Industri Pangan Butuh Pembenahan Kualitas Jagung Domestik
Pengembangan industri pangan berbahan baku jagung di Indonesia sangat prospektif. Pengembangan ini perlu diikuti dengan pembenahan kualitas jagung dalam negeri agar jagung tidak hanya sekadar menjadi pakan.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan industri pangan berbahan baku jagung di Indonesia sangat prospektif. Pengembangan ini perlu diikuti dengan pembenahan kualitas jagung dalam negeri agar jagung tidak hanya sekadar menjadi pakan.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, pengolahan jagung sebagai bahan baku antara industri pangan di Indonesia sangat prospektif. Salah satu contohnya, jagung dapat diolah menjadi tepung pati (corn starch).
”Tepung pati jagung ini dimanfaatkan industri makanan dan minuman sehingga nilai tambahnya tinggi,” kata Bustanul dalam diskusi yang digelar PT Tereos FKS Indonesia di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Berdasarkan data kajian bisnis internal PT Tereos FKS Indonesia, permintaan pati jagung di Indonesia cenderung meningkat. Angka permintaan pada 2016 sebesar 278.362 ton lalu naik menjadi 359.065 ton (2017) dan 603.491 ton (2018).
Namun, Bustanul menyayangkan industri pengolahan jagung di Indonesia masih terfokus di pakan, belum ke pangan. Sekitar 70 persen produksi jagung dalam negeri dimanfaatkan pabrik pakan ternak.
Industri pengolahan jagung di Indonesia masih terfokus di pakan, belum ke pangan. Sekitar 70 persen produksi jagung dalam negeri dimanfaatkan oleh pabrik pakan ternak.
Untuk mengembangkan industri antara di sektor pangan yang berbasis jagung, pemerintah dan pelaku industri mesti membina petani agar kualitas jagung yang dipanen di dalam negeri memenuhi standar. Salah satu indikator standar yang harus dipenuhi ialah kadar air dan kandungan aflatoksin mesti serendah mungkin.
Agar dapat mencapai standar kualitas tersebut, Bustanul berpendapat, pemerintah harus memberikan insentif bagi industri pangan yang mau bermitra dengan petani jagung. ”Insentif fiskal dapat dikreasikan dari sisi perpajakan. Insentif nonfiskalnya berupa penyederhanaan aturan kemitraan,” katanya.
Salah satu perusahaan yang bergerak di pengolahan jagung menjadi bahan baku pangan ialah PT Tereos FKS Indonesia. Pabrik korporasi ini berada di Cilegon, Banten, dengan kapasitas produksi 1.300 ton jagung per hari. Pada 2014, kemampuan produksinya berkisar 1.000 ton per hari.
Sebanyak 70 persen dari hasil produksi PT Tereos FKS Indonesia berupa pati jagung. Selain itu, perusahaan ini juga memproduksi sirup glukosa dan maltodextrin. Secara umum, 80 persen hasil produksi dialokasikan untuk pasar domestik dan 20 persen untuk diekspor.
Pangsa pasar PT Tereos FKS Indonesia di Indonesia 20 persen. Pangsa ini merupakan tertinggi di tingkat nasional karena sekitar 60 persennya berasal dari impor.
Substitusi impor
Presiden Direktur PT Tereos FKS Indonesia Laurent Lambert menyatakan, bahan baku jagung di perusahaannya 100 persen berasal dari impor. "Kami terbuka terhadap kerja sama dengan petani. Namun, kualitas bahan baku menjadi sorotan kami," kata dia.
Bahan baku jagung PT Tereos FKS Indonesia 100 persen berasal dari impor. Kami terbuka terhadap kerja sama dengan petani. Namun, kualitas bahan baku menjadi sorotan kami.
Sales and Marketing Director PT Tereos FKS Indonesia Maya Devi menambahkan, perusahaannya membutuhkan jagung dengan kadar aflatoksin di bawah 20 ppb (parts per billion). Agar dapat memanfaatkan jagung dalam negeri, perusahaan tengah melakukan penelitian bersama perguruan tinggi yang bertujuan menilai potensi pemanfaatan jagung lokal sebagai bahan baku industri.
Maya juga berharap pemerintah memperbanyak dan meningkatkan kualitas produksi penanaman jagung dengan aflatoksin rendah. ”Peningkatan dan pengembangan ini harapannya dapat menunjang keberlanjutan dan kontinuitas ketersediaan stok jagung yang sesuai dengan standar industri pangan,” katanya.