Saat Tim Liga Kompas Terjebak Kudeta Berdarah di Turki
Jumat (12/7/2019), tim Liga Kompas akan berangkat menuju Gothenburg, Swedia untuk mengikuti Piala Gothia 2019. Sebanyak 18 pemain didampingi ofisial akan mengikuti turnamen sepak bola usia muda yang sering disebut Piala Dunia-nya anak-anak dan diikuti tim-tim dari seluruh penjuru dunia itu.
Para pemain berasal dari tim-tim Sekolah Sepak Bola peserta Liga Kompas Kacang Garuda U-14 yang berkompetisi selama 30 pekan. Mereka adalah para pemain terbaik yang dipilih oleh para pemandu bakat.
Banyak cerita dan pengalaman menarik selama tim LKG mengikuti turnamen Piala Gothia. Salah satu pengalaman paling berkesan dan mencekam dialami tim Liga Kompas saat mengikuti Piala Gothia 2016, yang berlangsung 17-23 Juli 2016.
Saat itu, peristiwa tak terduga terjadi karena tim terjebak kudeta berdarah di Turki. Kudeta yang gagal itu disebut dilakukan oleh kalangan militer untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, menyebabkan ratusan orang tewas.
Saat itu, saya ditugaskan kantor untuk meliput sekaligus menjadi manajer tim LKG. Keberangkatan dari Jakarta, Jumat (15/7/2016), berlangsung dengan lancar. Tak ada tanda-tanda apa pun.
Di tengah kegelapan langit di atas ketinggian sekitar 35.000 kaki, sekitar pukul 01.00 dini hari waktu setempat, tiba-tiba datang kabar mengejutkan. Pesawat Turkish Airline dengan nomor penerbangan TK 0057 dari Jakarta tujuan Istanbul yang kami tumpangi harus dialihkan ke Antalya, sebuah kota resor di tepi Laut Mediterania. Kabar itu kami terima saat pesawat Boeing 777 itu sekitar tiga jam lagi mendarat di Istanbul, Turki.
Penumpang pun terkaget-kaget. Tidak ada pengumuman jelas dari awak pesawat mengenai alasan pengalihan itu. Mereka hanya menyebutkan ada alasan teknis. Ternyata, alasan sesungguhnya sangat mengejutkan dan menakutkan. Ada kudeta berdarah di Turki yang menyebabkan bandara di Istanbul ditutup untuk semua penerbangan. Pesawat yang berangkat dari Jakarta sekitar pukul 21.00 WIB, harusnya mendarat di Istanbul sekitar pukul 04.45 waktu setempat
Baca juga: Razia Telepon Genggam hingga Lemparan Batu
Penumpang yang masih terkantuk-kantuk pun sebagian perpandangan, kaget tak percaya. Oleh karena tidak ada internet di penerbangan, penumpang pun kebingungan, sebagian sibuk mencari informasi. Ada yang bertanya ke awak kabin, ada yang mencari di sistem hiburan pesawat yang di antaranya menghadirkan menu berita.
"Tadi saya baca di informasi breaking news BBC, ada kudeta di Turki. Pesawat tidak bisa mendarat di Istanbul, dialihkan ke Antalya," kata Nyoman, salah satu ofisial tim LKG-SKF (nama tim LKG-SKF dipakai karena tim ini disponsori oleh SKF). Ofisial lainnya yang mendampi diantaranya pelatih Saut Lumban Tobing dan Direktur Kompetisi Liga Kompas Novi Krisnawan (almarhum).
Kebingungan mewarnai para penumpang yang banyak di antaranya hendak melanjutkan penerbangan dari Istanbul ke kota-kota lain di Eropa seperti Gothenburg, Roma, dan lainnya. Para penumpang penerbanganan TK 0057, termasuk anggota tim sepak bola LKG-SKF, harus menunggu di Antlya tanpa kejelasan.
Pesawat sempat tertahan di tarmac bandara selama beberapa jam sebelum para penumpang diizinkan turun menuju terminal. Sangat terasa kalau suasana tidak normal. Para petugas bandara tidak bisa menjelaskan situasi yang ada.
Baca juga: Tersengat Alarm Kecelakaan di Pantura
Para penumpang tidak mendapat pemberitahuan kapan mereka bisa melanjutkan penerbangan ke kota tujuan. Sejumlah penumpang sibuk mencari informasi apa yang sebenarnya terjadi di Turki. Bertanya kepada petugas di bandara tidak banyak membantu karena mereka juga terlihat kebingungan dengan situasi yang terjadi di negara mereka.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi yang menghubungi Kompas dan sejumlah warga negara Indonesia lain yang terjebak di Turki meminta agar tetap tenang. Warga yang terjebak di bandara juga diminta agar tidak keluar bandara. Kementerian Luar Negeri menyiapkan sejumlah nomor telepon yang bisa dihubungi jika ada warga yang memerlukan bantuan.
Kapten tim LKG-SKF Indonesia Mahmud Cahyono saat itu mengatakan, ia berharap bisa segera melanjutkan perjalanan kembali ke Gothenburg. Pasalnya, mereka akan menjalani laga perdana pada Senin (18/7). Namanya anak-anak, mereka belum banyak tahu apa itu kudeta yang membuat mereka tertahan di Turki.
Namun, terasa sekali kekhawatiran karena mereka mendengar begitu banyak korban jiwa dari berita di televisi. Meski begitu, yang lebih mereka khawatirkan waktu itu bukan keselamatan, melainkan gagal bertanding di Piala Gothia. Pasalnya, anak-anak ini telah berjuang mati-matian selama satu musim dan menjalani latihan keras untuk menghadapi turnamen tersebut. Para pemain yang rata-rata masih berusia 14-15 tahun ini berusaha mengusir kekhawatiran dengan menyanyikan lagu-lagu penyemangat yang biasa dinyanyikan para suporter.
Harapan
Belum sempat tertidur nyenyak di hotel di Antalya, Minggu (17/7) dini hari, tim harus terbang menuju Bandara Ataturk Istanbul. Perasaan waktu itu sangat lega karena kami memang sangat berharap untuk bisa segera keluar dari Turki. Jika tidak segera sampai ke Gothenburg, kami bakal ketinggalan jadwal pertandingan perdana.
Namun, ternyata harapan itu segera sirna. Begitu sampai Istanbul, semua penerbangan keluar Turki penuh, termasuk ke Gothenburg. Kami pun kembali terkatung-katung di bandara. Semua usaha kami tempuh agar segera mendapat tiket menuju Gothenburg namun kursi tidak tersedia karena jumlah rombongan kami yang mencapai 26 orang. Kami mendatangi hampir seluruh konter penerbangan yang ada di bandara. Tim dari Kedutaan Besar RI di Turki juga membantu proses pencarian tiket penerbangan. Hasilnya nihil.
Akhirnya, kami harus menginap lagi. Kami pun dibawa dengan bus keluar bandara menuju sebuah hotel di tengah Kota Istanbul.
Sebagai wartawan, keinginan untuk meliput peristiwa berdarah itu pun muncul. Namun karena waktu itu saya bertugas sebagai ofisial yang harus mengawasi anak-anak usia belasan tahun, yang banyak diantaranya belum pernah bepergian sendiri keluar kota, apalagi keluar negeri, niat untuk meliput kudeta di Istanbul saya urungkan. Situasi waktu itu sangat mencekam. Meski demikian, sejumlah tulisan mengenai suasana maupun sekilas pandangan mata Kota Istanbul saya kirim ke Jakarta.
Beberapa usaha kami lakukan agar tim tidak terlambat sampai di Gothenburg karena turnamen segera dimulai, termasuk melalui lobi teman di Jakarta ke maskapai Turkish Airline. Di tengah ketidakpastian, kabar gembira datang setelah tim akhirnya mendapatkan tiket Turkish Airlines ke Gothenburg berkat atensi khusus dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan jajarannya. Jonan meminta pihak Turkish menerbangkan rombongan tim LKG-SKF yang beranggotakan 26 orang ke Gothenburg, Senin (18/7) pukul 14.30 waktu setempat.
Penerbangan itu sehari setelah turnamen dimulai. Akibatnya, tim LKG-SKF harus merelakan laga pertama berakhir dengan kekalahan Walk Over (WO), 0-3, karena terlambat sampai ke Gothenburg.
Meski telah mendapat tiket, ternyata masalah belum usai karena keluar dari Istanbul pun tidak semudah yang kami kira. Petugas imigrasi di bandara sempat menahan kami sekitar satu jam. Mereka menanyakan mengapa kami bisa masuk Turki (keluar bandara) di Antalya.
Menlu Retno yang mendengar kabar itu langsung meminta perwakilan pemerintah, yaitu di Konsulat Jenderal RI di Turki, untuk menjelaskan masalah itu. Staf Konjen RI yang datang di Ataturk lantas membantu tim LKG-SKF, termasuk WNI lainnya, melobi Imigrasi Turki. Setelah dijelaskan bahwa bukan keinginan kami untuk masuk Turki, melainkan karena kondisi darurat kudeta, barulah kami dilepas menuju pesawat untuk ke Gothenburg.
Pantang menyerah
Sesampai di Gothenburg, para pemain tak bisa istirahat karena pertandingan telah menanti. Namun meski tampil dalam kondisi tak ideal setelah menjalani perjalanan melelahkan, tim LKG-SKF membuat langkah mantap dalam penyisihan grup. Mahmud Cahyono dan kawan-kawan langsung memetik dua kemenangan pada dua laga Grup 34 kategori B15 (Boys 15), Selasa (19/7). Pada laga pertama, tim LKG-SKF Indonesia menang 5-0 atas Enskede IK3 (Swedia). Pada pertandingan kedua di hari yang sama, mereka menang 3-1 atas Manchester Grammar School (Inggris).
Namun, target untuk menjadi juara grup telah sirna karena kalah WO melawan Korsnas IF yang memimpin grup. Untungnya mental dan semangat tim masih kuat. Akhirnya, tim LKG-SKF memastikan lolos ke babak playoff sebagai runner-up grup setelah pada laga terakhir mengalahkan Vanersborgs IF dengan skor telak 3-0, Rabu (20/7) pagi.
Pada babak playoff, tim LKG-SKF bertemu lawan asal Brasil, Pinheiros EC. Kondisi pemain yang sempat terkatung-katung tiga hari di Turki membuat fisik dan mental pemain terkuras. Apalagi, mereka harus bermain dua kali dalam sehari. Laga playoff dengan sistem gugur ini berlangsung sore harinya, hanya beberapa jam setelah laga terakhir penyisihan grup.
Keberuntungan rupanya belum memihak pada tim LKG-SKF. Langkah mereka pun terhenti setelah kalah adu penalti melawan wakil Brasil. Adu penalti dilakukan karena laga waktu normal berakhir dengan skor imbang 1-1. Kekalahan itu terasa lebih menyakitkan mengingat bantuan dan dukungan sejumlah pihak saat terjebak kudeta di Turki supaya tim bisa selamat mendarat di Swedia.
Namun, hasil lolos penyisihan grup sunguh luar biasa mengingat ujian yang harus dihadapi untuk para pemain seusia mereka ini. Tidak hanya kelelahan fisik, mental mereka pun harus mendapat ujian yang sangat berat.
Para pemain remaja itu harus terdampar di negeri orang serta menghadapi situasi politik dan keamanan yang tidak pasti, jauh dari orang tua. Mereka terjebak di tengah kudeta militer Turki yang menewaskan 232 orang. Mereka dalam ketidakpastian selama hampir tiga hari, apakah bisa melanjutkan penerbangan ke Gothenburg atau tidak.
Secara total, tim asuhan pelatih Saut Lumban Tobing ini terdampar di dua kota, Antalya dan Istanbul. Di Antalya, mereka terjebak di bandara selama sekitar 14 jam dan di bandara Istanbul 19 jam. Selama terdampar, mereka tidak bisa istirahat dan makan secara layak.
Meski didera beragam masalah, perjuangan para pemain muda ini patut dibanggakan. Mereka tetap bermain penuh semangat, memberikan yang terbaik di tengah kelelahan dan persiapan yang berantakan karena kejadian di Turki. Mereka pun tidak menjadikan situasi dan kondisi yang mereka hadapi sebagai alasan kegagalan mereka melaju ke babak berikutnya.
Kekalahan adalah bagian dari perjuangan. Pengalaman tersebut telah menempa para pemain muda itu untuk belajar, dan memperbaiki diri. Piala Gothia telah mengajari mereka nilai-nilai sportivitas, keadilan (fairness), spirit main bersih (fair play), kerja keras, pantang menyerah, dan kerja sama tim.