Menjelang pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2019-2024 pada Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo mengajak para legislator untuk bersama-sama melakukan deregulasi secara besar-besaran.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2019-2024 pada Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo mengajak para legislator untuk bersama-sama melakukan deregulasi secara besar-besaran. Pembahasan aturan perundangan diharap bisa lebih cepat, tidak bertele-tele, kendati tetap teliti.
Ajakan ini disampaikan Presiden Joko Widodo saat membuka acara Orientasi dan Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan bagi Anggota DPR dan DPD Terpilih Periode 2019-2024, di Jakarta, Senin (26/8/2019). Acara diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) untuk 711 anggota DPR dan DPD terpilih periode 2019-2024.
Menurut Gubernur Lemhannas Letnan Jenderal Agus Widjojo, peserta tersebut terdiri dari 575 anggota DPR dari sembilan partai dan 136 anggota DPD dari 34 provinsi. Untuk anggota DPR, disiapkan empat gelombang pembekalan, sedangkan untuk anggota DPD satu gelombang acara. Setiap gelombang acara pembekalan terdiri atas 10 hari dan diakhiri dengan outbound.
Dalam pembukaan tersebut, Presiden Jokowi kembali menegaskan, Revolusi Industri Keempat dan perubahan yang sangat cepat membuat negara yang cepatlah yang akan menang, bukan negara besar. Karena itu, perlu ada strategi baru dalam bernegara. Pembuatan regulasi juga memerlukan kecepatan.
Dicontohkan, setiap kepala negara, kepala pemerintahan, dan raja dalam setiap konferensi internasional seperti G-20 ataupun Asian Summit selalu menceritakan regulasi yang tertinggal dengan perkembangan teknologi. Salah satunya adalah pajak digital. Ketika dunia perdagangan digital sudah bergerak dua-tiga tahun, regulasi di hampir semua negara belum ada, termasuk di Indonesia.
Apakah tidak bisa kita evaluasi agar lebih cepat tanpa mengurangi ketelitian dalam membuat setiap undang-undang sehingga kualitasnya semakin detail dan baik.
Masalahnya, pola pembuatan regulasi di Indonesia selama berpuluh tahun tak berubah. Sejak zaman Orde Baru, pembuatan aturan perundangan bertele-tele mulai daftar inventarisasi masalah, pembahasan dua kali masa sidang, kunjungan kerja, studi banding di dalam dan luar negeri.
Penganggaran juga dimulai nota keuangan, kemudian pembahasan oleh Menteri Keuangan di sidang paripurna, lalu ke komisi dan badan anggaran, dan kembali ke paripurna serta pandangan fraksi-fraksi.
”Apakah tidak bisa kita evaluasi agar lebih cepat tanpa mengurangi ketelitian dalam membuat setiap undang-undang sehingga kualitasnya semakin detail dan baik,” ujar Presiden.
Ketika pembahasan rancangan undang-undang belum selesai di periode sebelumnya, Presiden mengharapkan hal ini bisa otomatis ditangani DPR periode berikutnya. Sebab, semestinya yang bertanggung jawab adalah lembaganya.
”Mohon maaf, ini mengingatkan saja kepada kita semuanya agar kita bisa bekerja lebih cepat karena urusan pendapatan anggota DPR, kan, sudah lebih besar dari menteri, bahkan lebih besar dari Presiden, benar?” tutur Presiden, yang ditanggapi Ketua DPR Bambang Soesatyo dengan mengangguk-angguk.
Di sisi lain, lanjut Presiden, regulasi di Indonesia terlalu banyak sehingga menjerat dan menghambat diri sendiri. Karena itu, perlu dibuat peraturan sesederhana mungkin sehingga eksekutif bisa berjalan lebih cepat dan fleksibel terhadap perubahan-perubahan. Deregulasi diperlukan.
Presiden pun berharap DPR tak perlu membuat aturan perundangan terlalu banyak, tetapi benar-benar yang diperlukan rakyat. Selain itu, aturan tetap memberikan fleksibilitas kepada eksekutif dalam bekerja.
Reformasi perundang-undangan harus kita lakukan besar-besaran. Jangan kita terjebak pada regulasi yang kaki, formalitas, ruwet, yang justru menyibukkan masyarakat maupun pelaku-pelaku usaha.
Presiden Jokowi pun mencontohkan, saat masih pengusaha, sekitar 18 tahun lalu, dirinya pernah mengurus izin investasi di Uni Emirat Arab, Dubai. Di kantor pusat perekonomian, dia membawa persyaratan dan memberikan tanda tangan. Setelahnya, dia ke kantor notaris yang berjarak sekitar 50 meter dan memproses perizinan secara daring. Dari kantor notaris, Jokowi kembali ke kantor kementerian dan izin sudah selesai lengkap.
Prosesnya tak lebih dari 30 menit. Presiden Jokowi membandingkan dengan izin perusahaan pembangkit listrik di Indonesia yang baru rampung setelah lebih dari enam tahun. Hal ini, menurut Presiden, akan membuat Indonesia akan terus terjebak sebagai negara berpendapatan menengah saja.
”Reformasi perundang-undangan harus kita lakukan besar-besaran. Jangan kita terjebak pada regulasi yang kaki, formalitas, ruwet, yang justru menyibukkan masyarakat maupun pelaku-pelaku usaha,” ucapnya.
Presiden pun mengajak semua anggota DPR dan DPD agar bersama-sama membuat regulasi yang konsisten. Regulasi yang tumpang tindih diselaraskan dan disederhanakan.
Ke depan, lanjutnya, ukuran kinerja sebagai pembuat aturan perundangan bukan diukur dari seberapa banyak aturan yang dibuat, melainkan sejauh mana kepentingan rakyat dan kepentingan negara bisa dilindungi.
Selain itu, aturan perundangan yang dihasilkan harus mampu meningkatkan efisiensi, kecepatan, dan anggaran sepenuhnya didedikasikan untuk rakyat, negara, dan bangsa.
Tidak fleksibel
Di sela acara, anggota DPR periode 2019-2024 dari PDI-P, Bambang DH, menyepakati arahan Presiden tersebut. Bambang yang pernah menjabat Wali Kota Surabaya pada 2002-2010 mengakui juga merasakan banyak regulasi yang membuat pemerintah tidak fleksibel dalam membuat terobosan.
”Jangan bermimpi melompat kalau melangkah saja tidak bisa. Untuk melangkah cepat saja, perlu penyesuaian regulasi. Cuma, tentu ini enggak mudah karena harus dibicarakan secara kolektif dengan stakeholder. Saya pikir ini ajakan positif,” tuturnya.