Bagikan Bantuan Segera, Jangan Lagi Tunggu Data
Ribuan warga sejumlah distrik di Kabupaten Nduga, Papua, meninggalkan kampung halamannya sejak Desember 2018. Mereka ketakutan dengan situasi keamanan di sana, konflik aparat keamanan dengan kelompok kriminal bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Banyak pengungsi meninggal dalam perjalanan mengungsi, bukan terkena tembakan, tetapi kelaparan dan sakit.
Tangisan Eglak Gwijangge memecah keheningan saat Kompas mengunjungi sebuah rumah kayu di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Senin (22/7/2029) sekitar pukul 13.00 WIT. Selain Eglak, terdapat kakaknya, kakek dan neneknya di rumah itu.
Bocah perempuan berusia satu tahun asal Distrik Mugi, Papua, itu kelaparan sejak pagi. Keluarganya hanya bisa memberi teh manis untuk Eglak.
Keluarga pengungsi itu tinggal di sebuah rumah kayu dengan satu ruangan berukuran 4x6 meter yang diisi delapan anggota keluarga. Mereka berdesak-desakan tidur di rumah tersebut.
Saat ia hamil sekitar tujuh bulan harus mengungsi bersama ratusan orang meninggalkan Yigi, berjalan kaki ke Wamena sekitar dua bulan.
Begitulah salah satu wajah dari 34 keluarga pengungsi asal Distrik Mugi yang bermukim di empat rumah di Distrik Walesi, Wamena, tujuh bulan terakhir. Mereka bertahan dengan apa saja yang mereka terima, terutama dari para relawan yang sejak Mei 2019 lalu kehabisan stok makanan bagi mereka.
Secara keseluruhan, ada sekitar 5.000 warga meninggalkan Kabupaten Nduga menuju Wamena karena ketakutan dengan kontak senjata antara TNI dan Kelompok Egianus Kogoya pascapenyerangan pekerja PT Istaka Karya.
Kelompok Egianus terlibat dalam insiden penembakan 28 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 di Bukit Kabo, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga. Sebanyak 17 orang meninggal, 7 orang selamat, dan 4 orang belum ditemukan tim gabungan TNI dan Polri hingga saat ini.
Secara geografis, Kabupaten Nduga adalah kabupaten bersebelahan dengan Kabupaten Jayawijaya, yang bisa ditempuh jalan darat atau menggunakan pesawat kurang dari satu jam perjalanan. Jalan darat butuh waktu berminggu-minggu karena harus melewati pegunungan dan hutan.
Medan sulit dengan cuaca dingin serta hujan membuat anak-anak dan lanjut usia tidak bertahan. Dikabarkan, beberapa di antara mereka meninggal karena fisik yang tidak kuat. Korban meninggal, di antaranya dikuburkan di tempat pengungsian, seperti di Wamena.
Senin lalu itu, sekitar 50 meter dari lokasi yang ditinggali Eglak, terdapat kuburan bayi berusia enam asal Mugi yang meninggal pada 30 Maret 2019. Bayi bernama Owaksapena Kogeya meninggal karena sakit dan kelaparan.
Tokoh gereja asal Mugi yang turut mengungsi ke Walesi, Kones Kogoya mengungkapkan, terdapat tujuh kuburan anak-anak dan lima kuburan orang dewasa asal Mugi. Rata-rata mereka meninggal dunia karena kelaparan.
"Selain meninggal di Wamena, terdapat salah seorang warga kami bernama Ninipas Nirigi (70) meninggal dunia dalam perjalanan melewati hutan dan gunung dari Mugi ke Wamena. Ia kelaparan dan sangat kelelahan," tutur Kones.
Selain di Walesi, Kompas juga mendatangi salah satu lokasi pengungsi di Kampung Weneroma, Distrik Napua, Wamena, Rabu (24/7/2019) sekitar pukul 12.00 WIT. Di sana, tampak tiga petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga memberikan pelayanan kesehatan dan mendata sekitar 100 pengungsi ibu dan anak di sebuah ruangan.
Saat Kompas memasuki ruangan itu, sejumlah ibu bersama anaknya merasa ketakutan dan langsung meninggalkan ruangan. Mereka ketakutan karena mengira Kompas adalah aparat keamanan.
Akhirnya, salah satu petugas Dinkes Nduga bernama Loriana Wandik dengan manggunakan bahasa Nduga membujuk para ibu berserta anaknya kembali ke ruangan.
Neri Mimiangge (20), salah satu pengungsi asal Distrik Yigi yang didampingi Loriana mengaku, saat ia dalam kondisi hamil sekitar tujuh bulan harus mengungsi bersama ratusan orang meninggalkan Yigi, berjalan kaki ke Wamena sekitar dua bulan. Saat ini, Neri telah melahirkan anaknya di Wamena. Anaknya bernama Abraham telah berusia lima bulan.
"Saat terjadi kontak senjata, kami semua berlari ke hutan dan mendaki gunung menuju Wamena. Saat dalam perjalanan, kondisi badan basah karena terkena hujan dan cuaca sangat dingin," ungkap Neri. Hampir semua pengungsi berasal dari distrik-distik atau kampung-kampung yang jauh dari ibu kota Kabupaten Nduga.
Prioritas keselamatan
Pastor John Jonga Pr selaku tokoh pegiat hak asasi manusia (HAM) menyatakan, pemerintah di daerah maupun pusat seharusnya memprioritaskan keselamatan para pengungsi yang tersebar di 36 lokasi. Ketersediaan pangan harus segera dibagian, tanpa harus menunggu detil informasi mengenai jumlah pengungsi asal Nduga yang meninggal di hutan, Wamena, Lanny Jaya, Yahukimo, dan Asmat.
Informasi jumlah pengungsi asal Nduga dari tim relawan yang meninggal berbeda-beda. Ada yang menyebut 177 pengungsi meninggal, 139 orang, dan 130 orang, hingga 50 orang pengungsi meninggal.
"Banyak warga yang meninggal dunia karena kelaparan. Seharusnya penyediaan makanan bagi para pengungsi menjadi prioritas yang harus diupayakan pemerintah terlebih dahulu," tutur peraih Yap Thiam Hien Award tahun 2009 itu.
Namantus Gwijangge, salah satu tokoh relawan Nduga mengatakan, terdapat sekitar 1.000 anak pengungsi asal Nduga yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan, pasokan makanan bergizi, dan pendidikan yang memadai hingga kini.
Kapala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jayawijaya Ernawati Tappi mengatakan, pihaknya bersedia bersinergi dengan Pemkab Nduga untuk membantu para pengungsi di Wamena. "Kami bisa membantu menyiapkan bantuan makanan dan peralatan sekolah bagi anak-anak. Namun, kami memerlukan data jumlah pengungsi dari Pemkab Nduga agar penyaluran bantuan tepat sasaran," tegas Ernawati.
Kamis lalu, bantuan dari Kementerian Sosial sudah berada di Jayapura dan siap didistribusikan ke Wamena. Sebagian besar paket bantuan untuk anak-anak dan siswa sekolah. Bantuan lain segera disusulkan.