Peristiwa yang mengganggu keharmonisan hubungan antarumat beragama kembali terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah warga Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, menolak pendirian sebuah gereja di lingkungannya, sementara gereja itu sudah mengantongi IMB dari Pemerintah Kabupaten Bantul.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Peristiwa yang mengganggu keharmonisan hubungan antarumat beragama kembali terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah warga Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, menolak pendirian sebuah gereja di lingkungannya. Padahal, gereja itu sudah mengantongi izin mendirikan bangunan dari Pemerintah Kabupaten Bantul.
Gereja yang ditolak pendiriannya adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu yang berlokasi di RT 034, Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo. Gereja yang didirikan Pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) itu telah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Bantul pada 15 Januari 2019.
Akan tetapi, sejumlah masyarakat Kampung Gunung Bulu menyatakan menolak pendirian gereja tersebut. Alasannya, pada tahun 2003, Sitorus telah menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian bahwa bangunan miliknya itu hanya akan digunakan untuk tempat tinggal.
Pada tahun 2003, Sitorus telah menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian bahwa bangunan miliknya itu hanya akan digunakan untuk tempat tinggal.
”Warga keberatan dengan keberadaan tempat ibadah di tempatnya Pak Sitorus karena dari awal kesepakatannya tempat itu bukan untuk tempat ibadah,” kata tokoh masyarakat Kampung Gunung Bulu, Hanif Suprapto (46), seusai mediasi di Kantor Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019).
Hanif menuturkan, karena sudah ada surat pernyataan yang dibuat tahun 2003, warga merasa keberatan bangunan milik Sitorus di Kampung Gunung Bulu digunakan sebagai gereja. Apalagi, menurut dia, warga merasa tidak dilibatkan dalam pengajuan IMB GPdI Immanuel Sedayu.
Oleh karena itu, lanjut Hanif, warga Kampung Gunung Bulu menuntut bangunan milik Sitorus tersebut tidak lagi digunakan sebagai gereja. ”Kami menuntut masalah ini segera diselesaikan agar tidak terjadi konflik,” katanya.
Di pihak lain, Sitorus menjelaskan, dirinya awalnya membeli tanah seluas 335 meter persegi di Kampung Gunung Bulu tahun 2002. Pada 2003, Sitorus mulai membuat bangunan di atas tanah tersebut. Semula, bangunan itu akan digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, dalam proses pembangunan, muncul penolakan dari masyarakat sekitar.
Bahkan, Sitorus menambahkan, pada 2003, bangunan miliknya yang tengah dalam proses pembangunan itu dirobohkan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Setelah perobohan itu, Sitorus diminta menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian bahwa bangunan miliknya hanya digunakan untuk tempat tinggal.
Namun, menurut Sitorus, dirinya berada dalam tekanan saat menandatangani surat pernyataan tersebut. ”Kami merasa berada dalam tekanan. Yang membuat pernyataan itu bukan saya, tapi saya disuruh tanda tangan. Sampai sekarang saya tidak pernah punya salinannya,” tuturnya.
Kami merasa berada di dalam tekanan. Yang membuat pernyataan itu bukan saya, tapi saya disuruh tanda tangan. Sampai sekarang saya tidak pernah punya salinannya.
Selanjutnya, ujar Sitorus, pada 2017, dirinya mengajukan permohonan IMB untuk pendirian GPdI Immanuel Sedayu. Permohonan IMB diajukan setelah terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadat. Dalam perbup itu, dinyatakan bahwa Pemkab Bantul memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat yang sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006.
Permohonan yang diajukan Sitorus itu kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan IMB pada 15 Januari 2019. Pada April 2019, Sitorus mulai menggelar peribadatan di bangunan seluas 105 meter persegi tersebut. Peribadatan dilakukan setiap hari Minggu dengan jumlah jemaat sekitar 50 orang.
Sitorus menuturkan, pihaknya tetap akan melanjutkan peribadatan di GPdI Immanuel Sedayu. Sebab, gereja tersebut sudah memiliki IMB yang sah. Namun, dia juga meminta aparat untuk menjaga keamanan dan keselamatan jemaat.
”Peribadatan itu adalah hak semua orang karena itu hak asasi. Bagi saya, beribadah itu wajib karena itu adalah kebutuhan spiritual. Saya serahkan kepada aparat untuk menengahi karena kami butuh perlindungan untuk beribadah,” ucap Sitorus.
Sementara itu, Camat Sedayu Fauzan Mu’arifin mengatakan, pihaknya telah coba memediasi pimpinan GPdI Immanuel Sedayu dan warga Kampung Gunung Bulu. Namun, mediasi itu belum berhasil mencapai kesepakatan di antara kedua pihak. Hal ini karena kedua pihak kukuh pada sikap masing-masing.
Oleh karena itu, Fauzan menyatakan, persoalan tersebut akan dilimpahkan ke Pemkab Bantul. ”Dengan hasil itu, masalah ini akan kami limpahkan ke Bapak Bupati untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya.
Saat dihubungi secara terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul Helmi Jamharis mengatakan, pihaknya akan memeriksa kembali prosedur penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu untuk mencari tahu apakah penerbitan IMB itu telah sesuai aturan atau tidak. Pencermatan dilakukan dengan memeriksa kembali dokumen-dokumen terkait IMB gereja tersebut.
Agar nanti semua clear (jelas), kami akan mencermati tentang prosedur penerbitan IMB itu. Nanti akan kami kumpulkan dokumen-dokumen yang mendasari terbitnya IMB itu.
”Agar nanti semua clear (jelas), kami akan mencermati tentang prosedur penerbitan IMB itu. Nanti akan kami kumpulkan dokumen-dokumen yang mendasari terbitnya IMB itu, apakah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan bupati atau tidak,” ujar Helmi.
Dia menambahkan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Pemerintah Kecamatan Sedayu, Pemerintah Desa Argorejo, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bantul, serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Bantul. ”Nanti kami akan cermati masing-masing berkas apakah ada mala-administrasi atau tidak,” kata Helmi.