Kompensasi Tumpahan Minyak Menunggu Aturan Pemda Setempat
Tumpahan minyak akibat kebocoran anjungan pengeboran sumur YYA-1 Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java berdampak pada aktivitas nelayan di pesisir Karawang, Jawa Barat. PT Pertamina (Persero) tengah menyiapkan kompensasi atas kerugian tersebut.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumpahan minyak akibat kebocoran anjungan pengeboran sumur YYA-1 Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java berdampak pada aktivitas nelayan di pesisir Karawang, Jawa Barat. Oleh sebab itu, PT Pertamina (Persero) tengah menyiapkan kompensasi atas kerugian tersebut.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman mengatakan, anjungan lepas pantai YYA-1 Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (PHE ONWJ) berjarak dua kilometer (km) dari pantai utara Karawang. Oleh karena itu, Pertamina menyadari kejadian ini berdampak pada sejumlah masyarakat di pesisir.
Pertamina memastikan bertanggung jawab dengan menyiapkan kompensasi. Namun, kompensasi tersebut menunggu aturan daerah dari pemerintah setempat karena besarannya berbeda-beda bergantung pada wilayahnya.
”Aturan itu nantinya mengakomodasi pertimbangan dari masyarakat setempat beserta perangkat daerahnya,” kata Fajriyah saat ditemui Kompas di ruang kantornya, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Pertamina, lanjut Fajriyah, telah mendata wilayah-wilayah yang terdampak. Ada 11 desa yang terdampak tumpahan minyak dari anjungan tersebut. Sebanyak 9 desa di wilayah Karawang dan 2 desa di wilayah Bekasi.
Sejak 12 Juli 2019, terjadi kebocoran pada sumur pemboran YYA-1 PHE ONWJ. Awalnya, gelembung gas yang tampak di permukaan laut, lalu disusul keluarnya minyak bumi hingga saat ini.
Dari sisi studi kelayakan dan potensi pengeboran, produksi dari struktur YY diperkirakan dapat mencapai 3.000 barel per hari (BODD) dan 23 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Fajriyah mengatakan, angka tersebut bukan besaran realisasi jumlah gas bumi atau minyak bumi yang tumpah ke permukaan laut.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengemukakan, warga pesisir yang terdampak tumpahan minyak jelas-jelas merugi. Mayoritas dari mereka tidak melaut lebih dari dua pekan.
Beberapa nelayan yang melaut jumlah tangkapannya berkurang drastis. Biasanya rata-rata 10 kilogram (kg) per hari, setelah ada tumpahan minyak menjadi 2 kg per hari.
”Oleh sebab itu, nelayan di wilayah terdampak menuntut kompensasi. Berdasarkan data yang kami himpun dari mereka, besaran kompensasi yang diminta sekitar Rp 500.000 per keluarga,” ujarnya.
KIARA mencatat, ada 1.940 keluarga nelayan terdampak tumpahan minyak di laut. Selain itu, 5.738 nelayan budidaya juga terdampak.
Nelayan di wilayah terdampak menuntut kompensasi. Berdasarkan data yang kami himpun dari mereka, besaran kompensasi yang diminta sekitar Rp 500.000 per keluarga.
Penanganan
Saat ini Pertamina tengah fokus menghentikan kebocoran pada sumur pengeboran YYA-1 PHE ONWJ. Bersamaan dengan itu, penanganan tumpahan minyak tetap berjalan.
Untuk menghentikan kebocoran, Pertamina membuat tajak pengeboran relief well YYA-1RW sedalam 9.000 kaki. Hingga saat ini, Fajriyah mengatakan, pengeboran telah mencapai kedalaman lebih dari 1.700 kaki.
Pembuatan tajak tersebut melibatkan Rig Jack Up Soehanah yang ditempatkan sejak Kamis (1/8/2019). ”Penyelesaiannya memakan waktu kira-kira 8 minggu setelah penempatan rig,” kata Fajriyah.
Di sisi penanganan tumpahan minyak, kata Fajriyah, Pertamina menerapkan proteksi berlapis. Ada oil boom statis dengan panjang total 3.000 meter. Pada lapisan pertama, oil boom atau peralatan yang digunakan untuk melokalisasi atau mengurung tumpahan minyak di air tersebut mengitari anjungan YYA-1. Pertamina juga menempatkan oil boom di pesisir sepanjang 3.000 meter.
Fajriyah juga menjelaskan, tumpahan minyak itu akan berbentuk gumpalan seperti gel begitu bereaksi dengan air laut. Begitu sampai di pantai, gumpalan tersebut menyatu dengan pasir.
”Hingga saat ini, sudah lebih dari sekitar 500.000 karung berisi gumpalan minyak dengan pasir yang dikumpulkan. Kandungan tumpahan minyaknya mencapai 10 persen, sisanya pasir,” kata Fajriyah.
Pertamina mencatat, ada 800 orang yang turut mengumpulkan gumpalan tumpahan minyak di pantai dan mayoritas merupakan warga terdampak. Berdasarkan informasi yang dihimpun KIARA, ada nelayan setempat yang melaut untuk mengumpulkan limbah tersebut dengan upah Rp 1,5 juta-Rp 1,7 juta selama 8 jam.