Periode Puncak Musim Kemarau
Kemarau panjang sering kali membawa dampak besar bagi kehidupan, seperti bencana kekeringan dan kebakaran lahan. Kesadaran mencermati fase puncak musim kemarau dapat dilakukan untuk menurunkan efek kemarau.
Kemarau panjang sering kali membawa dampak besar bagi kehidupan, seperti bencana kekeringan dan kebakaran lahan. Kesadaran mencermati fase puncak musim kemarau dapat dilakukan untuk menurunkan efek kemarau.
Berada di wilayah tropis yang dipengaruhi angin monsun atau angin musim membuat Indonesia memiliki dua musim berbeda, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Sirkulasi angin monsun Asia-Australia berperan besar memengaruhi kondisi iklim Indonesia. Hal ini disebabkan letak Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Hindia.
Kondisi musim di Indonesia mengikuti pola pergerakan angin monsun, yaitu angin monsun barat, monsun timur, dan musim peralihan. Musim kemarau di Indonesia terkait erat dengan peralihan angin monsun barat menjadi angin monsun timur pada periode April hingga Agustus.
Berdasarkan pantauan satelit NOAA, jumlah titik panas dari Januari hingga Juni 2019 sudah mencapai 508 lokasi.
Kondisi suhu daratan Asia yang lebih tinggi menyebabkan angin bertiup dari daratan Australia yang lebih dingin dan bertekanan tinggi. Angin ini tidak membawa banyak uap air karena hanya melewati laut kecil dan jalur sempit, seperti Laut Timor, Laut Arafuru, serta sebagian perairan Nusa Tenggara dan Papua.
Selain itu, daratan Australia yang luas juga mampu memengaruhi sifat angin sehingga cenderung panas dan kering. Akibatnya, pembentukan awan hujan turun drastis dan menciptakan lingkungan yang lebih kering.
Puncak kemarau
Berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim kemarau tahun ini pada umumnya mulai berlangsung pada April 2019. Sedangkan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus 2019. Dari 342 zona musim di Indonesia, 68 persen akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus 2019.
Hampir seluruh wilayah Jawa dan gugusan pulau Sunda Kecil berstatus waspada kekeringan meteorologis. Artinya, kondisi curah hujan sangat minim, bahkan muncul banyak hari tanpa hujan dalam durasi cukup lama.
Sebanyak 55 wilayah kabupaten/kota menetapkan status siaga darurat kekeringan. Seluruh wilayah tersebut tersebar ke dalam tujuh provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Jika dibandingkan dengan 75 kabupaten/kota hasil pantauan BNPB, sudah 73 persen daerah menetapkan status siaga darurat kekeringan. Wilayah terbanyak berada di Jawa Timur, mencapai 25 kabupaten/kota. Sementara Provinsi Banten baru satu wilayah, yaitu Kabupaten Lebak.
Berdasarkan data BNPB hingga Juli 2019, terdapat 7 provinsi, 75 kabupaten/kota, 490 kecamatan, dan 1.821 desa yang berisiko tinggi dilanda bencana kekeringan. Sedangkan hasil prakiraan curah hujan, menurut BMKG, sebanyak 64,94 persen wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah pada bulan berikutnya, yaitu Agustus 2019. Curah hujan kategori rendah memiliki nilai di bawah 100 mm per bulan.
Potensi kekeringan berasosiasi dengan jumlah hari tanpa hujan di suatu wilayah. Cadangan air di tanah dan badan air, seperti sungai, danau, dan waduk, sangat bergantung pada air hujan. Hasil pengamatan BMKG, hari tanpa hujan di Indonesia memiliki kategori beragam di sejumlah wilayah, mulai dari kategori sangat pendek hingga kekeringan ekstrem.
Pantauan hari tanpa hujan oleh BMKG dilakukan pada Juli 2019. Untuk Pulau Sumatera, bagian utara hingga tengah didominasi kategori sangat pendek, yaitu jumlah hari tanpa hujan hanya selama 1-5 hari. Sedangkan bagian selatan lebih kering, yaitu 11-20 hari tanpa hujan.
Baca juga: 48 Juta Warga Terdampak
Kekeringan di Pulau Jawa lebih ekstrem daripada Sumatera, bahkan melebihi seluruh wilayah di Indonesia. Kategori hari tanpa hujan berada di kategori panjang hingga ekstrem. Artinya, wilayah Jawa tidak menerima hujan 11 hingga lebih dari 60 hari dalam satu periode tertentu secara berturut-turut. Kondisi tersebut yang menyebabkan banyak kejadian gagal panen hingga potensi kelaparan. Hal serupa terjadi di Pulau Bali hingga Nusa Tenggara.
Sementara itu, bagian timur Pulau Kalimantan lebih basah dibandingkan dengan sisi barat. Kondisi tersebut juga dialami Pulau Sulawesi, hampir di seluruh bagian wilayah, kecuali di Sulawesi Selatan yang kering. Untuk kepulauan Maluku dan Papua, kondisi hari tanpa hujan memiliki kategori sangat pendek. Artinya, masih dalam kondisi basah dan lembab.
Kekeringan
Durasi musim kemarau yang panjang meningkatkan risiko kekeringan dan kebakaran lahan. Beberapa wilayah sudah mulai memasuki fase kekeringan parah. Ancaman kekeringan ekstrem berada di Pulau Jawa serta gugusan kepulauan Bali dan Nusa Tenggara.
Jumlah hari tanpa hujan diprediksi dapat mencapai lebih dari 60 hari. Kondisi ini tidak lepas dari pantauan perkembangan El Nino di perairan Indonesia.
Berdasarkan data BNPB selama satu dekade terakhir, kekeringan terjadi 754 kali di seluruh Indonesia. Bencana kekeringan mengakibatkan lebih dari 4 juta orang harus mengungsi ke tempat lain.
Beberapa kasus kekeringan yang terjadi pada pertengahan 2019 terjadi di Jawa Timur, Banten, dan Bali. Berdasarkan data Dinas Pertanian Jawa Timur, luas tanaman padi yang kekeringan hingga Juli 2019 mencapai lebih dari 20.000 hektar atau 1,35 persen dari total luas sawah. Sementara luas tanaman padi yang mengalami gagal panen hampir mencapai 1.000 hektar.
Kekeringan juga melanda area persawahan di sejumlah desa di Kabupaten Lebak, Banten. Total luas sawah yang terdampak mencapai 1.800 hektar. Kekeringan disebabkan berkurangnya debit air dari Bendungan Cikoncang.
Sementara itu, dua kabupaten di Bali, Buleleng dan Karangasem, berstatus siaga kekeringan. Kedua wilayah mengalami kurang curah hujan sejak Mei (Kompas, 23 Juli 2019).
Wilayah-wilayah pertanian harus menjadi fokus utama penanganan bencana kekeringan. Besar kerugian yang ditimbulkan akibat gagal panen ditaksir mencapai Rp 3 triliun. Fenomena kekeringan mampu merusak kualitas lahan sehingga menurunkan produktivitas pertanian atau perkebunan. Total kerusakan sawah mencapai luasan lebih dari 100.000 hektar. Sementara kerusakan lahan sebesar 16.200 hektar.
Kebakaran hutan
Kondisi tanah yang mengering dan udara yang lebih panas juga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Apalagi ada bagian wilayah Indonesia yang didominasi lahan gambut, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Lahan gambut sangat rentan terbakar karena material tanahnya terdiri dari bahan-bahan organik, seperti daun, ranting dan batang pohon, hingga hewan-hewan yang mati serta terdekomposisi. Tak hanya itu, sifat pembakaran gambut adalah pembakaran dalam. Artinya, titik api muncul dari lapisan bawah tumpukan material organik sehingga sangat sulit dipadamkan.
Kawasan hutan dan nonhutan di Indonesia memiliki proporsi hampir imbang, yaitu masing-masing sekitar 50 persen. Luas penutup lahan berhutan terbesar berada di Papua, sekitar 32,24 juta hektar atau 34,3 persen dari seluruh lahan hutan Indonesia. Luasan terbesar kedua berada di Kalimantan, yaitu 24,43 juta hektar. Sedangkan luas terkecil berada di Bali dan Nusa Tenggara (1,70 hektar).
Puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus 2019. Dari 342 zona musim di Indonesia, 68 persen akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus 2019.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia mencapai 1.130 kasus selama satu dekade terakhir. Artinya, lebih dari 100 kasus kebakaran setiap tahun. Kerugian yang ditimbulkan sangat banyak.
Kasus kebakaran paling banyak terjadi pada 2018, mencapai 527 kejadian. Seluruh kasus terkonsentrasi di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kebakaran hutan dan lahan turut memicu permasalahan nasional hingga internasional, seperti kabut asap.
Ribuan kasus kebakaran tersebut telah merusak lebih dari 44 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Sementara luas kawasan perkebunan dan pertanian yang terdampak mencapai lebih dari 70.000 hektar.
Jumlah korban meninggal akibat kebakaran mencapai 32 orang, sedangkan korban luka sudah lebih dari 350 jiwa. Adapun jumlah korban menderita lebih dari 400.000 jiwa. Tak hanya korban jiwa, kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan 126 rumah rusak.
Baca juga: 149 Anak ISPA, Terdampak Karhutla Palangkaraya
Wilayah Kalimantan Tengah telah mengalami kebakaran hutan dan lahan. Awal Juli 2019, sebanyak 179,42 hektar hutan dan lahan terbakar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembuatan sumur bor. Sepanjang 2019, tercatat 287 titik panas dan 109 kali kejadian kebakaran.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalimantan Tengah, selama Juli 2019 terdapat 48 kejadian kebakaran dengan rincian Kotawaringin Timur (81,78 hektar), Palangkaraya (47,95 hektar), Kotawaringin Barat (34 hektar), dan Barito Utara (15,69 hektar).
Sementara itu, wilayah lain harus tetap waspada karena kemarau tahun ini jauh lebih kering dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan pantauan satelit NOAA, jumlah titik panas dari Januari hingga Juni 2019 mencapai 508 lokasi.
Mitigasi
Hidup dalam dua fenomena musim yang memiliki dampak bagi kehidupan harus diimbangi dengan kemampuan mitigasi masyarakat Indonesia. Mencermati kekeringan yang dimulai sejak April dan berpuncak pada Agustus setiap tahun, mitigasi perlu dilakukan untuk menurunkan dampak dari kejadian bencana.
Upaya mitigasi bisa dilakukan dengan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC). TMC merupakan bentuk upaya intervensi manusia pada sistem awan untuk mengondisikan cuaca agar berperilaku sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal yang paling lazim dalam TMC adalah hujan buatan.
Intervensi cuaca ini sudah dilakukan dan dapat ditingkatkan frekuensinya menjelang puncak-puncak musim kemarau. Hanya saja, modifikasi ini juga memerlukan dukungan potensi awan hujan. Hingga akhir Juli 2019, potensi awan hujan kurang dari 70 persen sehingga TMC belum dapat dilakukan.
Penyediaan air dan sumber air juga merupakan bentuk mitigasi lain untuk mengantisipasi bencana kekeringan serta kebakaran lahan. Dalam tahap sementara, solusi kekeringan bisa melalui pengiriman air lewat truk tangki. Penanganan dalam jangka panjang dan permanen adalah pembuatan sumur bor, embung, serta pemipaan.
Pembangunan waduk dan embung selaras dengan upaya penanggulangan dampak bencana kekeringan ataupun kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, perbaikan infrastruktur jalan hingga ke desa-desa sangat dibutuhkan. Infrastruktur yang baik memudahkan distribusi air bersih bagi area kekeringan dan tangki air untuk pemadaman kebakaran.
Sementara dari sisi pertanian, salah satu cara yang dilakukan agar ketahanan pangan tetap terjaga adalah menyiapkan varietas benih padi yang tidak memerlukan banyak air. Banyak area sawah dan kebun di Indonesia yang mengandalkan air hujan atau dikenal dengan sawah tadah hujan.
Periode ini masyarakat dihadapkan dengan bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Ini bukan bencana baru, melainkan keseimbangan antara pemberdayaan masyarakat hingga mencapai kondisi sadar bencana dan pembangunan infrastruktur menjadi cara bijak hidup berdampingan dengan musim kemarau. (LITBANG KOMPAS)