Perbankan nasional berkomitmen untuk ikut serta membiayai berbagai proyek terkait relokasi ibu kota. Namun, perbankan masih mengkaji proyek-proyek apa saja yang layak dibiayai.
Oleh
Kelvin Hianusa/Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbankan nasional berkomitmen untuk ikut serta membiayai berbagai proyek terkait relokasi ibu kota. Namun, perbankan masih mengkaji proyek-proyek apa saja yang layak dibiayai.
Pemerintah telah menyampaikan anggaran untuk pemindahan ibu kota baru yang sedikitnya membutuhkan dana Rp 466 triliun. Kebutuhan pembiayaan ini akan terbagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta, serta kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Anggoro Eko Cahyo mengatakan, pihaknya akan melakukan pengkajian terkait kelayakan pembiayaan untuk relokasi ibu kota dan penunjangnya. BNI menyatakan berpeluang terlibat dalam pembiayaan, baik secara individual ataupun sindikasi.
Anggoro menjelaskan, BNI berpeluang membiayai sektor infrastruktur dasar, konstruksi, dan properti, baik untuk perkantoran maupun perumahan, serta public utilities lainnya (sekolah, pasar, rumah sakit, puskesmas).
”Sekali lagi masih akan menyiapkan kajiannya secara komprehensif sambil menunggu detail kelanjutan dari program pemerintah terkait pemindahan ibu kota ini,” kata Anggoro, Selasa (27/8/2019), di Jakarta.
Untuk likuiditas, menurut Anggoro, hal itu tidak menjadi masalah. ”Kami bisa memenuhinya melalui penggalian sumber dana konvensional dan nonkonvensional melalui capital market,” pungkasnya.
Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Mahelan Prabantarikso mengatakan, pihaknya belum membahas terkait pembiayaan pemindahan ibu kota. Namun, BTN akan mendukung kebijakan pemerintah dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan tata kelola baik.
Sementara itu, pihak bank swasta masih belum ingin berkomentar terkait pembiayaan ibu kota. Mereka melihat kebutuhan pembiayaan dari swasta masih lama.
”Masih lama, jangan berandai-andai sekarang,” kata Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja.
Ekonom Bank DBS Indonesia, Masyita Crystallin, memandang likuiditas perbankan akan mencukupi untuk kebutuhan pembiayaan relokasi ibu kota negara.
”Kondisi likuiditas di dalam negeri pada paruh kedua tahun 2019 relatif melonggar dibandingkan dengan kondisi awal tahun dan akhir tahun 2018, seiring dengan dikeluarkannya sejumlah stimulus moneter oleh Bank Indonesia (BI),” ujarnya.
BI kembali menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Agustus 2019. Hal ini berarti suku bunga acuan telah dipangkas hingga 50 bps dalam dua bulan berturut-turut.
Kecukupan likuiditas pasar uang antarbank (PUAB) tecermin pada rata-rata volume PUAB harian yang tetap tinggi, yakni Rp 18,96 triliun, sehingga mengarahkan volatilitas suku bunga PUAB O/N tetap rendah. Likuiditas perbankan juga terjaga yang antara lain tecermin pada rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 19,1 persen pada Juni 2019, meningkat dari 18,5 persen pada Mei 2019.
Masyita mengatakan, penurunan suku bunga acuan umumnya memang akan mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi di dalam negeri. Pasalnya, perbankan juga secara perlahan akan mengikuti bunga acuan yang ditetapkan BI.
Likuiditas perbankan mencukupi untuk kebutuhan pembiayaan relokasi ibu kota negara.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan, pembiayaan pemindahan ibu kota melalui skema perbankan sangat memungkinkan. Namun, pembiayaan lebih tepat dengan skema sindikasi.
”Khusus untuk bank BUMN harus mempertimbangkan batas maksimum penyaluran kredit (BMPK). Sementara likuiditas perbankan juga harus diperhatikan,” kata Abdul.
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan menyatakan BMPK untuk BUMN sudah hampir mendekati limit maksimal sebesar 30 persen dari total penyaluran kredit. Hal ini akan membatasi langkah tersebut. Sebab, OJK dan BI tidak akan memperlebar batas tersebut.
Kondisi likuiditas, menurut Abdul, juga sedang ketat. Pertumbuhan kredit selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga. Hai itu akan menyulitkan bank terlibat dalam proyek pemindahan yang sifatnya jangka panjang.
”Potensi missmatch likuiditas (DPK dengan kredit) akan sangat tinggi yang semakin menggerus likuiditas bank. Lewat sindikasi, bank bisa lebih fleksibel karena bank BUMN sudah dibebani proyek infrastruktur lain. Sementara kalau ingin melibatkan bank swasta, suku bunganya harus menarik,” sebut Abdul.