Target penyediaan air baku sebanyak 67,52 meter kubik per detik dipastikan sulit tercapai hingga akhir tahun ini. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang dapat disediakan saat ini baru sekitar 30 meter kubik per detik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target penyediaan air baku sebanyak 67,52 meter kubik per detik dipastikan sulit tercapai hingga akhir tahun ini. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang dapat disediakan saat ini baru sekitar 30 meter kubik per detik.
Terkait program itu, dana yang dapat disediakan Rp 15,4 triliun dari kebutuhan Rp 26,5 triliun.
”Sampai dengan akhir tahun ini baru bisa separuh dari target, sekitar 30 meter kubik per detik yang bisa dipenuhi,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi dalam jumpa pers, Jumat (12/7/2019), di Jakarta.
Ia menambahkan, air baku dibutuhkan untuk menyuplai sistem penyediaan air minum (SPAM) regional karena tidak setiap daerah memiliki sumber air baku. Dengan adanya SPAM regional, air baku dari satu sumber dapat disuplai ke beberapa daerah, misalnya SPAM Regional Wosusokas yang mencakup Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, dan Sragen.
Kebutuhan air baku terus meningkat di kawasan perkotaan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kebutuhan di DKI Jakarta sebesar 26 meter kubik per detik, tetapi Bendungan Jatiluhur melalui Saluran Tarum Barat hanya menyuplai 16 meter kubik per detik.
Untuk menambah pasokan di wilayah Jabodetabek, dibangun Bendungan Karian di Banten. Jika selesai pada 2020, bendungan tersebut akan memasok air baku ke Cilegon, Serang, Tangerang Selatan, dan DKI Jakarta. DKI Jakarta akan mendapat 3 meter kubik per detik.
Menurut Suprayogi, kajian tentang Rencana Induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) mencakup penyediaan air baku bagi DKI Jakarta. Kebutuhan air baku mesti dipenuhi bukan dari mengambil air tanah, tetapi dari bendungan atau air yang nantinya tertampung di tanggul laut. Jika air tanah terus diambil, muka tanah akan terus turun.
Direktur Operasi dan Pemeliharaan Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Agung Djuhartono menambahkan, berdasarkan studi pada 2010, Jakarta memerlukan pasokan air baku setidaknya 44 meter kubik per detik. Namun, sampai saat ini masih ada kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan.
Persoalannya, banyak pemerintah daerah yang membangun kawasan kota baru atau hunian baru tanpa memperhitungkan daya dukung, terutama untuk memenuhi air baku.
”Pemda minta sambungan baru untuk kompleks hunian baru atau mendukung pengembangan kota ke PDAM. Lalu PDAM minta ke pusat. Masalahnya, kan, ketersediaan air di tiap-tiap daerah beda-beda,” ujar Agung.
Menurut Suprayogi, program pembangunan 65 bendungan sejak 2015 salah satunya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan air baku. Bandungan Tilong dan Raknamo di Nusa Tenggara Barat, misalnya, dibangun untuk memenuhi kebutuhan air baku Kota Kupang dan sekitarnya.
Hingga akhir tahun 2019, dari 65 bendungan yang diprogramkan, sebanyak 29 ditargetkan akan selesai dan 36 bendungan tahap konstruksi. Dalam waktu dekat, 3 bendungan akan selesai dan beroperasi, yakni Sei Gong, Sindang Heula, dan Paselloreng. Sementara pada 2021 sampai 2023, direncanakan akan dibangun 15 bendungan baru.
Dari sisi konsumsi air, rata-rata konsumsi air orang Indonesia sebesar 53 meter kubik per kapita per tahun. Sementara Thailand sudah 1.500 meter kubik per kapita per tahun. Jika 65 bendungan jadi, angka itu akan meningkat menjadi 100 meter kubik per kapita per tahun.
Sementara itu, peneliti dari Amrta Institute, Nila Ardhianie, mengatakan, untuk meningkatkan akses air minum masyarakat Indonesia hingga 100 persen, diperlukan dana yang besar. Sampai dengan akhir 2018, tingkat akses air minum baru mencapai 72 persen. Untuk meningkatkan menjadi 100 persen, diperlukan pendanaan yang mencapai Rp 235,85 triliun.
”Dari sisi kebutuhan, dengan pertambahan penduduk dan terjadinya perubahan gaya hidup, dibutuhkan air dengan jumlah lebih banyak dan higienis. Jadi, permintaan semakin tinggi,” kata Nila.