajar, kebutuhan pelayanan medis antara dokter, rumah sakit dan pasien, kerja jurnalis saat menginformasikan fakta di lapangan, hingga ekspresi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat atas situasi yang ada di Papua dan Papua Barat.
”Pemblokiran di Papua dan Papua Barat membuat saya berpikir betapa pemerintah senangnya instan saja. Begitu gagal membendung hoaks, mereka menutup begitu saja jalur internet. Ini seperti memburu satu ekor tikus dengan mengebom satu rumah.
Padahal, fungsi internet tidak semata-mata untuk menyebarkan hoaks, tetapi juga untuk kerja, mengirim data, cari bahan pelajaran, atau memesan dan mendatangkan pesanan ojek daring, dan sebagainya,” kata Syaifullah, pegiat literasi digital di Jayapura.
Pemblokiran di Papua dan Papua Barat membuat saya berpikir betapa pemerintah senangnya instan saja. Begitu gagal membendung hoaks, mereka menutup begitu saja jalur internet.
Menurut evaluasi yang dilakukan Kementerian Kominfo dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait akhir pekan lalu, pemerintah menyimpulkan bahwa situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat mulai berangsur-angsur pulih.
”Meski sudah pulih, distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis masih terbilang tinggi,” klaim Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu.
Terlepas dari niat pemerintah di atas, Indonesia perlu belajar dari pengalaman India. Alih-alih mengembalikan keadaan menjadi kondusif dan normal, pemblokiran internet di India justru menyebabkan semakin meningkatnya intensitas kekerasan saat berlangsungnya unjuk rasa di negara tersebut. Jangan sampai kasus tersebut terulang di Indonesia. Dengan masifnya gerakan literasi digital, masyarakat pasti akan semakin waras menyikapi gegar budaya digital.