Beban dalam Kerja Tanpa Beban
Presiden Jokowi beberapa kali mengatakan, dirinya tak lagi mempunyai beban dalam bekerja memimpin Indonesia. Kondisi ini diharapkan menjadi modal dalam menyelesaikan sejumlah beban di bidang korupsi dan hak asasi manusia.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo menyatakan, lima tahun ke depan dirinya tidak lagi punya beban dalam memimpin Indonesia. Pasalnya, ia tak bisa maju pada Pemilihan Presiden 2024. Hal tersebut membuat Jokowi bertekad akan seoptimal mungkin menggunakan kesempatan membangun Indonesia.
Dalam pidatonya bertajuk ”Visi Indonesia 2019-2024” di Bogor, Minggu (14/7/2019), Jokowi memaparkan lima tahapan besar yang akan dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih produktif, punya daya saing, dan fleksibilitas tinggi dalam menghadapi perubahan. Lima hal itu adalah pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, mengundang investasi untuk membuka lapangan kerja, mereformasi birokrasi, serta menjamin penggunaan APBN fokus dan tepat sasaran.
Dalam acara bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Korupsi dan HAM Versus Visi Jokowi” di Kompas TV, Rabu (17/7/2019) malam, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menilai, visi yang dibacakan Jokowi itu mestinya dibingkai menjadi visi ekonomi kesejahteraan. Penyebutan sebagai ”Visi Indonesia” dinilai kurang tepat. Pasalnya, ada hal yang tidak disertakan dalam visi itu, yaitu tentang perlindungan HAM dan penegakan hukum, serta penataan ulang sistem politik dan pemilu di Indonesia.
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah politisi PDI-P, Charles Honoris; politisi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil; Tenaga Ahli Utama Deputi IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin; Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said; serta Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.
Diskusi dalam acara itu dibuka dengan hasil kerja tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian pada Januari lalu untuk mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang terjadi pada 11 April 2017 lalu. Haris Azhar melihat yang dilakukan TPF hanya buang-buang waktu karena belum bisa mengungkap pelaku dan motif penyiraman air keras terhadap Novel.
Haris juga mengkritik sebagian politisi yang cenderung mengabaikan upaya penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, mereka punya kesempatan untuk menegakkan hukum dan HAM.
Sementara Sudirman Said menilai, pengungkapan kasus tersebut lebih bergantung pada kemauan politik pemerintah. Ada suasana batin di kalangan elite politik tentang sudah diketahuinya pelaku peristiwa itu. Namun, Charles Honoris melihat, terlalu dini untuk menilai proses pengungkapan kasus itu. Pasalnya, pengusutan kasus itu masih berjalan.
Charles juga menuturkan, pidato Jokowi bertajuk ”Visi Indonesia 2019-2024” bukanlah cetak biru untuk pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan. Jokowi akan jauh lebih komprehensif memaparkan visinya pada pelantikan presiden dan wakil presiden, 20 Oktober 2019.
Modal dan tantangan
Nasir mengkritik penggunaan frasa ”tidak ada beban” yang beberapa kali disampaikan Jokowi dalam sejumlah kesempatan. Saat ini, kata Nasir, Jokowi justru mempunyai beban dua kali lipat. Pertama adalah janji-janji pada periode pertama yang belum ditunaikan. Kedua, pemenuhan janji yang disampaikan saat kampanye Pemilu 2019.
Terkait hal ini, sejumlah pembicara menyoroti modal dan tantangan yang dihadapi Jokowi lima tahun ke depan.
Charles menilai, salah satu modal yang dimiliki adalah semangat untuk bekerja secara gotong royong dan cepat. Komitmen pemerintahan Jokowi untuk tidak akan memberikan toleransi pada ideologi lain yang akan mengubah Pancasila juga menjadi modal.
Adapun Sudirman mengingatkan empat tantangan yang dihadapi, yaitu kesenjangan sosial, penegakan hukum, kohesi sosial, dan tantangan global yang antara lain terkait perang dagang.
Sementara Haris berharap, kondisi masyarakat kelas menengah ke bawah lebih jujur dilihat, terutama dalam kaitan dengan pemerataan ekonomi, pendidikan, dan penegakan hukum. Ia juga menyebutkan bahwa penegakan HAM mesti dilihat secara holistik dan bukan semata-mata tentang pembangunan infrastruktur. Perlindungan masyarakat adat, reforma agraria, perekonomian rakyat, dan penyelesaian konflik HAM pada masa lalu menjadi bagian dari termasuk penegakan HAM.
Hanta, pada sisi lain, berharap, Jokowi bisa lebih berani dan tidak tersandera kepentingan parpol. Ia juga mengharapkan adanya oposisi yang kuat.Akhirnya, pengalaman dan pelajaran dari masa lalu menjadi hal penting dalam mencapai kemajuan.
Filsuf, penyair, kritikus, dan novelis George Santayana (1863-1952) dalam karya berjudul The Life of Reason menuliskan rumusan tentang itu; Progress, far from consisting in change, depends on retentiveness. When change is absolute there remains no being to improve and no direction is set for possible improvement: and when experience is not retained, as among savages, infancy is perpetual. Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.
Pemerintahan lima tahun ke depan mestinya mempunyai cukup pengalaman dan bahan dari masa lalu untuk dipelajari demi kemajuan Indonesia.