Pansel Tak Peduli Integritas Calon, Kepatuhan LHKPN Tak Dipertimbangkan
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia Corruption Watch atau ICW menyesalkan panitia seleksi calon pimpinan KPK yang meloloskan para penegak hukum dari Kepolisian Negara RI yang tidak patuh dalam melaporkan harta kekaayaan. Dalam seleksi selanjutnya, panitia seleksi diharapkan dapat lebih memperhatikan isu integritas.
“Sangat disesalkan panitia seleksi calon pimpinan (pansel capim) KPK tidak memperhatikan isu kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari pendaftar yang berasal dari unsur penyelenggara negara, aparatur sipil negara, dan institusi penegak hukum,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangan pers, Jumat (12/7/2019).
Kurnia menyebut, seharusnya LHKPN dapat dijadikan salah satu penilaian dari sisi administrasi. Sebab, bagaimanapun kepatuhan melaporkan LHKPN menjadi salah satu indikator dari integritas pejabat publik.
Harus dipahami bahwa LHKPN merupakan suatu kewajiban hukum bagi setiap penyelenggara negara. Hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999, UU Nomor 30 Tahun 2002, dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016.
“Untuk itu seharusnya jika ditemukan dari para penyelenggara negara, aparatur sipil negara ataupun penegak hukum yang belum pernah atau tidak memperbarui LHKPN-nya di KPK, maka sudah sewajarnya pansel capim KPK tidak meloloskan calon tersebut,” tegas Kurnia.
Seharusnya jika ditemukan dari para penyelenggara negara, aparatur sipil negara ataupun penegak hukum yang belum pernah atau tidak memperbarui LHKPN-nya di KPK, maka sudah sewajarnya pansel capim KPK tidak meloloskan calon tersebut
Sebelumnya, pansel capim KPK telah meloloskan 192 nama kandidat dari 376 pendaftar yang lolos seleksi administrasi. Dari total nama kandidat tersebut, ada 13 anggota Kepolisian Negara RI (Polri) yang lolos.
Dari catatan Kompas, ada tujuh perwira tinggi Polri yang belum melaporkan kembali LHKPN pada 2019. Ketujuh pati Polri tersebut, yakni Inspektur Jenderal (Irjen) Coki Manurung (2018), Irjen Abdul Gofur (2017), Brigadir Jenderal (Pol) Muhammad Iswandi Hari (2015), Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto (2015), Brigjen (Pol) Agung Makbul (2014), Brigjen (Pol) Juansih (2007), dan Brigjen (Pol) Sri Handayani (2007).
Sementara itu, ada juga dua pati Polri yang meski telah melaporkan LHKPN, namun terlambat dari yang seharusnya, yaitu pada Maret di setiap tahunnya. Mereka adalah Irjen Antam Novambar dan Irjen Dharma Pongrekum, yang masing-masing melaporkan LHKPN pada Juli dan Mei 2019.
Kandidat yang berasal dari institusi penegak hukum akan lebih baik diberdayakan di Polri atau pun Kejaksaan
Kurnia menyampaikan bahwa untuk tahap selanjutnya pansel capim KPK juga harus memastikan bahwa rekam jejak para pendaftar Pimpinan KPK tidak pernah tersandung persoalan masa lalu. Untuk menilai poin ini sebenarnya dapat menggunakan beberapa indikator.
“Misalnya, dari para pendaftar harus dipastikan bersih dari catatan hukum. Selain itu persoalan yang juga cukup penting adalah terkait dugaan pelanggaran etik para pendaftar pada lembaga terdahulu. Jangan sampai jika ada figur yang pernah diduga melanggar etik justru terlewat dan malah diloloskan oleh pansel capim KPK,” tutur Kurnia.
Peneliti ICW lainnya, Wana Alamsyah menyampaikan bahwa nama-nama kandidat yang berasal dari institusi penegak hukum akan lebih baik diberdayakan di Polri atau pun Kejaksaan. Mengingat dua institusi penegak hukum tersebut belum terlihat baik dalam hal memaksimalkan pemberantasan korupsi.
Sebagai catatan, hasil survei penilaian integritas oleh KPK pada 2017 menunjukkan, keseriusan kepolisian dalam memberantas korupsi masih tergolong rendah. Rata-rata penilaian integritas berada pada skor 66. Sementara Polri menempati skor yang rendah, yaitu 54,01 dibandingkan lembaga pemerintah pusat dan daerah. (Kompas, 22 November 2018).
Wana mengingatkan, untuk tahap selanjutnya jika para penegak hukum aktif tersebut tetap diloloskan, maka yang bersangkutan harus mengumumkan akan mundur dari institusinya terdahulu ketika terpilih menjadi Pimpinan KPK. Ini penting untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan ketika menangani sebuah perkara yang mana pelaku berasal dari institusinya terdahulu.
“Hal ini menjadi pekerjaan serius bagi pansel untuk dapat memastikan bahwa figur yang mencalonkan kali ini tidak membawa agenda-agenda tertentu yang dapat melemahkan KPK,” tegas Wana.
Menanggapi penilaian ini, Ketua Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih menegaskan bahwa dalam seleksi administrasi, proses seleksi tidak sampai kepada LHKPN. Bahkan dalam seluruh proses seleksi capim KPK, tidak ada tentang LHKPN.
“Kecuali tentang pembuatan surat pernyataan bahwa apabila terpilih, maka harus menyerahkan LHKPN, selain berhenti sementara dari jabatannya atau tidak rangkap jabatan. LHKPN harus diserahkan setelah menjabat,” ujarnya saat dihubungi.
Namun, Yenti beserta pansel capim KPK tidak menutup masukan dari masyarakat, termasuk ICW. Ia menuturkan, apabila memang yang menyatakan persoalan tersebut mempunyai bukti, maka silakan dilaporkan kepada pansel.
“Aturan mengenai LHKPN itu memang tidak ada sanksinya. Ini yang harus diurus dan kami juga akan membahasnya dalam pansel capim KPK,” ujar Yenti.
Tentu ini menjadi langkah awal bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap memantau proses pemilihan Pimpinan KPK. Dengan proses seleksi yang ketatat, diharapkan agar nantinya para komisioner yang terpilih benar-benar memiliki integritas, rekam jejak, serta dapat menjaga independesinya.