Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencabut izin mendirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu karena dinilai tidak memenuhi persyaratan. Pencabutan itu dilakukan beberapa pekan setelah munculnya penolakan dari sejumlah warga sekitar terhadap keberadaan GPdI Immanuel Sedayu.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencabut izin mendirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu karena dinilai tidak memenuhi persyaratan. Pencabutan dilakukan beberapa pekan setelah munculnya penolakan sejumlah warga sekitar terhadap keberadaan GPdI Immanuel Sedayu.
”Ada unsur-unsur yang tidak terpenuhi sehingga izin itu dicabut,” kata Bupati Bantul Suharsono seusai bertemu dengan pengelola Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, Senin (29/7/2019), di kantor Pemerintah Kabupaten Bantul.
Pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) itu tertuang di dalam Keputusan Bupati Bantul Nomor 345 Tahun 2019 yang ditandatangani Suharsono, Jumat (26/7/2019). Dalam keputusan itu, Bupati Bantul membatalkan penetapan GPdI Immanuel Sedayu sebagai rumah ibadat yang mendapatkan fasilitasi penerbitan IMB.
Selain itu, Bupati Bantul juga memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Bantul mencabut IMB GPdI Immanuel Sedayu yang diterbitkan pada 15 Januari 2019.
Sebelum pencabutan IMB, keberadaan gereja yang didirikan pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) itu sempat ditolak warga sekitar. Alasannya, pada 2003, Sitorus telah menandatangani surat yang menyatakan bangunan yang berlokasi di Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, itu hanya akan digunakan untuk tempat tinggal.
Suharsono menuturkan, penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bupati (Perbup) Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadat. Perbup itu menyatakan, Pemkab Bantul memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat yang sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006.
Sebelum pencabutan IMB, keberadaan gereja yang didirikan pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) itu sempat ditolak warga sekitar.
Fasilitasi itu didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang ditetapkan 21 Maret 2006.
Dengan fasilitasi itu, penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu dan sejumlah rumah ibadah lain di Bantul tidak membutuhkan dua syarat khusus pendirian rumah ibadah. Dua syarat itu adalah daftar nama dan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) calon pengguna rumah ibadah yang berjumlah minimal 90 orang serta dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.
Namun, agar bisa mendapatkan fasilitasi itu, sebuah rumah ibadat harus memenuhi sejumlah persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menag dan Mendagri tahun 2006. Beberapa syarat itu adalah sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006, sudah digunakan sebagai rumah ibadat secara permanen, dan memiliki nilai sejarah.
Tidak terus-menerus
Menurut Suharsono, berdasarkan penyelidikan, GPdI Immanuel Sedayu tidak memenuhi syarat mendapatkan fasilitasi penerbitan IMB. Hal ini karena sebelum 2006 gereja itu belum digunakan sebagai rumah ibadat secara permanen atau terus-menerus.
”Mereka (pengelola GPdI Immanuel Sedayu) juga sudah mengakui bahwa gereja itu tidak dipakai secara terus-menerus. Kadang sebulan tiga kali, kadang dua kali. Padahal, aturannya harus terus-menerus,” ungkap Suharsono.
Dia menambahkan, pencabutan IMB itu tidak dilakukan karena tekanan dari pihak tertentu. Suharsono juga menyebut pencabutan IMB tidak berkaitan dengan kepentingan politik, misalnya untuk mendapatkan dukungan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bantul tahun 2020. ”Itu adalah keputusan saya dan staf saya, tidak ada tekanan-tekanan,” katanya.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Bantul Bambang Guritno menambahkan, pencabutan IMB GPdI Immanuel Sedayu dilakukan sesudah penyelidikan yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk kantor Kementerian Agama Bantul dan tim terpadu Pemkab Bantul. ”Dari penyelidikan, didapati fakta tempat itu tidak digunakan terus-menerus,” katanya.
Bambang menambahkan, setelah pencabutan dilakukan, pengelola GPdI Immanuel Sedayu bisa mengajukan permohonan penerbitan IMB lagi. Akan tetapi, permohonan IMB itu mesti memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, yakni melampirkan 90 nama dan fotokopi KTP calon pengguna rumah ibadah serta dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang.
Apabila pencabutan IMB tetap dilakukan, pengelola GPdI Immanuel Sedayu kemungkinan akan mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Sementara itu, juru bicara GPdI Immanuel Sedayu, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan, pihaknya berharap Bupati Bantul bisa mengkaji ulang pencabutan IMB gereja itu. Pengelola GPdI Immanuel Sedayu juga berharap bisa berdialog lagi dengan Pemkab Bantul terkait dengan persoalan itu.
Namun, apabila pencabutan IMB tetap dilakukan, pengelola GPdI Immanuel Sedayu kemungkinan akan mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). ”Kami berharap Bupati Bantul mengkaji ulang keputusannya. Tetapi, jika keputusan bupati tidak dievaluasi kembali, kami akan melakukan gugatan ke PTUN,” ujar Agnes.