Kembali Terulang, Caleg Satu Partai Berebut Kursi Hingga ke MK
Seperti pemilu sebelumnya, ketatnya persaingan antar caleg untuk meraih kursi, tidak hanya terjadi antarpartai tetapi juga dari partai politik yang sama. Ketatnya persaingan berujung di MK. Catatan Perludem, ada 94 perkara yang ditangani MK saat ini, di mana caleg memperkarakan raihan suara caleg dari partai yang sama.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketatnya persaingan antar calon anggota legislatif atau caleg untuk meraih kursi, tidak hanya terjadi antarpartai tetapi juga dari partai politik yang sama. Ini mengulang fenomena yang terjadi di pemilu sebelumnya.
Ketatnya persaingan itu berujung pada gugatan hasil pemilu legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada 94 perkara yang ditangani MK saat ini, di mana calon anggota legislatif (caleg) mempersoalkan raihan suara caleg dari partai yang sama.
“Jumlah sengketa internal partai tertinggi diajukan Partai Gerindra sebanyak 32 perkara. Kemudian Golkar sebanyak 22 perkara. Selanjutnya, Partai Demokrat, 13 perkara, dan Partai Kebangkitan Bangsa 12 perkara,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil saat Perludem memaparkan hasil analisanya atas perkara sengketa hasil pemilu legislatif 2019 yang ditangani MK, di Jakarta, Senin (15/7/2019).
Selain itu, sengketa juga diajukan Partai Hanura, PBB, PDIP, PKS, dan PPP. Setiap partai mengajukan dua perkara. Sementara Partai Nasional Aceh, Perindo, PAN, Partai Nasdem, dan Partai Sira, masing-masing mengajukan satu perkara.
Fenomena caleg satu partai berebut kursi hingga ke MK terjadi pula di Pemilu Legislatif 2014. Saat itu, ada 118 perkara sengketa internal partai.
Menurut Fadli, kemunculan perkara sengketa internal mengindikasikan kecurangan tidak hanya dilakukan caleg untuk mengalahkan caleg dari partai politik lain tetapi caleg dari partai yang sama. Salah satu modus yang biasa terjadi adalah jual beli suara.
“Hal itu (jual beli suara) juga yang disebut dalam beberapa permohonan,” ujar dia.
Perkara sengketa internal partai bisa juga muncul karena caleg tidak puas dengan mekanisme partai dalam menyelesaikan perselisihan antarcaleg.
“Ketika mereka merasa dirugikan dan mekanisme internal partai tidak bisa menyelesaikannya, wajar jika mereka mengambil jalur hukum,” ujar Fadli.
Proporsional terbuka
Sementara Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi menilai, perkara sengketa internal partai merupakan efek dari penerapan sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009.
Sistem tersebut membuka ruang caleg konflik dengan caleg lain dari partai yang sama di tengah partai berkompetisi dengan partai lain untuk meraih suara. Sebab dalam sistem itu, jumlah suara yang diraih oleh caleg turut menentukan terpilih atau tidaknya caleg tersebut.
Bahkan dia mensinyalir, caleg sengaja mencuri suara caleg lain dari partai yang sama. Dengan cara itu, pencurian suara tidak terdeteksi oleh penyelenggara dan pengawas pemilu karena raihan suara partai tidak berubah. Berbeda jika suara caleg dari partai lain yang dicuri, akan mengubah raihan suara partai, sehingga lebih mudah ketahuan.
“Ini merupakan strategi negatif yang berupa kecurangan untuk memenangkan pemilu,” kata Veri.
Kerja keras caleg
Namun Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade menyebut banyaknya perkara sengketa internal yang diajukan caleg Gerindra menunjukkan kerja keras dari caleg Gerindra untuk bisa terpilih.
“Hal itu menunjukkan bahwa semua kader bekerja keras untuk serius memenangkan kontestasi pileg,” kata Andre.
Andre menambahkan, partai menghormati ikhtiar kader untuk menuntut hak karena merasa dicurangi. Pihaknya memberikan ruang bagi mereka untuk membawa kekecewaan tersebut ke ranah hukum. Apapun putusan MK, partai akan melaksanakannya.