Kemudahan Investasi Cenderung Abaikan Lingkungan dan Masyarakat
Kebijakan pemerintah mempermudah investasi melalui sistem layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik dinilai bermasalah karena tak libatkan masyarakat.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah mempermudah investasi melalui sistem layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik dinilai bermasalah karena tak libatkan masyarakat. Proses penerbitan izin lingkungan yang membutuhkan partisipasi masyarakat, khususnya terkait usaha di sektor sumber daya alam, tidak diutamakan dalam kebijakan tersebut.
Sistem layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018. Dikutip dari laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah tidak hanya berusaha mengintegrasikan kebijakan pusat dan daerah.
Kebijakan ini juga mempermudah prasyarat melakukan usaha, izin usaha, ataupun izin operasional kegiatan usaha dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin. Sayangnya, manfaat tersebut menurut Deputi Direktur Indonesian Center for Environment Law (ICEL) Reynaldo Sembiring bermasalah.
”Dengan PP OSS, setelah dapat izin usaha lewat mekanisme komitmen persyaratan izin mereka boleh buka usaha dan melakukan produksi. Tapi, izin lingkungan boleh menyusul karena hanya jadi administrasi pelengkap,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dengan PP OSS, setelah dapat izin usaha lewat mekanisme komitmen persyaratan izin mereka boleh buka usaha dan melakukan produksi. Tapi, izin lingkungan boleh menyusul karena hanya jadi administrasi pelengkap.
Padahal, lanjut Reynaldo, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan penerbitan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin kegiatan usaha. Hal itu seperti tertuang dalam PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Muhammad Jamil Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional juga mengkhawatirkan adanya pengabaian keterlibatan masyarakat dalam penerbitan izin lingkungan yang kini diadaptasi ke sistem elektronik. Pasalnya, mekanisme perizinan lingkungan secara manual selama ini kerap dimanipulasi oleh pengusaha.
”Sebagai contoh, di 63 izin tambang yang mengapling 71 persen luas Kota Samarinda, hampir 80 persen dokumen analisis dampak lingkungannya hanya copy paste. Dengan sistem elektronik ini takutnya pengusaha makin mengabaikan masyarakat dalam sistem ini,” ujarnya.
PP OSS pun dinilai akan bermasalah dengan beberapa sektor usaha yang mengandalkan sumber daya alam, seperti kehutanan, ketenagalistrikan, dan perkebunan sawit.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2019 Manik M Mahendra pada kesempatan yang sama berpendapat, sistem OSS baik untuk meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia yang saat ini masih di posisi 73 dari 190 negara. Namun, pemerintah juga tetap mempertimbangkan investasi yang berorientasi pada lingkungan.
”Dengan dikesampingkannya izin lingkungan ini, kami khawatir ada bahaya ekologis yang bisa memicu permasalahan berkelanjutan. Investasi jangan dilihat pada uang saja, tetapi dengan perspektif lingkungan hidup yang layak dan berkelanjutan,” tuturnya.
Investasi jangan dilihat pada uang saja, tetapi dengan perspektif lingkungan hidup yang layak dan berkelanjutan.
Gugat pemerintah
Sejumlah pihak yang terdiri dari organisasi pemerhati lingkungan, hukum, dan akademik berencana menggugat pemerintah terkait PP OSS yang tidak berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
Organisasi ICEL, Walhi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sawit Watch, Walhi DKI Jakarta, Solidaritas Perempuan, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kaoem Telapak, Jatam Kalimantan Timur, BEM UI dan BEM FH UI membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perizinan Ngawur.
Reynaldo mengatakan, mereka tengah menyelesaikan finalisasi bukti-bukti cacatnya PP OSS sambil menunggu respons dari pemerintah. ”Jika, pemerintah tidak juga menanggapi, kami akan segera menguji materi kebijakan tersebut ke Mahkamah Agung,” ujarnya.
Rencana tersebut akan segera dilayangkan karena sudah ada masyarakat yang menjadi korban. Seorang warga di Sumatera disebutkan menderita kerugian materi karena pembukaan usaha melalui sistem OSS. Namun, untuk saat ini, identitas warga tersebut belum bisa dibuka untuk publik.
Tak hanya itu, kebijakan juga akan diujikan karena melanggar setidaknya delapan undang-undang terkait lingkungan dan tata kelola pemerintahan.