Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan, substansi RUU Pertanahan adalah untuk kepentingan rakyat. Ia meyakini keberadaan RUU ini justru untuk menangani masalah pertanahan.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan, substansi Rancangan Undang-Undang Pertanahan adalah untuk kepentingan rakyat. Ia meyakini bahwa keberadaan RUU ini justru untuk menangani masalah pertanahan di Indonesia, bukan untuk mengakomodasi kepentingan para pemodal.
Hal itu ia sampaikan di Jakarta, Kamis (15/8/2019) malam, menanggapi pernyataan sikap penolakan RUU Pertanahan sejumlah aktivis dan akademisi beberapa hari lalu. Sofyan menegaskan, RUU Pertanahan hadir untuk melanjutkan perjuangan terkait reforma agraria.
”Keberpihakan kebijakan tanah bagi rakyat ini yang justru ingin kita alamatkan melalui undang-undang. Kenyataannya, saat ini yaitu sistem perundang-undangan belum memihak kepada rakyat. Ada orang-orang yang menguasai ratusan ribu hektar tanah untuk dijadikan obyek spekulan,” kata Sofyan kepada wartawan seusai sesi diskusi media massa bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kamis malam.
Menurut Sofyan, RUU ini menjadi jawaban di tengah ketiadaan undang-undang yang secara spesifik membahas tentang pertanahan. Selama berpuluh tahun, Indonesia mengacu urusan pertanahan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Tahun 1960 yang dianggap belum benar-benar merinci persoalan.
”Dalam RUU ini, kami berupaya membawa semangat yang sebelumnya tidak tercantum dalam UU PA tahun 1960, yakni salah satunya terkait reforma agraria. Terdapat satu bab khusus terkait reforma agraria yang masih terus dimatangkan hingga September mendatang,” kata Sofyan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto mengatakan, masalah yang juga ingin dijawab melalui RUU Pertanahan adalah soal peran negara dalam memberdayakan lahan tanah. Selama ini, negara seakan selalu kalah dengan pengembang dan para spekulan tanah. Maka itu, dalam RUU nanti, salah satu yang menjadi agenda penting yaitu pembentukan lembaga bernama Bank Tanah.
”Kami berharap agar Bank Tanah ini memenuhi tiga kebutuhan, yakni pengadaan tanah sebagai kepentingan umum, pemerataan ekonomi, dan pembangunan,” ujar Himawan.
Sofyan menambahkan, Bank Tanah yang didesain oleh RUU akan menjadi penampung lahan tanah, baik dari lahan berlebih maupun dari lahan yang terkena penghabisan masa berlaku hak guna usaha (HGU). Tampungan lahan tanah ini akan didistribusi ulang sesuai dengan kebutuhan rakyat dan program pemerintah.
Ia menekankan, Bank Tanah ini sepenuhnya milik negara sehingga ia menjamin keberpihakannya kepada rakyat.
”Perlu ditekankan bahwa Bank Tanah ini adalah lembaga nonprofit yang dikuasai pemerintah. Mudah-mudahan hal ini menjawab tantangan negara dalam menyediakan tanah bagi rakyat,” ucap Sofyan.
Sebelumnya, kehadiran RUU Pertanahan yang akan segera disahkan September mendatang ini menuai penolakan dari kalangan aktivis dan akademisi. Sebab, RUU Pertanahan dinilai belum menjawab pokok masalah pertanahan di Indonesia. Selain itu, kehadiran beberapa aturan baru sempat dikhawatirkan terlalu berpihak kepada para pemodal.
Terkait adanya kritik dari kalangan aktivis dan akademisi, Sofyan mengaku pihak Kementerian ATR/BPN terbuka terhadap berbagai masukan. Belakangan ini pihak Kementerian ATR/BPN pun aktif berdiskusi dengan kalangan akademisi terkait RUU Pertanahan.
Ia menduga, adanya sejumlah penolakan terhadap RUU ini disebabkan kurangnya sosialisasi dari Kementerian ATR/BPN.
”Kami ingin mendiskusikan hal ini dengan siapa saja. Intinya, kami ingin menciptakan kepastian hukum, mengoreksi kelemahan yang ada selama ini. Kami terbuka dengan berbagai masukan selama RUU ini belum diketok palu,” ujarnya.