Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Pemberian Amnesti kepada Baiq Nuril setelah menerima persetujuan dari DPR.
JAKARTA, KOMPAS - Penantian panjang korban pelecehan seksual yang menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Baiq Nuril, berakhir. Presiden Joko Widodo akhirnya memberikan amnesti atau pengampunan hukuman untuk perempuan asal Mataram, Nusa Tenggara Barat itu.
Terkait dengan hal ini, keluarga Baiq Nuril mengungkap rasa syukurnya. Mereka berharap agar kasus Nuril itu menjadi titik tolak bagi pemerintah mengevaluasi UU ITE agar ke depan tak ada korban serupa.
Pemberian amnesti itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti untuk Baiq Nuril Maknun yang ditandatangani pada Senin (29/7/2019). “Tadi pagi (Senin) sudah saya tanda tangani Keppres untuk Ibu Baiq Nuril," kata Presiden di sela-sela kunjungannya ke kawasan Danau Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Senin sore.
Pemberian amnesti untuk Nuril itu sesuai dengan janji Presiden yang disampaikan seusai menghadiri pembubaran Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf Amin, Jumat (26/7/2019). Saat itu, Presiden menyampaikan akan menerbitkan keppres begitu menerima surat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan diterbitkannya keppres itu berarti Nuril terbebas dari segala hukuman. Presiden Jokowi pun meminta pihak-pihak terkait untuk menindaklanjutinya. keppres tersebut.
Terkait dengan pemberian amnesti ini, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa hal itu merupakan kewenangan Presiden.
"Bila permohonan amnesti Ibu Baiq Nuril dikabulkan Presiden, itu tentu telah menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara, sebab itu telah diatur di dalam konstitusi kita, UUD 1945. Kalau kami di MA juga sudah menyelesaikan tugas dalam proses hukum dan peradilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi, dan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali," kata Andi.
Kasus yang menjerat Nuril berawal dari pelecehan verbal yang dilakukan kepala sekolah tempatnya bekerja pada 2012. Ia merekam percakapan dengan kepala sekolah tersebut, yang tiga tahun kemudian beredar luas di Mataram. Nuril pun dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE.
Pengadilan Negeri Mataram memvonis bebas. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke MA. MA memutus Nuril bersalah dan menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsidair 3 bulan penjara. Atas hukuman ini, Nuril mengajukan peninjauan kembali tetapi kandas di MA. Nuril kemudian mengajukan amnesti ke Presiden pada Senin (15/7).
Lega
Keluarga besar Nuril mengaku lega dan bersyukur atas pemberian amnesti tersebut. Mereka berharap kasus yang menimpa Nuril menjadi pelajaran penting semua pihak sehingga tidak ada perempuan lain yang menjadi korban. "Saya sekarang bisa tidur," kata Lalu Mustajab, ayah Nuril.
Sementara Nuril yang kembali berkumpul dengan keluarga, setelah 2 pekan berada di Jakarta mengurus permohonan amnesti, juga mengaku lega. "Rasanya plong. Setelah proses yang begitu panjang sejak 2014, akhirnya sekarang selesai," kata Nuril singkat.
Paman Nuril, Lalu Junaidi berharap, kasus Nuril jadi pelajaran penting dan menjadi titik tolak mengevaluasi UU ITE. "Jangan sampai ada korban lain. Cukuplah keponakan saya yang terakhir, " tambahnya.
Ketua Tim Kuasa Hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi mengaku tak menyangka pemberian amnesti berlangsung dengan cepat. "Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Presiden Jokowi yang sudah sangat luar biasa merespon cukup cepat dalam hitungan tak sampai satu hari beliau sudah melanjutkan. Cepat sekali, sangat luar biasa," tuturnya.