Tantangan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,2 persen semakin berat.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,2 persen semakin berat. Motor penggerak yang bersumber dari konsumsi domestik berpotensi akan melemah akibat tekanan perekonomian global.
Target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2019 sebesar 5,3 persen. Namun, pemerintah dan Bank Indonesia memproyeksikan perekonomian tumbuh kisaran 5,2 persen.
Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, Selasa (6/8/2019) di Jakarta, mengatakan, tekanan global semakin nyata setelah eskalasi konflik dagang AS-China yang berujung pelemahan yuan.
Kondisi tersebut akan memengaruhi kurs rupiah dan membebani industri nasional karena sebagian besar bahan baku dan barang modal masih impor.
”Dampaknya pada pelemahan rupiah sehingga dikhawatirkan industri tidak bisa meneruskan harga atau mengurangi impornya, yang secara otomatis membuat konsumsi masyarakat ikut turun,” kata Enrico.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada semester I-2019 sebesar 5,06 persen. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang perekonomian pada periode April-Juni 2019, yakni 2,77 persen. PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku pada triwulan II-2019 sebesar Rp 3.963,5 triliun.
Tim ekonom PT Bank UOB Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dari 5,2 persen menjadi lebih rendah, yakni 5-5,1 persen. Revisi dilakukan karena pertumbuhan konsumsi diperkirakan melemah, sementara kinerja ekspor masih menantang. Risiko perekonomian domestik pada semester II-2019 masih didominasi faktor global.
Enrico mengatakan, Indonesia mesti mengantisipasi impor barang asal China seiring peningkatan tensi perang dagang. Tidak menutup kemungkinan, China akan mencari pangsa pasar baru untuk mengalihkan sebagian produksinya akibat pengenaan tarif oleh AS. Salah satu barang impor yang mesti diwaspadai, yaitu besi dan baja.
Meski demikian, Indonesia berpeluang memanfaatkan momentum perang dagang dan pelemahan yuan. Kinerja industri berbasis kearifan lokal bisa digenjot untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan membuka diversifikasi pasar ekspor.
Pengendalian impor juga tetap berlanjut dibarengi strategi menarik penanaman modal asing. ”Yang perlu digenjot agar tidak perlu impor lagi impor lagi. Paradigma itu harus diubah menjadi aksi nyata,” kata Enrico.
Secara terpisah, Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi berpendapat, konsumsi masih tumbuh di atas 5 persen pada semester I-2019 kendati ada hambatan dari faktor global. Kuatnya pertumbuhan konsumsi dipengaruhi belanja pemerintah untuk Pemilu 2018 dan kenaikan gaji pokok pegawai negeri sipil (PNS).
”Namun, perlu dicermati, apakah konsumsi masih tetap kuat dengan kemungkinan harga komoditas diperkirakan masih mengalami tekanan pada kuartal-kuartal selanjutnya, akibat perang dagang yang masih berlanjut,” kata Lucky.
Sementara itu, stimulus pendorong konsumsi dari belanja bantuan sosial kementerian/lembaga juga semakin menipis. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi bantuan sosial per Juni 2019 mencapai Rp 70,5 triliun atau 72,6 persen dari pagu APBN 2019.
Bantuan sosial itu terdiri dari penyaluran pangan nontunai, program keluarga harapan (PKH), program Kartu Indonesia Pintar, dan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional.
Kelompok konsumsi
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, pertumbuhan konsumsi perlu dicermati per kelompok masyarakat.
Berdasarkan data LPEM UI tahun 2013-2017, konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah menunjukkan perbaikan seiring dukungan belanja sosial dari pemerintah.
Di sisi lain, lanjut Febrio, masyarakat berpenghasilan menengah cenderung memiliki pola pertumbuhan konsumsi yang stagnan. Adapun konsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi terus turun dari 2013 hingga 2017, kecuali tahun 2015. Padahal, konsumsi kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi itu jadi penopang perekonomian.
”Penurunan konsumsi masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi terjadi akibat meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk mengalihkan konsumsi ke tabungan dan investasi,” kata Febrio.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konsumsi dan investasi bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi beda tipis. Untuk itu, strategi pemerintah untuk mendorong konsumsi juga berkaitan dengan investasi. Tingkat keyakinan konsumen juga dijaga agar konsumsi terus tumbuh.
Salah satu langkah konkret untuk mendorong konsumsi kelas menengah dan atas melalui sektor pariwisata. Berbagai destinasi pariwisata dalam negeri tengah dikembangkan dengan bantuan pemerintah pusat maupun daerah. Destinasi pariwisata prioritas yang digarap, antara lain Mandalika, Labuan Bajo, dan Danau Toba.