Ketika Karinding dan Punk Rock Bersanding
Kisah karinding penuh nada indah. Pernah akrab menemani kehidupan masyarakat Jawa Barat, alat musik tradisional Sunda itu semakin jarang dimainkan hingga dituding punah. Kini, lewat kombinasi beragam jenis musik, karinding diwariskan kepada generasi muda agar nyaring suaranya tetap terjaga.
Di belakang panggung, Aldi Renaldi (22) tak berhenti mengelus karindingnya, Minggu (21/7/2019). Lima menit lagi, dia bersama bandnya, Sukmaraksa, akan tampil dalam festival Karinding\'s Day Out di Padepokan Mayang Sunda, Kota Bandung.
Sudah bertahun-tahun dia menantikan festival itu. Selain unjuk kebolehan, dia juga ingin belajar dari puluhan pemain karinding yang hadir dalam festival itu.
Suara getaran dan dengung karinding Aldi membuka penampilan Sukmaraksa. Jari-jari tangan kanannya memukul ujung karinding, sementara bagian permukaannya ditempelkan di bibir.
Sambil memejamkan mata, Aldi menaikkan tempo dengan mempercepat pukulan jarinya. Dia sangat menikmati memainkan alat musik dari sebilah bambu itu.
Bunyi karinding Aldi diikuti suara seruling, celempung, gitar, dan didgeridoo (alat musik tiup) yang dimainkan personel band lainnya. Perpaduan bunyi beragam alat musik itu menghasilkan alunan musik balada kontemporer.
Dengan panjang sekitar 10-15 sentimeter dan tebal 2-3 milimeter, karinding menjadi paling mungil dibandingkan alat musik lainnya. Namun, suaranya tidak tenggelam. Apalagi, beberapa bagian musik hanya diisi bunyi karinding.
Band Sukmaraksa membawakan tiga lagu dalam festival itu, yaitu musik instrumental, “Sukma Saksi Waruga” dan “Abah Wiranta”. Tepuk tangan penonton di ujung penampilan membuat senyum Aldi dan personel band lainnya merekah.
“Agak deg-degan sebenarnya. Soalnya di sini banyak pemain karinding lebih berpengalaman. Ya dibawa enjoy aja. Yang penting penonton terhibur,” ujar Aldi.
Aldi adalah personel termuda di bandnya. Sudah lima tahun dia menekuni musik karinding. Awalnya, pemuda asal Soreang, Kabupaten Bandung itu hanya ikut-ikutan kakaknya yang lebih dahulu bermain karinding. Saat itu, Aldi masih duduk di bangku SMA dan tergabung dalam band beraliran musik metal.
Dia mulai jatuh cinta bermain karinding sejak enam tahun lalu. Saat itu, rekan-rekan kakaknya datang ke rumah untuk berlatih bermusik menggunakan karinding. Sementara itu, Aldi pergi ke studio untuk ngejam dengan teman se-bandnya.
“Waktu itu kepikiran, kok saya suka mainkan musik dari luar, tapi musik asal daerah sendiri enggak diseriusi,” ucapnya.
Tertarik mendalaminya, Aldi masuk ke Program Studi Angklung dan Musik Bambu Institut Seni Budaya Indonesia Bandung pada 2018. Selain dari sisi musik, ia juga ingin belajar tentang filosofi karinding.
Aldi mengakui karinding masih kalah populer dengan alat-alat musik modern. Bahkan, tak jarang yang menganggap musik karinding kuno karena banyak dimainkan orang tua di kampung.
Akan tetapi, pemuda yang juga bisa bermain gitar itu tak ambil pusing dengan anggapan tersebut. Pasalnya, bermain karinding tak serta-merta menanggalkan selera musik metalnya. Bahkan, dia bisa belajar mengombinasikan karinding dalam jenis musik lainnya, seperti balada kontemporer.
“Saya suka metal dan karinding. Keduanya tidak berlawanan sehingga bisa dikombinasikan,” ujarnya.
Bagi Aldi, memainkan karinding menjadi cara untuk melestarikannya. Merawat jati diri budaya agar tidak punah di tengah semakin kuatnya pengaruh budaya global.
Kegembiraan
Aldi bukan satu-satunya pemuda di festival itu. Dari 12 band yang tampil, hampir semua band mempunyai personel dengan usia di bawah 30 tahun. Salah satunya Candra Nugraha, personel band Suryaloka. Meskipun baru berusia 20 tahun, dia sangat percaya diri memainkan karinding untuk mengisi musik beraliran pop sunda.
Bunyi karinding Candra menyatu dengan entakan irama gendang, seperti saat membawakan lagu “Mawar Bodas”. Aransemen ini menarik minat penonton masuk ke depan panggung. Jempol pun bergoyang terbawa suasana.
Candra belajar bermain karinding secara otodidak. Dia tidak mengenyam pendidikan formal di bidang musik. Akan tetapi, dia punya tekad kuat untuk belajar karinding. Di festival itu, dia banyak bertanya dengan pemain karinding yang lebih senior.
Candra mengatakan, ketika masih anak-anak, dia dan teman-temannya di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, suka bermain karinding. “Meskipun mainnya asal-asalan, tapi sangat menyenangkan. Karinding harus dilestarikan agar anak-anak di masa depan juga bisa merasakan kesenangan serupa,” ujar mahasiswa Politeknik Pos Indonesia itu.
Penggagas Karinding\'s Day Out, Iman Rahman Anggawira Kusumah mengatakan, festival itu ajang bagi penggiat karinding di kawasan Bandung Raya menampilkan karyanya. Mereka tergabung dalam Pangauban Karinding, wadah bagi pegiat karinding berekspresi dan berdinamika.
Dalam festival itu juga diluncurkan buku Sejarah Karinding Priangan dan musik Kompilasi Karinding Volume 1. Sejumlah workshop tentang perekaman karinding dan perkusi karinding digelar memanjakan yang datang.
Sarat filosofi
Iman yang akrab disapa Kimung mengatakan, karinding mengalami evolusi peran dalam masyarakat. Saat anak-anak, karinding dijadikan kaulinan (permainan), selanjutnya menjadi alat musik pergaulan saat remaja dan dewasa. Kemudian menjadi alat musik pertanian saat bercocok tanam.
“Dibutuhkan kesabaran dalam menabuh karinding agar suara yang dihasilkan semantap keyakinan yang ia pegang,” ujar Kimung, mantan penggawa kelompok musik Karinding Attack. Berdiri tahun 2009, kelompok ini kerap mengawinkan karinding dengan ragam musik lainnya.
Kimung mengatakan, banyak orang beranggapan karinding alat pengusir hama. Menurut dia, anggapan itu tak sepenuhnya tepat. Karinding justru menjadi alat berkomunikasi manusia dengan makhluk lainnya. Saat karinding dimainkan, itu sebagai tanda manusia sedang menanam sampai dipanen.
Saat langit Bandung semakin senja, keinginan menjadikan karinding sebagai panglima terus menjadi. Setelah disuguhi musik balada kontemporer dan pop sunda, panggung festival Karinding\'s Day Out semakin mengentak lewat musik punk rock. Pelakunya adalah segerombolan anak punk yang tergabung dalam band Punk Nyunda Makalangan.
Penampilan mereka nyentrik. Rambut beberapa personelnya dibuat mohawk. Namun, iket tetap terpasang di kepala sebagai identitas laki-laki Sunda.
Salah satu personel band itu, Ewing Anom (39), tampil atraktif. Tangannya sangat cekatan memukul ujung karinding untuk mengikuti tempo musik punk yang cepat dan bertenaga. Sesekali dia melompat, memancing tepuk tangan penonton.
Ewing mengatakan, penampilan bandnya bukan sekadar menunjukkan kelihaian bermusik. “Kami ingin mengikis stigma negatif anak punk. Salah satunya melestarikan karinding dengan memasukkannya dalam musik punk,” ujarnya.
Hari itu Karinding kembali dirayakan dengan ceria. Cara itu membuat anak-anak muda tidak merasa “jadul” memainkan karinding. Mereka milenial, namun tetap cinta musik tradisional.