Keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) selama beberapa tahun terakhir mampu menurunkan laju deforestasi dan jumlah titik api di kawasan hutan. Selain itu, juga meningkatkan usaha produktif di sektor kehutanan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS - Keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memberikan manfaat besar dalam pelestarian kawasan hutan di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, keberadaan KPH di berbagai wilayah Indonesia mampu menurunkan laju deforestasi dan jumlah titik api di kawasan hutan serta meningkatkan usaha produktif di sektor kehutanan.
"Secara nasional, keberadaan KPH telah mampu memberikan pengaruh yang signifikan," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, Rabu (24/7/2019). Bambang menghadiri Rapat Koordinasi Nasional KPH 2019 di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Keberadaan KPH mampu menurunkan laju deforestasi atau penggundulan hutan sebesar 5,18 persen.
KPH merupakan unit pengelola hutan di tingkat tapak. Tugas KPH antara lain mencakup pengelolaan pemanfaatan kawasan dan hasil hutan, rehabilitasi dan reklamasi, serta perlindungan dan konservasi hutan. KPH terdiri dari beberapa jenis, yakni KPH Konservasi, KPH Lindung, dan KPH Produksi.
Bambang memaparkan, selama kurun waktu 2015-2018, keberadaan KPH mampu menurunkan laju deforestasi atau penggundulan hutan sebesar 5,18 persen. Selain itu, KPH juga berhasil menurunkan jumlah titik api sebesar 71,72 persen serta mengurangi jumlah konflik lahan di kawasan hutan sebesar 32,20 persen.
Di sisi lain, keberadaan KPH juga telah berhasil meningkatkan nilai usaha investasi produktif di kawasan hutan. Peningkatan nilai investasi sepanjang tahun 2015-2018 itu mencapai 111,79 persen atau sekitar Rp 50,83 miliar.
Bambang menuturkan, KPH juga telah meningkatkan jumlah masyarakat yang terlibat dalam usaha produktif di kawasan hutan sebesar 135,78 persen. Selain itu, pendapatan masyarakat yang terlibat dalam usaha produktif di kawasan hutan juga berhasil ditingkatkan sebesar 252,95 persen.
Bambang menyatakan, hingga sekarang, pengelolaan kawasan hutan di Indonesia memang masih diwarnai sejumlah persoalan, di antaranya deforestasi dan menurunnya kualitas hutan, pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang belum diiringi peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta munculnya konflik dalam pemanfaatan SDA hutan.
Untuk mengatasi berbagai persoalan itu, pemerintah menempuh sejumlah langkah, antara lain membentuk KPH. "KPH mempunyai peran penting dan strategis dalam mengatasi permasalahan kehutanan di tingkat tapak, mendorong mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah," tutur Bambang.
Pengelolaan hutan di wilayah DIY dilakukan melalui upaya pelestarian yang dipadukan dengan pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar.
Bambang menambahkan, hingga tahun 2018, telah terbentuk 390 lembaga KPH yang terdiri dari 64 lembaga KPH Konservasi di bawah pemerintah pusat serta 326 lembaga KPH Lindung dan KPH Produksi di bawah pemerintah daerah (pemda). KPH Konservasi mengelola 147 unit wilayah, sementara KPH Lindung dan KPH Produksi mengelola 532 unit wilayah.
Hutan DIY
Wakil Gubernur DIY Paku Alam X menyatakan, pengelolaan hutan di wilayah DIY dilakukan melalui upaya pelestarian yang dipadukan dengan pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar. Hal ini karena masih banyak masyarakat sekitar hutan yang hidup dalam kondisi kurang mampu atau prasejahtera.
"Terdapat lebih kurang 76.472 keluarga yang tinggal di 52 desa di sekitar hutan di DIY dan sebanyak 18,38 persen di antaranya dinyatakan sebagai keluarga prasejahtera," ujar Paku Alam X.
Dia menambahkan, dari total luas hutan negara di DIY yang mencapai 19.035 hektar (ha), sebanyak 15.581 ha di antaranya dikelola oleh KPH Yogyakarta. Kawasan hutan yang dikelola KPH Yogyakarta itu telah memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dalam berbagai bentuk.
Contohnya, masyarakat menanam sejumlah tanaman produktif, misalnya ketela, jagung, kacang, dan kedelai, dengan sistem tumpangsari. "Jika dikalkulasikan, hasil tumpangsari tersebut dapat mencapai sekitar Rp 60 miliar tiap tahunnya," kata Paku Alam X.
Selain itu, kawasan hutan yang dikelola KPH Yogyakarta juga dimanfaatkan untuk wisata alam. Dari aktivitas wisata alam itu, masyarakat sekitar mendapat pemasukan langsung sekitar Rp 7 miliar. Selain itu, kegiatan wisata alam tersebut juga menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD) sekitar Rp 2,3 miliar pada tahun 2018.