Mencari Ujung Polemik Lahan Kemenkumham di Kota Tangerang
Polemik yang terjadi antara daerah otonomi dan lembaga sektoral atau kementerian/pemerintah pusat adalah puncak gunung es yang sewaktu-waktu akan mencair.
Gedung Majelis Ulama Indonesia Kota Tangerang di Jalan Satria Sudirman, Kelurahan Sukaasih, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, berdiri kokoh bersebelahan dengan Masjid Raya Al-Adzhom.
Bangunan tersebut berseberangan lokasinya dengan Pusat Pemerintahan Kota Tangerang. Di samping gedung ini terdapat empang dan rawa yang sampai saat ini belum bisa ditata atau dibenahi.
”Jadi, selama ini dibiarkan begitu saja dan belum dibenahi. Kami pun mau membuat sekretariat untuk umat enggak bisa,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang KH Edi Junaedi.
Jadi, selama ini dibiarkan begitu saja dan belum dibenahi. Kami pun mau membuat sekretariat untuk umat enggak bisa.
Edi mengatakan hal itu saat ditemui di Gedung MUI Kota Tangerang dalam pertemuan wali kota dengan tokoh agama dan masyarakat, warga yang tinggal di kompleks perumahan Kehakiman dan Pengayoman, serta lurah dan camat se-Kota Tangerang di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, Senin (15/7/2019).
Gedung MUI berdiri di atas lahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan data Kemenkumham yang dimiliki Humas Pemerintah Kota Tangerang, aset lahan yang digunakan Pemkot Tangerang dan belum mendapat izin prinsip dari Kementerian Keuangan untuk gedung MUI Kota Tangerang seluas 2.500 hektar.
Hingga saat ini, lahan gedung MUI belum diserahkan Kemenkumham kepada Pemerintah Kota Tangerang. ”Kami jadi bingung status kantor kami bagaimana karena sampai sekarang belum diserahterimakan,” kata Edi.
Padahal, lanjut Edi, gedung MUI untuk kepentingan warga perlu banyak revitalisasi. Edi bersama pengurus MUI berharap Kemenkumham memberikan kejelasan status tanah dan bangunan tersebut. ”Apabila sudah jelas, ulama bisa ikut membangun sarana prasarana ibadah,” kata Edi.
Ia berharap Pemkot duduk bersama dengan Kemenkumham untuk menyelesaikan berbagai polemik lahan Kemenkumham tersebut.
Lahan Kemenkumham
Berdasarkan data dari Humas Kota Tangerang, lahan keseluruhan milik Kemenkumham di Kota Tangerang pada tahun 1985 seluas 1.740.000 meter persegi. Sebagian lahan tersebut telah dipindahtangankan kepada pihak swasta, kemudian terbangun Pasar Induk Tanah Tinggi dan ruislag menjadi Pusat Grosir Beras dan Mal Tangerang City total seluas 138.640 meter persegi.
Lahan tersebut juga telah dihibahkan kepada Pemerintah Kota Tangerang seluas 83.324 meter persegi untuk Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, masjid dan akses jalannya pada tahun 1998 (79.100 meter persegi), irigasi Sukasari tahun 2005 (3.043 meter persegi), dan pelebaran Jalan Perintis Kemerdekaan pada tahun 2008 (1.181 meter persegi).
Lahan untuk pemerintah pusat unit vertikal seluas 16.837 meter persegi. Lahan ini bersifat alih status Kementerian Keuangan. Juga lahan tersebut lepas hak pada tahun 2005 dan 2013 seluas 139.196 meter persegi terdiri dari penjualan kapling ke KPPDK pembangunan perumahan pegawai dan pelepasan hak rumah kepada pegawai.
Selain itu, disewakan kepada swasta dan perseorangan seluas 166.840 meter persegi. Sampai Juni tahun 2012, total penggunaan lahan ini sudah mencapai 986.463 meter persegi.
Lahan yang terpakai itu belum termasuk aset yang digunakan Pemerintah Kota Tangerang dan belum mendapatkan izin prinsip dari Kementerian Keuangan, yakni Pasar Babakan seluas 25.000 meter persegi yang sudah dipergunakan sejak 2007, akses jalan tembus Pusat Pemerintahan Kota Tangerang seluas 26.000 meter persegi, dan lahan gedung MUI 2.500 meter persegi.
Tegakkan aturan
Pemerhati masalah perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta, Nirwono Joga, mengatakan, Pemerintah Kota Tangerang dan Kemenkumham harus mematuhi aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) yang sudah ditetapkan dalam peraturan daerah (perda).
Jika memang RTRW dan RDTR Kota Tangerang dan Provinsi Banten mengatur peruntukan lahan pembangunan Kampus Politeknik Ilmu Pemasyarakatan dan Politeknik Imigrasi adalah untuk ruang terbuka hijau (RTH), Pemkot tidak boleh menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB).
Bahkan, Pemkot berhak menyegel bangunan yang sudah berdiri di atas lahan tersebut. Sementara Kemenkumham sebagai lembaga hukum pusat seharusnya memberi contoh untuk taat dengan peraturan.
”Kalau pelanggaran ini diteruskan, bagaimana masyarakat dan pihak swasta akan mematuhi RTRW dan RDTR tersebut. Sebagai lembaga hukum pusat, seharusnya Kemenkumham memberi contoh untuk taat dengan peraturan,” kata Nirwono, Selasa (16/7/2019).
Kalau pelanggaran ini diteruskan, bagaimana masyarakat dan pihak swasta akan mematuhi RTRW dan RDTR tersebut. Sebagai lembaga hukum pusat, seharusnya Kemenkumham memberi contoh untuk taat dengan peraturan.
Ia menanggapi adanya permasalahan atas lahan Kemenkumham di Kota Tangerang karena Pemkot Tangerang tidak mengeluarkan IMB atas pembangunan kampus politeknik tersebut yang berdasarkan RTRW dan RDTR lahan itu masih merupakan lahan pertanian sebagai ruang terbuka hijau.
Saat peresmian kampus politeknik yang dibangun tanpa IMB tersebut, Menkumham Yasonna Laoly sempat menyindir Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mencari gara-gara karena Pemkot Tangerang menuding pembangunan gedung saat itu tidak mengantongi IMB.
Arief juga disindir karena mewacanakan lahan Kemenkumham sebagai lahan pertanian di kawasan sekitar Pusat Pemerintah Kota Tangerang di Jalan Satria Sudirman, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Tangerang.
Atas tudingan itu, Arief melayangkan surat bernomor 593/2341-Bag Hukum/2019 tentang nota keberatan dan klarifikasi Wali Kota atas pernyataan Menkumham tersebut.
Bahkan, terhitung Senin (15/7/2019), Pemkot memboikot pelayanan lampu penerangan jalan umum, perbaikan jalan dan drainase, serta pengangkutan sampah di perkantoran milik Kemenkumham di Kota Tengerang.
Penghentian operasional pelayanan tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan. ”Sampai ada itikad baik dari Kemenkumham dalam mencari solusi seputar lahan (Kemenkumham) tersebut,” kata Arief.
Sampai ada itikad baik dari Kemenkumham dalam mencari solusi seputar lahan (Kemenkumham) tersebut.
Arief mengatakan, pihaknya menghentikan layanan umum tersebut karena Pemkot Tangerang tidak bertanggung jawab atas lahan yang belum diserahkan kepada Pemkot.
Ia menambahkan, dirinya sudah meminta bertemu Menkumham, tetapi pertemuan tersebut belum terealisasi.
Menurut dia, polemik pengelolaan lahan di Kota Tangerang sudah lama terjadi. Bahkan, polemik sudah muncul sejak Wahidin Halim menjabat sebagai Wali Kota Tangerang, dua periode sebelumnya, sekitar tahun 2012.
Arief menginginkan kejelasan untuk kepentingan bersama, yakni masyarakat Kota Tangerang.
Tata ruang prinsip utama otonomi daerah
Senada dengan Nirwono, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, prinsip utama dalam penerapan otonomi daerah adalah tata ruang. Bahwa segala regulasi terkait bidang pemerintahan daerah termasuk di dalamnya adalah tata ruang.
Menurut Endi, polemik yang terjadi antara daerah otonomi dan lembaga sektoral atau kementerian/pemerintah pusat adalah puncak gunung es yang sewaktu-waktu akan mencair.
Menurut Endi, polemik yang terjadi antara daerah otonomi dan lembaga sektoral atau kementerian/pemerintah pusat adalah puncak gunung es yang sewaktu-waktu akan mencair.
Dalam problem desentralisasi atau otonomi daerah di mana antara daerah otonomi daerah dan rezim sektoral, antara lain kementerian, sering tidak ketemu.
Daerah otonom menerapkan regulasi yang terkait dengan bidang pemerintahan daerahnya, termasuk di dalamnya tata ruang. Sementara lembaga datang dengan rezim sektoralnya, terutama kementerian menunjukkan ego sektoralnya.
Sebagai KPPOD, kata Endi, pihaknya memberikan rujukan segala hal yang terkait investasi, apalagi pembangunan suatu gedung atau bangunan besar harus disesuaikan dengan peruntukan.
”Peruntukan (lahan) ini dapat dilihat dari RTRW suatu daerah dan dalam RDTR lebih mendetail karena sudah diatur blok-blok atau persil-persil peruntukan. Dalam prinsip otonomi, hal-hal yang tidak sesuai atau tidak berbasis pada tata ruang, tidak sesuai dengan peruntukan, itu tidak boleh terjadi,” kata Endi.
Ia mengatakan, basis dalam penyelenggaraan pemerintahan otonomi dapat melihat apakah sebuah rencana investasi atau pembangunan gedung atau apa pun dari RTRW dan RDTR. Bahkan, rencana pembangunan, termasuk RKPD RKPMJ, tidak boleh menabrak rencana tata ruang yang sudah ada dalam RTRW dan RDTR suatu daerah otonomi.
Jika ada yang melakukan pelanggaran atau aturan yang sudah ada ditabrak, pasti terjadi lagi pelanggaran ke mana-mana dan menjadi tidak berujung. Dalam sebuah daerah otonomi, kata Endi, tata ruang menjadi basis pegangan dari pemerintah setempat.
”Pemerintah daerah otonom memiliki kewenangan mengatur peruntukan lahan wilayahnya. Ini prinsip otda (otonomi daerah). Kalau tidak sesuai dengan peruntukan, siapa pun tidak bisa memaksakan suatu pembangunan atau suatu investasi di daerah itu. Komitmen pemerintah daerah tidak bisa dilanggar hanya karena rencana kementerian atau lembaga lain untuk membangun sesuai keinginan atau kepentingan mereka meski di lahannya sendiri,” ujar Endi.
Ia memberikan contoh tabrak aturan dilakukan lembaga sektoral, misalnya daerah telah menetapkan kawasan hutan lindung. Akan tetapi, oleh ESDM mereka mengeluarkan izin pertambangan di dalam hutan lindung tersebut. Hal ini melanggar prinsip otonomi daerah. Dan, hal seperti ini terjadi di semua daerah.
”Ini membuktikan adanya keegoisan sektoral. Ini mengacaukan otonomi daerah. Dan, yang pasti pelanggaran ini akan diikuti pihak lainnya, termasuk swasta serta perseorangan,” kata Endi.
Ini membuktikan adanya keegoisan sektoral. Ini mengacaukan otonomi daerah. Dan, yang pasti pelanggaran ini akan diikuti oleh pihak lainnya, termasuk swasta serta perseorangan.
Ia menegaskan, Pemerintah Kota Tangerang dan pemerintah daerah lain harus menegakkan aturan tentang tata ruang. Kalau sampai dikompromikan, dampaknya dapat lari ke mana-mana sehingga akan mengacaukan tata ruang daerah dan menghancurkan kota dan masa depan kotanya.
Endi sangat mengapresiasi Wali Kota Tangerang yang berani menegakkan aturan RDTR dan RTRW dengan tidak memberikan IMB atas kampus politeknik yang bangunannya berdiri di atas lahan peruntukan untuk RTH.
”Saya bisa memahami kalau Wali Kota Tangerang keukeuh dengan aturan RTRW dan RDTR karena itulah pegangan daerah atas tata ruang dan tata wilayah di daerahnya,” ujar Endi.
Ia juga berharap kementerian terkait mendesak semua daerah di Indonesia memiliki RDTR dan RTRW. ”Dari 542 daerah se-Indonesia, hanya ada 52 daerah yang sudah memiliki RDTR. Masih kecil,” katanya.
Nirwono mengatakan, RTH sangat penting lebih dari sekadar paru-paru kota. Makanya, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan perkotaan bekerja sama membangun RTH.
Menurut dia, Kemenkumham sebagai lembaga hukum pusat tersebut seharusnya menyediakan RTH (privat) seluas 30 persen. Lahan RTH ini tidak boleh dibangun. Tak hanya Kemenkumham, dari seluruh luasan wilayah Kota Tangerang, Pemkot juga tetap harus menyediakan lahan baru untuk menambah luas RTH publik kota.
Endi juga sependapat dengan penyediaan RTH di lahan Kemenkumham dan Kota Tangerang. ”Penyediaan RTH harus ditegakkan,” katanya.
Prihatin saling lapor
Nirwono menyatakan keprihatinan atas upaya hukum yang melaporkan Wali Kota Tangerang kepada Polres Metro Tangerang.
Menurut dia, sebagai institusi hukum, seharusnya Kemenkumham (pemerintah pusat) justru harus memberikan dukungan kepada pemda yang berniat menegakkan aturan tata ruang secara benar dengan memberikan contoh taat dan patuh terhadap RDTR Kota Tangerang dan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Adanya pelaporan Kemenkumham terhadap Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah, lanjutnya, malah mempertegas contoh buruk kepada masyarakat.
”Kalau begini, bagaimana bisa membangun kota dengan tertib. Kemenkumham seharusnya bersikap tegas dan meminta maaf kepada Wali Kota Tangerang atas pelanggaran yang sudah terjadi selama ini dengan segera memproses bangunan yang sudah terbangun tanpa IMB agar perseteruan lahan Kemenkumham tidak semakin berkepanjangan,” tuturnya.
Ia mengatakan, seharusnya Kementerian ATR/BPN juga segera menjelaskan kepada Kemenkumham terkait tata ruang. Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga mendukung penuh Wali Kota Tangerang untuk menegakkan peraturan dan kepatuhan terhadap RDTR dan RTRW tersebut.
Baca juga: Kemenkumham dan Pemkot Tangerang Saling Lapor Polisi
Baca juga: Tanpa IMB, Politeknik Disegel