Rekanan PT Dok dan Perkapalan Surabaya Dituntut 18,5 Tahun Penjara
Antonius Aris Saputra, rekanan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) dalam proyek pengadaan galangan reparasi kapal, dituntut hukuman maksimal 18 tahun dan 6 bulan penjara. Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 61 miliar ekuivalen 4,5 juta dollar AS.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Antonius Aris Saputra, rekanan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) dalam proyek pengadaan galangan reparasi kapal, dituntut hukuman maksimal 18 tahun dan 6 bulan penjara. Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 61 miliar ekuivalen dengan 4,5 juta dollar AS.
Selain hukuman badan, Presiden Direktur PT A & C Trading Network PTE Ltd di Singapura ini juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Pria yang melakukan korupsi bersama dengan Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) Riry Sjeried Jetta ini dihukum membayar uang pengganti kerugian negara Rp 61 miliar atau menjalani hukuman 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Apabila terdakwa tidak mampu membayar denda ataupun uang pengganti, total hukuman badan yang harus dijalani mencapai 28 tahun dan 3 bulan penjara. Tuntutan terhadap terdakwa Aris itu disampaikan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Rabu (31/7/2019).
Dalam sidang yang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Cokorda Gede Arthana itu, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Jatim Rahmat mengatakan, tuntutan disusun berdasarkan hasil analisis fakta persidangan baik yang digali dari keterangan saksi, ahli, maupun dokumen.
Korupsi di tubuh badan usaha milik negara PT DPS berawal saat perusahaan mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) untuk memodernisasi alat. Sumber dananya berasal dari APBN 2015 dengan nilai sebesar Rp 200 miliar yang direalisasikan pada 2016.
Dana itu digunakan untuk membiayai dua proyek, yakni pembangunan galangan untuk perbaikan kapal (floating dok) dan modernisasi peralatan dengan nilai setiap proyek Rp 100 miliar.
Syarat penggunaan dana PNM adalah dibentuk Komite Investasi. Faktanya, Komite Investasi hanya bekerja pada proyek modernisasi peralatan senilai Rp 100 miliar. Sementara proyek pembangunan galangan untuk perbaikan kapal ditangani oleh perusahaan milik terdakwa Aris. Proses menjadi rekanan tidak melalui mekanisme lelang, tetapu penunjukan langsung. Padahal, sesuai aturan, proyek dengan nilai Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar harus ditenderkan.
Dengan nilai pembangunan galangan kapal sebesar Rp 100 miliar tersebut, PT DPS seharusnya mendapatkan barang baru. Faktanya perusahaan yang dipimpin terdakwa Aris ini justru membeli galangan kapal bekas dari Rusia. Dalam perjalanan menuju ke Surabaya, kapal yang membawa galangan ini mengalami kecelakaan dan karam.
Akibat kecelakaan itu, pembangunan galangan untuk perbaikan kapal tidak terealisasi. Namun, kejanggalan tidak hanya sampai di situ. Saat masih proses survei, PT DPS melakukan perubahan kapasitas galangan dari desain rancang bangun berkapasitas besar menjadi berkapasitas kecil. PT DPS baru membayar uang muka sekitar Rp 20 miliar dari total nilai kontrak Rp 54 miliar.
Dalam materi tuntutannya, jaksa Rahmat mengatakan hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Terdakwa Aris tidak mengakui secara terus terang mengenai perbuatannya. Adapun hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum.
”Berdasarkan uraian tersebut, jaksa penuntut umum menuntut supaya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan agar menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Rahmat.
Menanggapi tuntutan JPU, terdakwa Aris yang didampingi kuasa hukumnya menyatakan akan mengajukan nota pembelaan yang dibacakan pada sidang berikutnya. Kuasa hukum terdakwa, Boby Wijanarko, usai sidang mengatakan tuntutan jaksa dinilai memberatkan. Oleh karena itu, pihaknya akan mengajukan keringanan kepada majelis hakim.
Terdakwa punya niat baik mewujudkan floating dok pengganti. Namun, di tengah proses itu terjadi penyidikan.
Menurut dia, terdakwa Aris sudah kooperatif selama sidang. Boby juga menilai perkara tersebut bukan berada di ranah pidana korupsi, melainkan ranah perkara perdata. Kliennya dianggap tidak bersalah karena penyebab tidak terpenuhinya pembangunan galangan kapal disebabkan tenggelam.
”Terdakwa punya niat baik mewujudkan floating dok pengganti. Namun, di tengah proses itu terjadi penyidikan,” kata Boby.