Puluhan Anak Korban Pornografi Belum Teridentifikasi
Seorang narapidana menjebak anak-anak di media sosial agar mau memberikan konten pornografi. Langkah ini dilakukan pelaku demi memenuhi kepuasan pribadi saja. Napi berinisial TR (25) mengelabuhi anak-anak dengan mendokumentasikan 1.307 konten berupa foto dan video.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Seorang narapidana menjebak anak-anak di media sosial agar mau memberikan konten pornografi. Langkah ini dilakukan pelaku demi memenuhi kepuasan pribadi saja. Napi berinisial TR (25) mengelabuhi anak-anak dengan mendokumentasikan 1.307 konten berupa foto dan video.
Polisi mendaftar sedikitnya ada 50 korban, tetapi baru empat yang teridentifikasi. Polisi bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kesulitan mengidentifikasi korban karena sulitnya mencocokkan foto atau identitas media sosial korban dengan identitas aslinya.
Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Besar Asep Safrudin, Senin (22/7/2019), di Jakarta, menjelaskan, TR yang merupakan warga binaan di salah satu lembaga pemasyarakatan (lapas) di Jawa Timur karena mencabuli anak di bawah umur, membuat akun palsu di Instagram. Akun palsu itu mirip dengan profil guru perempuan SD, SMP, dan SMA.
Lalu, lanjut Asep, TR mengikuti akun anak-anak yang diikuti akun guru perempuan itu. TR kemudian mengirim pesan ke anak-anak itu. Percakapan di Instagram kemudian berpindah ke WhatsApp. Di aplikasi percakapan itu, TR memerintahkan korban melucuti pakaian. Bahkan, dia memaksa korban menyentuh alat kelamin dan mendokumentasikannya melalui foto dan video.
Jika menolak, TR menyatakan bahwa nilai anak itu akan bermasalah. Sejauh ini, TR mengaku konten pornografi itu untuk kepentingan pribadi. Polisi juga sedang mendalami motif bisnis atau keterlibatan TR dalam sebuah jaringan para pedofil.
TR diduga melanggar Pasal 82 juncto Pasal 76 E dan atau Pasal 88 juncto Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 29 juncto Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 37 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kepala Unit Penyidikan Subdirektorat 1 Direktorat Tindak pidana Siber Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Polisi Rita Wulandari Wibowo menambahkan, RT diamankan pada 9 Juli 2019. Kasus ini berawal dari laporan KPAI. Ada guru yang melapor kepada KPAI dengan menyatakan fotonya digunakan untuk membuat akun yang bukan miliknya.
Lalu, kata Rita, polisi menyelidiki akun tersebut. Penyelidikan mengarah ke TR. TR bisa memiliki gawai di lapas karena kelihaiannya mengelabui petugas lapas.
Dari visual foto dan video yang diperiksa polisi, sedikitnya terdapat 50 korban. Namun, baru 4 korban yang terang identitasnya. Tidak adanya pusat data anak, ditambah lagi identitas korban di Instagram yang tidak menggunakan nama lengkap, pencarian identitas korban menjadi sulit. Padahal, katanya, pengungkapan identitas diperlukan untuk menangani korban.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati menyatakan, tidak ada data anak yang disertai foto di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, di Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri, belum semua data anak memiliki foto.
Di zaman kini, lanjutnya, kejahatan terhadap anak terjadi di ruang maya. Oleh sebab itu, Dukcapil harus memperbarui data anak secara longitudinal. Paling tidak tiga tahun sekali, foto anak itu diperbarui dan bisa diakses melalui internet.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, jika korban yang belum teridentifikasi itu sudah memiliki Kartu Identitas Anak (KIA), fotonya bisa diakses di Dukcapil. Sebab, Pemilik KIA berusia di atas lima tahun, sudah terdaftar beserta foto. Zudan mendorong orang tua agar mengurus KIA untuk anaknya