Perintis Pendidikan bagi Anak-anak Korban Banjir
“Kalau anak-anak tidak sekolah, air mata kesedihan ibu akan mengalir deras. Tetapi, kalau mereka sekolah, air mata bahagialah yang mengalir.”
”Kalau anak-anak tidak sekolah, air mata kesedihan ibu akan mengalir deras. Tetapi, kalau mereka sekolah, air mata bahagialah yang mengalir,” kata Aguste Bangsuil (55), Rabu (24/7/2019). Sebagai guru, ia ingin semua anak bisa sekolah, termasuk anak-anak korban banjir bandang 2014 di Manado yang telah direlokasi jauh dari pusat kota.
Pascabanjir bandang lima tahun lalu, Pemerintah Kota Manado menjanjikan warga yang tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano permukiman baru yang bebas banjir. Dibangunlah kompleks perumahan di perbukitan Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado, sekitar 20 kilometer dari pusat kota.
Dengan dana Rp 213 miliar dari APBN, hutan lebat di perbukitan tersebut dibabat, diganti 2.054 rumah tipe 36 beratapkan seng warna biru, merah, dan abu-abu. Berbagai fasilitas publik juga dibangun, seperti kantor lurah, puskesmas pembantu, pasar tradisional, gereja, masjid, serta gedung SD dan SMP.
Warga mulai meninggalkan rumah-rumah lamanya untuk pindah ke kompleks relokasi pada 2016. Kini, sekitar 1.600 rumah telah terisi. Selama lebih dari dua tahun, SD dan SMP berstatus sekolah negeri yang diberi nama Pandu Cerdas itu dorman. Tahun ajaran perdana 2019/2020 akhirnya dimulai pada 15 Juli lalu.
Lima tahun lagi saya pensiun. Saya rasa, tantangan baru akan menarik. Sekarang, tiap pagi saya absen (mencatat kehadiran) di SDN 46, lalu kemari untuk mengajar. Sehabis itu kembali ke SDN 46 untuk mengajar lagi.
Tahun ajaran dimulai setelah Aguste memutuskan untuk ”mendamparkan” dirinya ke SDN Pandu Cerdas menjadi guru pertama yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Guru asal SDN 46 Manado itu menjadi perintis pendidikan di SD negeri terbaru di Manado itu.
”Lima tahun lagi saya pensiun. Saya rasa, tantangan baru akan menarik. Sekarang tiap pagi saya absen (mencatat kehadiran) di SDN 46, lalu kemari untuk mengajar. Sehabis itu kembali ke SDN 46 untuk mengajar lagi,” kata Aguste.
Penugasan Aguste di SDN Pandu Cerdas belum diresmikan surat keputusan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manado. Namun, ia telah melaporkan niatnya merintis layanan pendidikan di sana kepada salah satu kepala bidang di dinas. ”Pindah dulu saja, nanti suratnya menyusul,” kata Aguste menirukan kata kepala bidang tersebut.
Kini, ia menjadi penanggung jawab 13 siswa pertama SDN Pandu Cerdas. Empat siswa duduk di kelas I, tiga siswa di kelas II, dan satu siswa di kelas III. Kelas IV diisi empat siswa, sementara kelas V hanya satu orang. Sebagian siswa adalah pindahan dari sekolah lain, sebagian lainnya anak yang sebelumnya putus sekolah.
Semangat merintis pendidikan bagi warga korban banjir ternyata tak hanya dimiliki Aguste. Maria Tangel (44) dan Siti Aisyah Yusuf (33) tak membiarkannya mengajar sendirian. Mereka menuntun kegiatan belajar siswa kelas I dan II.
Kami tetap mengajar dengan pendekatan Kurtilas (Kurikulum 2013). Siswa akan diajak berdiskusi sehingga lebih aktif. Jadi, tidak tergantung buku.
Menurut Maria, jika kegiatan belajar dan mengajar tak segera dimulai, anak-anak di permukiman relokasi Pandu akan tertinggal. ”Sebagai relawan, torang (kami) ingin pendidikan di sekolah ini berjalan lancar. Sistemnya harus bisa sama seperti sekolah lain,” kata Maria.
Perlahan, sistem belajar-mengajar mulai terbentuk. Setiap pagi, Maria yang mulai dibantu Aisyah sejak Rabu (24/4/2019) mengajak anak-anak yang masih berkeliaran di halaman sekolah masuk ke dalam kelas. Kegiatan belajar berlangsung sampai pukul 10.00 Wita bagi kelas I dan II, sementara siswa kelas III, IV, dan V belajar hingga pukul 12.30 Wita.
Kendati begitu, SDN Pandu Cerdas belum memiliki buku-buku pelajaran sebagai bahan ajar. Aguste pun berinisiatif mengambil buku pelajaran bekas dari SDN 46 dan SDN 123 Manado, tempat istrinya bekerja. Buku yang diambil masih berbasis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
”Kami tetap mengajar dengan pendekatan Kurtilas (Kurikulum 2013). Siswa akan diajak berdiskusi sehingga lebih aktif. Jadi, tidak tergantung buku,” kata Aguste.
Butuh kompetensi
Di sisi lain, Maria dan Aisyah mengatakan tidak memiliki kompetensi sebagai guru. Maria tidak tamat SMP, sedangkan Aisyah lulusan SMK. Mereka hanya mengandalkan pengalaman mereka menjadi pendidik nonformal bagi anak-anak. Maria, misalnya, terbiasa menghadapi anak-anak sebagai guru sekolah minggu di gereja.
”Makanya, tiap pagi kami diberi tahu Pak Aguste, pelajaran apa yang diberikan hari itu. Sejauh ini, siswa kelas I masih belajar menulis. Siswa kelas II fokus belajar membaca,” kata Aisyah.
Maria dan Aisyah punya harapan besar agar anak-anak di kompleks relokasi Pandu bisa segera bersekolah. Orangtua pun diharapkan memilih memindahkan anaknya ke SDN Pandu Cerdas agar bisa lebih dekat dan hemat biaya transportasi dibandingkan harus bersekolah di tengah kota. Sebab, tidak ada transportasi umum yang menghubungkan kompleks relokasi ke pusat kota, sementara biaya ojek mencapai Rp 30.000 pergi-pulang.
SDN Pandu Cerdas sebenarnya memiliki enam ruang kelas, tetapi hanya satu kelas yang terpakai. Siswa duduk berkelompok di meja dan kursi yang saling berhadapan. ”Idealnya, satu kelas diisi 28 orang. Tetapi, karena siswa masih sedikit, kami masih mengajar dalam satu kelas,” ujarnya.
Aguste sependapat. ”Tahun depan, kami harap anak-anak bisa disekolahkan di sini. Tetapi, orangtua tidak akan tertarik kalau kualitas pendidikan di sini tidak ditingkatkan dengan baik. Sementara kami beri anak-anak pengetahuan dan pendidikan karakter, sampai nantinya Dinas Pendidikan mengirimkan guru,” katanya.
Merangkap
Keadaan SMPN Pandu Cerdas tak jauh berbeda dari SD di sebelahnya. Kini, hanya 10 siswa yang terdaftar di tahun ajaran 2019/2020. Empat orang duduk di kelas VII, sedangkan kelas VIII dan IX masing-masing diisi tiga orang.
Total pengajar hanya lima orang, yaitu seorang kepala sekolah, seorang guru honorer, seorang pegawai tata usaha, dan dua warga Pandu. Cahya Malalantang (19), pegawai TU berstatus honorer SMPN Pandu Cerdas, terpaksa turut mengajar.
”Guru punya spesialisasi mata pelajaran tersendiri. Saya ikut mengajar Bahasa Inggris,” kata Cahya. Dia baru lulus SMK setahun lalu dan langsung bekerja, bahkan merangkap sebagai guru.
Jika ingin sekolah segera aktif, memang harus ada yang merintis. Seni Tawas (46) pun turut membantu pelaksanaan belajar di sekolah. Meskipun tidak lulus SMA, setidaknya ia bisa membantu kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung. Saat sekolah usai, ia masih menunggu sampai semua siswa pulang atau dijemput orangtuanya.
Sekarang sekolah gratis. Yang penting anak-anak sekolah dulu, jangan seperti kami.
Seni sebenarnya mengeluhkan infrastruktur yang masih kurang di sekitar sekolah. Hingga kini bahkan tidak ada kantin. ”Makanya, kepala sekolah yang menyediakan makanan untuk siswa. Kami harus menjaga agar mereka tidak pergi terlalu jauh, harus tetap di lingkungan sekolah,” katanya.
Sukarelawan seperti Seni, Maria, dan Aisyah murni ingin membantu. Hingga kini, mereka tidak tahu apakah akan dibayar atau tidak. ”Sekarang sekolah gratis. Yang penting anak-anak sekolah dulu, jangan seperti kami,” kata Maria.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manado Daglan Walangitan berjanji segera menambahkan guru di SD dan SMPN Pandu Cerdas. ”Ada 307 guru honorer SD dan 51 guru honorer SMP. Nanti akan ada yang ditugaskan di SD dan SMPN Pandu Cerdas,” kata Daglan.
Menurut dia, jumlah siswa akan bertambah banyak jika pelayanan pendidikan di sekolah semakin memadai. Karena itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan akan segera menambah jumlah guru terlebih dahulu. Namun, para sukarelawan yang bukan guru memang tidak akan dibayar. ”Hanya guru yang bisa mengajar di situ,” katanya.
Kendati begitu, semangat para perintis bagi anak-anak korban banjir tidak redup. Hingga kini, mereka masih berjuang membuktikan bahwa SD dan SMPN Pandu Cerdas bisa mencerdaskan siswa.