Pengawasan Kinerja Lemah, Korupsi di Jajaran Pimpinan BUMN Masif
Perbaikan sistem pengawasan Badan Usaha Milik Negara dinilai akan lebih mujarab jika melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lemahnya pengawasan sistem tata kelola di tataran pimpinan dan pengambil kebijakan menjadi alasan masifnya praktik koruptif di lingkungan BUMN selama ini.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan sistem pengawasan Badan Usaha Milik Negara dinilai akan lebih mujarab jika melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lemahnya pengawasan sistem tata kelola di tataran pimpinan dan pengambil kebijakan menjadi alasan masifnya praktik koruptif di lingkungan BUMN selama ini.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menilai, kasus korupsi yang melibatkan pejabat strategis di BUMN dapat dicegah melalui keterlibatan KPK dalam proses penyaringan calon direksi dan komisaris.
”Metode yang sama pernah digunakan Presiden Joko Widodo saat memilih calon menteri di kabinetnya. Keterlibatan KPK menjadi esensial untuk mengurangi potensi pejabat BUMN yang melakukan korupsi,” ujarnya di Jakarta, Selasa (20/8/2019)
Selain untuk penyaringan, Kementerian BUMN juga bisa melibatkan KPK sebagai panitia seleksi pemilihan direksi maupun komisaris. Metode yang sama juga dilakukan untuk pemilihan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
Upaya mitigasi tersebut kian penting di tengah masifnya praktik koruptif di tubuh BUMN. Hingga Agustus 2019, ujar Emerson, sebanyak 60 kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan BUMN. Dari jumlah ini, sebanyak 19 kasus mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 3,1 triliun.
Sebelumnya diberitakan, KPK menangkap Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Andra Y Agussalam. Ia diduga menerima suap dari perusahaan BUMN lainnya, yakni PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero).
Minimnya transparansi data keuangan juga membuka celah pihak-pihak internal BUMN untuk melakukan korupsi.
Selain itu, mantan Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan pun dinyatakan bersalah dan divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan tanpa uang pengganti akibat korupsi di Blok Basker Manta Gummy.
Kasus lain yang juga melibatkan BUMN adalah korupsi Dirut PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir. Ia menjadi tersangka kasus korupsi dalam kerja sama proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. KPK juga menangkap tangan Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel Wisnu Kuncoro yang diduga menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan perusahaan tersebut.
Bahkan, yang terbaru, KPK menemukan adanya dugaan aliran suap baru dalam kasus pengadaan di PT Garuda Indonesia. Dalam kasus ini sebelumnya KPK telah menetapkan mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar sebagai tersangka.
Peneliti BUMN di Visi Integritas, Danang Widoyoko, mengatakan, fungsi satuan pengawas internal (SPI) dan komisaris sebagai pengawas internal dalam tubuh BUMN masih terlalu lemah.
Fungsi SPI hanya bisa beroperasi di wilayah bawah tanpa mampu menjangkau di jajaran atas manajemen. Sementara jajaran komisaris di BUMN kebanyakan diisi oleh penerima ”jatah” politis yang seharusnya ditempati oleh orang-orang profesional dan kompeten di bidangnya.
”Banyak komisaris yang jelas-jelas punya latar belakang politik, meski memang sebagian lain juga memiliki pengalaman sebagai profesional,” ujarnya.
Selain faktor pengawasan, hal lain yang menyebabkan korupsi kerap terjadi di BUMN adalah minimnya transparansi dalam laporan keuangan. Sejumlah BUMN yang tidak berstatus sebagai perusahaan terbuka (Tbk) menutup akses publik untuk mendapatkan data keuangan mereka.
”Minimnya transparansi data keuangan juga membuka celah pihak-pihak internal BUMN untuk melakukan korupsi,” ujar Danang.