Nur Anani Maman Irman Mencari Panggung Tari Topeng Losari
Sejak belia, Nur Anani Maman Irman, memilih mencurahkan hidup demi lestarinya tari topeng Losari. Tidak cukup menerima undangan untuk pentas di dalam dan luar negeri, dia, dengan inisiatif sendiri, terus berkelana, mencari panggung untuk pentas dalam berbagai acara kesenian kerakyatan hingga ke pelosok kampung.
Perempuan yang disapa Nani Topeng Losari itu menari pun menari dari acara sederhana seperti sedekah bumi dan ruwatan desa hingga berbagai ajang bertajuk festival. Sebagai generasi ketujuh dari trah penari dan dalang tari topeng Losari, kini dia mengelola Sanggar Purwa Kencan. Sanggar tari topeng Losari yang dibangun sejak tahun 1977 itu warisan dari sang nenek, dalang dan penari topeng Losari, Sawitri.
Tari topeng Losari adalah tarian yang diciptakan Panembahan Senopati atau Pangeran Angkawijaya, sekitar 400 tahun lalu. Dalam tarian yang semula diciptakan untuk menyebarkan agama Islam itu, semua penari menari mengenakan topeng yang tidak memiliki lubang mata.
Keterlibatan Nani dan murid-muridnya dalam bebagai acara dilakukan atas inisiatif sendiri dan semua biaya ditanggungnya sendiri.
Dengan memutuskan menjadi seniman tari, upaya mendapatkan uang untuk jalan-jalan dan pentas tidaklah mudah. Sesekali, Nani memang menerima permintaan pentas dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri. Namun, undangan pentas seperti itu tidak bisa diandalkan karena bersifat tidak rutin diterima.
Nani pun tidak mengandalkan pemasukan dari uang latihan tari di sanggar. Semua murid dilatihnya secara gratis kecuali mereka yang meminta latihan secara privat. Namun, dalam dua tahun terakhir ini, dia sema sekali tidak menerima permintaan privat. “Nenek selalu berpesan, sanggar ini harus lebih berfungsi sosial,” ujarnya. Nani kini memiliki 20 murid yang belajar menari secara gratis.
Pada kondisi keuangan paling sulit sekalipun, Nani tetap berupaya untuk pentas. Seringkali, kegigihan hatinya ini kemudian mendapat “keajaiban kecil”, di mana pada akhirnya pada kondisi mendesak, dia seringkali menerima permintaan pentas mendadak.
“Semua kejadian mendadak itu membuat saya percaya, Tuhan ikut membantu mengelola keuangan saya,” ujarnya tersenyum.
Menari sejak kecil
Nani terlahir dalam keluarga seniman. Sepengetahuannya, kakek buyutnya adalah dalang wayang kulit dan topeng Losari, demikian pula sang nenek. Ibu dan ayahnya uga menjadi penari topeng Losari. Tak heran, sejak kecil, Nani pun sering menjadi “anggota rombongan”, ikut mendampingi neneknya untuk menari, memenuhi panggilan pentas di berbagai tempat.
“Dulu, saya bahkan seringkali ditemukan tertidur di antara gamelan,” ujarnya.
Usia 1,5 tahun Nani mulai sering melihat pementasan, dan usia 1 tahun tujuh bulan, dirinya mulai berlatih dan diajari menari. Ketika itu, dia mengenang, nenek dan ibunya kerap memuji dirinya. “Kata mereka (nenek dan ibu), saya anak yang cepat belajar. Cuma diajari sekali, saya langsung dengan mudah bisa menirukan,” ujarnya.
Kata-kata dari nenek dan ibunya itu ibarat doa dan memang terbukti. Pada usia yang baru mencapai 2,5 tahun, Nani sudah berhasil meraih juara I lomba tari topeng se-Kabupaten Cirebon, mengalahkan peserta lainnya yang sudah berusia belasan tahun.
Sembari sekolah, Nani pun terus melanjutkan aktivitasnya menari. Menginjak bangku SMA, sejumlah dosen dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang dahulu pernah menjadi murid neneknya di Sanggar Purwa Kencana, menawari program beasiswa S1 di STSI Bandung, pada dirinya. “Kata mereka waktu itu, generasi penari Topeng Losari harus pintar. Pendidikan harus tinggi supaya kami tidak dibodohi,” ujarnya.
Tawaran itu pun dipenuhi. Selama kuliah, dia pun mempelajari banyak tarian lain, termasuk tari Jawa. Namun, fokusnya tetap satu, tari topeng Losari.
Era tahun 1990-2000, kesenian tari topeng Losari mengalami masa suram. Sanggar Purwa Kencana ketika itu sama sekali tidak memiliki murid. Tahun 1999, nenek Nani meninggal dunia, dan ketika itu, tidak ada lagi pilihan baginya kecuali harus mengurus sanggar. Namun, karena masih menjalani kuliah, maka sanggar pun tidak bisa dikelolanya secara optimal.
Tahun 2002, dia pun menuntaskan pendidikan dengan predikat cum laude. Terlepas dari segala aktivitas kuliah, Nani pun memutuskan mencurahkan semua energinya untuk mengurus sanggar. “Mengingat kondisi yang terjadi saat saya meninggalkan sanggar untuk kuliah di Bandung, saya pun akhirnya memutuskan untuk tidak akan lagi pergi meninggalkan Cirebon,” ujarnya.
Dia pun memulai semuanya dari awal, kembali mencari murid. Dia melakukan berbagai semacam promosi dengan intens mengisi berbagai acara kesenian dan mengunggah foto serta videonya di media sosial. Tahun 2004, upaya ini mulai menunjukkan hasil. Belasan murid mulai datang dan sebagian di antaranya dari luar kota, dan seiring waktu dia juga menerima siswa dari luar negeri.
Dengan kesungguhan mengajar, Nani memutuskan untuk betul-betul berkonsentrasi pada Sanggar Purwa Kencana. Sepenuh hati memutuskan menjadi seniman, dia pun menolak tawaran program beasiswa untuk melanjutkan kuliah program S2 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dan menolak banyak tawaran untuk menjadi bekerja di dinas pariwisata di Kabupaten Cirebon dan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Selain karena merasa tidak bisa hidup dalam tekanan birokrasi, Nani mengatakan, penolakan terhadap berbagai jenis pekerjaan dilakukannya untuk memenuhi nasihat neneknya, yang menyuruh Nani untuk bekerja secara mandiri, tanpa menjadi bawahan orang lain.
Walaupun selalu mendapatkan panggung dan disambut hangat di berbagai tempat, Nani justru kehilangan “panggung” di rumahnya sendiri. Setelah melalui berbagai masalah dan perdebatan sejak tahun 2010, Nani pun resmi diceraikan di tahun 2013. Nani tidak bisa melanjutkan pernikahan karena suaminya melarangnya menari.
Dua putranya kini diasuh oleh mantan suami Nani, dan kini keduanya menempuh pendidikan di pondok pesantren (ponpes) di Klaten dan Cirebon. Oleh ayah mereka, dua anak ini pun dilarang menonton ibunya menari.
Dengan perceraian tersebut, Nani pun terpaksa harus ikhlas, tidak bisa meneruskan tradisi tari topeng Losari pada anak-anaknya sendiri.
Menyadari kondisi tersebut, dia pun kemudian langsung melatih, mengajari dua keponakannya, anak dari dua adiknya. Dua anak ini intens dilatih sejak TK hingga kini keduanya duduk di bangku SMA.
Dia pun juga terus berupaya mencari semakin banyak murid dan terus menari, memperkenalkan tari topeng Losari ke seantero negeri bahkan hingga mancanegara. Karena baginya, harus selalu ada panggung bagi tari Topeng Losari.
Nur Anani Maman
Irman
Lahir: Cirebon, 5 Juni 1977
Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)Bandung
Pekerjaan: Penari, pimpinan Sanggar Purwa Kencana
Nama anak: M Tegar Pratama Putra Dena (13), M Naizar Dwi Putra Dena (9)