Stigma Negatif Betawi dalam Film
Dalam produk budaya popular, seperti film dan sinetron, sudah sejak lama orang Betawi digambarkan sebagai warga negara yang tersisih dan termarjinalkan. Orang Betawi kerap berkutat dengan persoalan identitas dan eksistensi kebetawian. Hal ini berujung pada penggambaran orang Betawi yang selalu gagap pada kecanggihan dan modernitas hingga menjadi bahan olokan dan bercandaan.
Dalam produk budaya populer, seperti film dan sinetron, sudah sejak lama orang Betawi digambarkan sebagai warga negara yang tersisih dan termarjinalkan. Orang Betawi kerap berkutat dengan persoalan identitas dan eksistensi kebetawian. Hal ini berujung pada penggambaran orang Betawi yang selalu gagap pada kecanggihan dan modernitas hingga menjadi bahan olokan dan bercandaan.
Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 yang disusun JB Kristanto, orang Betawi sudah muncul di layar perak sejak era film bisu. Ada Njai Dasima (1929), Si Ronda (1930), Njai Dasima II (1930), Nancy Bikin Pembalesan -Njai Dasima III (1930), serta Si Pitung (1931).
Selepas Orde Lama, cerita Betawi juga diminati kembali. Trennya dimulai Wim Umboh lewat Matjan Kemajoran (1967) lalu berlanjut dengan film Djampang (1969), Dasima dan Samiun (1970), serta Si Pitung (1970) yang dibintangi Dicky Zulkarnaen. Berbeda dengan era 1930-an, orang Betawi di film-film rilisan pasca Orde Lama ditempatkan sebagai tokoh utama.
Tren ini berlanjut ke dekade 1970-an, orang Betawi kian mendapat tempat di film Indonesia di tengah kondisi orang-orang Betawi yang semakin tersisih dan terpinggir dari tanah mereka sendiri. Jakarta dalam proses metropolitanisasi menggeser entitas dan identitas Betawi. Produk budaya seperti kopiah mulai menjadi minoritas, baju komprang hitam hanya bisa dijumpai atau dipakai saat pemain lenong berlakon dalam sketsa panggung, perempuan berkerudung dengan kebaya encim hasil akulturasi budaya China berganti menjadi busana kekinian.
Penulis sekaligus kritikus film Ade Irwansyah mengatakan, kebudayaan betawi saat itu kembali mengeliat dan hidup setidaknya melalui pentas-pentas kesenian seperti lenong yang dinikmati orang kelas menenggah ke bawah dan atas, serta orang-orang terpelajar. Hingga kemudian lahirlah sosok Betawi yang sekarang begitu melegenda, Benyamin Sueb.
"Suasana kebatinan masa itu menggambarkan masyarakat Betawi telah tersisih, tetapi di saat bersamaan yang serba Betawi mulai ditengok dan diminati publik kembali. Yang menarik ditelisik sebetulnya Betawi sudah tersisih, padahal usia Republik Indonesia masih muda. Ini artinya, Betawi sudah terpinggirkan sejak lama,” kata Ade, Selasa (6/8/2019), di seminar Stigma Negatif Orang Betawi Dalam Film di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Stigma negatif tentang menjadi pemarah dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman atau modernisasi tergambar hingga saat ini. “Kata kunci yang harus diingat adalah identitas orang Betawi, eksistensi, dan pembuktian diri," lanjutnya.
Nama Benyamin, kata Ade, menjadi seniman legendaris Betawi. popularitas Benyamin sepanjang 1970-an pula yang membuat tren "yang serba Betawi" tak surut. Film-film yang berkisah tentang orang Betawi terus dibuat dekade itu.
Nama berikutnya yang juga mencuat adalah Rano Karno. Saat masih bintang cilik, ia memerankan Doel dalam Si Doel Anak Betawi (1973) karya Sjuman Djaya, seorang sutradara asli Betawi. Film tersebut bercerita tentang suka duka kehidupan Doel, seorang yang harus banting tulang membantu ibunya dengan berjualan kue. Doel anak yatim, ayahnya yang diperankan Benyamin tewas dalam sebuah kecelakaan. Penderitaan Doel seakan tak surut. Ia diganggu anak-anak sebayanya dari kelas gedongan.
Ade menuturkan, film tersebut hendak melawan stigma negatif yang melekat pada masyarakat Betawi. Terutama lewat lagu bertema penolakan orang Betawi disebut "ketinggalan zaman" maupun "tak berbudaya". Doel sebagai representasi orang Betawi melakukan perlawanan kelas, yaitu si miskin mampu menaklukan si kaya. Di akhir film, Doel menjadi anak yang akan jadi modern dengan cara tetap bersekolah untuk memutus lingkaran jelek kehidupan anak Betawi.
"Lagi-lagi, suasana kebatinan masa itu Betawi yang tersisih memunculkan narasi orang Betawi menolak disebut ketinggalan aman, terbelakang, miskin belum modern dan lainnya. Dalam sebuah perjuangan kelas, orang Betawi mampu keluar sebagai pemenang. Orang Betawi bisa pula jadi orang modern," ujarnya.
Sjuman Djaya lalu mengangkat cerita Si Doel Anak Modern (1976). Doel diperankan Benyamin Sueb, melompat dari Betawi kampung jadi modern. Rumah keluarga Doel bukan di Jakarta, tetapi di Cibinong. Kepindahan orang Betawi ke daerah pinggiran akibat pembangunan yang pesat di pusat kota. Doel menolak jadi orang kampung. Ia mengubah penampilan berpakaian ala anak kota, lengkap dengan rambut kribo dan motor buatan Jepang model teranyar. Namun, kala tertimpa berbagai kesialan, Doel mengaku kapok jadi modern.
Dalam tulisan JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia, tujuan Sjuman memang berniat mengejek sikap modern yang dilukiskannya dengan negatif, seperti rebutan istri, memperistri gadis kawan anaknya dan lain sebagainnya.
Di kebanyakan film-film berlatar Betawi tahun 1970-an, tutur Ade, orang Betawi disibukan dengan persoalan identitas, melawan stigma negatif, maupun berupaya eksis di tengah modernitas. Karena sibuk mengurusi upaya untuk dianggap dan tak disisihkan, persoalan orang Betawi dalam budaya pop hanya berkutat di hal itu saja. Persoalan orang Betawi sebagaimana lazimnya manusia dengan segudang persolan lain di luar ingin eksis, nyaris tak disentuh.
"Disebut nyaris karena upaya untuk keluar dari persoalan yang itu-itu saja bukannya tak pernah dicoba. Benyamin mencoba melakukannya. Lewat bendera perusahaan film yang ia dirikan, PT Benyamin Betawi Film Corporation memproduksi film Bapak Kawin Lagi (1973). Film itu berkisah tentang cerita sebuah rumah tangga. Benyamin jadi Herman, tukang catut mobil mendadak kaya usai menjual mobil antiknya. Setelah kaya, ia diam-diam menikahi janda muda," ujar Ade.
Di sini, Benyamin mengajak penonton berdialog dengan stereotip Betawi yang sebenarnya juga lazim terjadi pada suku mana saja, bila sudah kaya, kawin lagi.
Pada 1973, lanjut Ade, Benyamin sebagai orang Betawi sebenarnya sudah selesai dengan persoalan dengan identitas kebetawian dan eksistensi diri. Karya filmnya bukan lagi sarana untuk minta dianggap maupun menolak stigmanisasi kampungan dan stigmanisasi lainnya.
Namun, bagi banyak orang, Betawi tetap sudah terpinggirkan dan perlu dimodernkan. Melewati dekade 1980-an ke pertenggahan 1990-an persoalan identitas muncul dan tidak kunjung selesai. Seperti dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. "Film ini disukai dari segi komersial dan kualitas karena mengangkat kembali budaya Betawi. Rupanya, pertenggahan 1990-an budaya Betawi termarjinalkan lagi," lanjutnya.
Biang Kerok
Melompat ke tahun 2018, sutradara Hanung Bramantyo mengeluarkan karya Benyamin Biang Kerok. Dalam film tersebut Reza Rahadian memerankan sosok Benyamin. Mengutip pernyataan JJ Rizal, Ade mengatakan, sosok Pengki (Reza Rahardian) digambarkan sebagai anak Betawi kaya yang manja dan suka menghamburkan uang. Penggambaran tersebut mengundang protes komunitas dan intelektual Betawi. Film itu tidak menampilkan unsur budaya Betawi dan hanya meminjam bahkan menjual nama Benyamin Sueb.
"Yang luput dari berbagai protes atas film itu, ada persoalan identitas dan eksistensi kebetawian juga di sana. Di film itu, sebuah keluarga Betawi digambarkan kaya raya dan hidup dengan gawai canggih. Seolah sebuah anomali ada orang Betawi hidup teramat berkecukupan," kata Ade.
Sementara itu, Hikmat Daramawan, kritikus film sekaligus Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta mengatakan, film Benyamin Biang Kerok terlalu berisik dan terlalu asing dari budaya serta keseharian Betawi. Bahkan, seluruh lanskap imajiner dalam film tersebut seakan menampilkan sebuah planet asing, ganjil, dan sukar dicari hubunganya dengan realitas orang Betawi di luar film.
Menurut Hikmat, orang Betawi dalam perfilman, berpuncak pada film Benyamin Biang Kerok yang dinilai sebagai gagasan buruk atau konstruksi tanda yang ofensif tentang orang Betawi. Dalam film tersebut ada sebuah penanda lain dalam sosiologi film Indonesia saat ini, yaitu minimnya kehadiran dan pengaruh orang Betawi dalam perfilman Indonesia sekarang.
"Segi sosiologis ini menurut saya cukup berpengaruh terhadap keputusan-keputusan estetis mengambarkan orang Betawi dalam film kita. Dari masa ke masa streotip orang Betawi lekat dengan kejawaraan, jago kelahi, dan lainnya. Padahal Betawi punya banyak intelektual yang jarang ditampilkan," ujarnya.
Perasaan asing yang dirasakan Hikmat juga muncul pada tayangan televisi seri Lenong Rumpi. Menurutnya, gambaran orang Betawi di film itu terlalu dibuat-buat dan tampak keterasingan terhadap budaya Betawi dalam dunia nyata. Lenong Rumpi merupakan contoh orang Betawi diperangkap dalam sebuah straw man (orang-orangan), dan penonton diminta merespon sosok orang-orangan Betawi sebagai orang Betawi "sungguhan".
Muasal orang-orangan Betawi dalam film dan media lain seperti novel atau cerpen, kata Hikmat, tentu berakar dari stereotip orang Betawi sejak masa Hindia Belanda. Batavia dalam khasanah literatur Belanda dan Hindia Belanda yang dominan mungkin mengacu pada sebuah kota di wilayah Khatulistiwa yang mengalami eksotisasi orang Eropa.
"Dalam laskap imajiner yang dominan dalam bacaan resmi masa itu, orang Betawi adalah liyan, pribumi di pinggir arena. Posisi imajiner orang Betawi itu berkaitan dengan stratifikasi sosial dan sistem kelas yang berlaku secara resmi di Hindia Belanda, dengan kaum pribumi yang berada di kelas terbawah masyarakat," kata Hikmat.
Nilai luhur
Ade melanjutkan, permasalahan yang muncul pada orang Betawi adalah secara fisik maupun mental tersisih dan terpinggirkan. Bagi orang Betawi, wacana yang maha penting adalah pengakuan eksistensi mereka, gugatan mereka pada pembangunan, dan modernitas yang justru menyisihkan mereka. Andai kampung-kampung Betawi lama tetap lestari di pusat kota yang kini jadi Jalan Sudirman atau kawasan Kuningan, mungkin tidak akan lahir film Si Doel Anak Betawi dan lainnya.
Sementara itu, kegelisahan terhadap narasi stigma negatif kebetawian dirasakan juara Stand Up Comedy Indonesia season 4 David Nurbianto. Kegelisahannya sebagai anak Betawi asli, ia tuangkan dalam berkarya sebagai wujud perlawanan terhadap stigma negatif.
Ia menuturkan, andai saja Jakarta yang tumbuh menjadi kota metropolitan tetap mempertahankan nilai luhur Betawi, Jakarta akan tetap asri. Mereka tidak menolak modernitas, tetapi perlu berjalan dan menjaga nilai luhur.
"Apa kita bisa menemukan rambutan di Kampung Rambutan? Jakarta dulu wilayah yang banyak ditumbuhi beraneka ragam pepohonan, kapuk, kebon jeruk, kemanggisan, karet, menteng, gandaria. Semua hanya tinggal nama saja. Ada nilai luhur yang ditanamkan oleh orang Betawi agar menjaga kelestarian itu merupakan bagian dari budaya kami," kata David.
Ia melanjutkan, modernitas dan laju urbanisasi, memaksa pohon-pohon tersebut hilang. Ketiadaan pohon-pohon tersebut tidak hanya menyingkirkan orang Betawi, tetapi menghilangkan ekosistem sosial, budaya, hingga lingkungan.
"Sekarang dampak negatif dari modernitas siapa yang merasakan? Tidak hanya kami, tetapi seluruh warga Jakarta. Kota kita terlalu berisik dengan suara klakson, pertumbuhan kendaraan yang tidak terbendung begitu pula dengan bangunan. Akhirnya macet dan polusi. Kita rugi semua dan sekarang baru ribut, mengeluh, dan mulai mengkampanyekan atau bertindak. Lah, loe pade kemane aje dulu?"kata David