JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan dinamika politik di Partai Golkar menghangat setelah pengepungan Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar di Jakarta yang menuntut diadakannya rapat pleno DPP untuk menentukan jadwal penyelenggaraan Musyawarah Nasional. Rapat pleno itu akan diadakan setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan perolehan suara final Pemilihan Legislatif 2019.
Adapun KPU baru akan mengumumkan hasil Pemilihan Legislatif 2019 setelah pemungutan dan penghitungan suara ulang di sejumlah daerah selesai diadakan. Sebagaimana diketahui, saat ini masih ada penghitungan suara ulang di Kota Surabaya, Kabupaten Trenggalek, Aceh, Sumatera Utara, dan Pegunungan Arfak, serta pemungutan suara ulang di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Atas dasar itu, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily meminta semua pihak untuk bersabar menunggu hasil keputusan KPU. Penyelenggaraan rapat pleno DPP partai, ujarnya, perlu berpatok pada hasil Pemilu 2019 karena salah satu agenda dalam rapat pleno adalah mengevaluasi capaian partai saat pemilihan legislatif.
Rapat pleno juga akan membahas agenda strategis berupa tanggal pelaksanaan musyawarah nasional (munas) untuk regenerasi kepemimpinan dan kepengurusan partai, serta panitia yang akan menyelenggarakan forum permusyawaratan tertinggi partai yang diadakan setiap lima tahun itu.
Selain itu, rapat pleno juga akan membahas agenda strategis berupa tanggal pelaksanaan musyawarah nasional (munas) untuk regenerasi kepemimpinan dan kepengurusan partai, serta panitia yang akan menyelenggarakan forum permusyawaratan tertinggi partai yang diadakan setiap lima tahun itu.
“Bersabar dulu, rapat pleno pasti akan dilaksanakan, tetapi ada prosedur yang harus diikuti. Dasar hukum hasil pemilu harus keluar dulu dari KPU. Kami harapkan, September ini sudah bisa,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Menurutnya, munas tidak perlu terburu-buru dilaksanakan karena berdasarkan jadwal partai, munas seharusnya diadakan pada Desember 2019. “Mengapa kami bersikeras tetap mengadakan Desember, karena itu untuk mempertahankan tradisi dan jadwal yang selama ini diikuti,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, konflik di tubuh Golkar menghangat pasca peristiwa pengepungan dari massa berseragam Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) yang menuntut percepatan rapat pleno dan Munas Golkar. Massa mengunci akses utama masuk-keluar Kantor DPP Partai Golkar di Jakarta Barat, pada Minggu dini hari.
Sementara itu, meski didesak oleh massa dan kelompok lain di partai, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto tetap bersikeras dengan jadwal awal yaitu menyelenggarakan munas pada Desember 2019. “Rapat pleno akan tetap dilaksanakan sesuai mekanisme yang ada, munas akan dilaksanakan pada Desember 2019,” ujarnya, Sabtu (24/8/2019).
Penyusunan kabinet
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, konflik di Partai Golkar adalah hal yang lumrah terjadi di partai berlambang beringin itu. Kultur organisasi Golkar memungkinkan terpeliharanya faksi-faksi dengan berbagai kepentingan, yang akan muncul ke permukaan setiap momentum regenerasi lima tahunan.
Pasca-Pemilihan Presiden 2014 lalu, Partai Golkar juga menghadapi konflik saat momentum regenerasi. Konflik saat itu dilatarbelakangi penentuan sikap politik partai, antara menjadi partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau berada di luar pemerintahan sebagai partai oposisi bersama Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Konflik itu akhirnya berujung pada dualisme kepemimpinan partai antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono. Perseteruan itu berkepanjangan selama lebih dari 2 tahun hingga akhirnya mencapai munaslub rekonsiliasi pada 2016, dengan terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua umum.
Aditya mengatakan, alasan di balik konflik kali ini, pun tidak jauh dari kepentingan pragmatisme politik yang berkaitan dengan dinamika eksternal, yaitu penentuan kader Golkar yang akan mengisi Kabinet Kerja Joko Widodo-Ma’ruf Amin ke depan. Konflik saat ini tidak akan berkaitan dengan sikap politik Golkar untuk lima tahun mendatang, karena siapapun ketua umumnya, Golkar akan tetap berada di lingkaran kekuasaan.
“Jadi, pada dasarnya, kisruh regenerasi di Golkar ini hanya soal pertarungan kepentingan kelompok siapa yang akan diuntungkan dengan konsolidasi kekuasaan yang akan datang,” kata Aditya.