Meski wacana dan kajian tentang pemindahan ibu kota negara sudah dilakukan pemerintah, belum ada usulan revisi atau pembuatan undang-undang terkait ke Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sejumlah dasar hukum dibutuhkan sebagai landasan penetapan lokasi sekaligus memberikan jaminan keberlanjutan pemindahan jika tidak tercapai dalam waktu lima tahun ke depan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski wacana dan kajian tentang pemindahan ibu kota negara sudah dilakukan pemerintah, belum ada usulan revisi atau pembuatan undang-undang terkait ke Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sejumlah dasar hukum dibutuhkan sebagai landasan penetapan lokasi sekaligus memberikan jaminan keberlanjutan pemindahan jika tidak tercapai dalam waktu lima tahun ke depan.
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas, mengatakan, hingga Jumat (23/8/2019) belum ada usulan revisi atau pembuatan undang-undang (UU) terkait pemindahan ibu kota. Padahal, sejumlah regulasi perlu diubah dan dibuat untuk memastikan pemindahan tersebut berjalan sesuai aturan hukum.
Salah satu yang terpenting adalah UU yang menetapkan lokasi ibu kota baru. Tanpa regulasi tersebut, pembangunan tidak bisa dilakukan.
”Agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, UU tentang penetapan ibu kota baru itu yang harus segera diusulkan oleh pemerintah untuk dibahas bersama DPR,” katanya.
Dasar hukum lain yang dibutuhkan, lanjut Supratman, adalah untuk memastikan pemindahan ibu kota tetap terlaksana. Dasar hukum keberlanjutan pemindahan ibu kota itu penting karena anggaran yang dikeluarkan tidak sedikit. Berdasarkan rencana awal, pemerintah menginvestasikan dana Rp 485 triliun untuk memindahkan ibu kota dalam rentang waktu 2020-2024.
”Seandainya sepanjang periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini ibu kota belum bisa dipindahkan, harus ada payung hukum agar bisa diteruskan oleh pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu, dua regulasi itu semestinya diprioritaskan pemerintah mulai sekarang,” ujar Supratman.
Seandainya sepanjang periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini ibu kota belum bisa dipindahkan, harus ada payung hukum agar bisa diteruskan oleh pemerintahan selanjutnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pun telah mengkaji kebutuhan pengubahan dan pembuatan UU terkait ibu kota baru. Ada lima UU yang perlu direvisi, dua UU yang bisa direvisi atau dibuat baru, dan dua UU yang harus dibuat baru.
Kelima undang-undang yang memerlukan amendemen adalah UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Sebanyak dua UU yang bisa direvisi atau dibuat baru adalah UU tentang Penataan Ruang di Ibu Kota Negara dan UU tentang Penataan Pertanahan di Ibu Kota Negara. Sementara itu, UU yang benar-benar harus dimulai sejak awal adalah UU tentang Nama Daerah yang Dipilih sebagai Ibu Kota Negara dan UU tentang Kota.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan, rencana pemindahan ibu kota juga perlu dibicarakan dengan MPR. Lembaga permusyawaratan itu berkepentingan untuk memastikan lokasi ibu kota agar bisa melaksanakan tugas yang tertera dalam konstitusi.
Pasal 2 Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan, MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. ”Di ibu kota itulah nanti kami akan bersidang, melantik presiden dan wakil presiden, serta mengamendemen konstitusi. Maka, sudah tentu suara MPR merupakan bagian yang harus dipertimbangkan,” ujar Hidayat.
Meski percaya pemerintah akan membicarakan ihwal pemindahan ibu kota secara resmi dengan MPR, Hidayat mempermasalahkan urutan kerja yang saat ini ditempuh. Semestinya, pemerintah bekerja sesuai prosedur konstitusional.
Pemindahan ibu kota semestinya dimulai dengan memastikan payung hukum terkait. Sebab, tanpa payung hukum itu, perpindahan juga tidak bisa dilakukan. Selain itu, seluruh aktivitas yang sudah dilakukan rentan gagal jika tiba-tiba DPR tidak menyetujui rencana tersebut.
”Sejauh ini, DPR mempertanyakan karena tidak ada naskah akademik yang diajukan mengenai pemindahan ibu kota. Revisi UU terkait juga tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” kata Hidayat, yang juga anggota Komisi I DPR.
Pemindahan ibu kota semestinya dimulai dengan memastikan payung hukum terkait. Sebab, tanpa payung hukum itu, perpindahan juga tidak bisa dilakukan.
Masih dikaji
Pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan ditegaskan Presiden Joko Widodo ketika meminta izin dari masyarakat dalam Pidato Kenegaraan dalam sidang bersama DPR dan Dewan Perwakilan Daerah di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Namun, hingga saat ini pemerintah belum memastikan lokasi yang akan dipilih sebagai ibu kota baru. Masih ada sejumlah kajian yang belum tuntas guna memutuskan lokasi tersebut.
Presiden Jokowi telah meninjau sejumlah lokasi calon ibu kota baru, antara lain Bukit Soeharto di Kalimantan Timur dan Bukit Nyuling di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Peninjauan dilanjutkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro ke Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Selasa (20/8/2019) lalu.
Bambang mengatakan, meski lokasi belum ditetapkan, sejumlah kajian dilakukan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah memindahkan ibu kota. Penekanan itu penting untuk mewujudkan pembangunan yang bersifat Indonesia sentris.
Pemerintah juga ingin memastikan pemindahan ini tidak mandek saat masa jabatan Presiden Jokowi habis pada 2024. Payung hukum untuk memastikan hal tersebut akan dibuat dalam waktu dekat. ”Tentunya akan dibuat UU mengenai status ibu kota ini. Diharapkan UU tersebut bisa disahkan tahun depan,” kata Bambang (Kompas, 21/8/2019).