Kebijakan Cukai Kantong Plastik Tak Hambat Investasi
Kemenkeu mengusulkan tarif cukai terhadap kantong plastik Rp 30,000 per kilogram atau Rp 200 per lembar, dengan standar 150 lembar per kilogram. Tarif cukai tertinggi diberikan pada kantong plastik paling tidak ramah lingkungan.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rencana penerapan cukai untuk kantong plastik dipastikan tidak menghambat investasi petrokimia untuk bahan baku plastik di Indonesia. Kebijakan itu diharapkan mendorong industri untuk mendiversifikasi bahan produksi kantong plastik dan mengurangi penggunaan kantong plastik konsumen.
Pekan lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan usulan penerapan tarif cukai kantong plastik sebesar Rp 30.000 per kilogram kepada Komisi XI DPR. Kebijakan fiskal itu dibuat untuk mengendalikan konsumsi plastik yang berdampak negatif, antara lain bagi lingkungan.
Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, Selasa (9/7/2019), mengaku, belum melihat dampak negatif usulan tarif cukai kantong plastik bagi industri terkait wacana tersebut. Sejauh ini, Kemenperin masih akan terus mendorong investasi di industri bahan baku plastik.
"Kami akan tetap dorong mereka agar bisa merealisasikan investasinya karena peluang pasarnya besar sekali. Dengan kebutuhan 7 juta ton plastik setiap tahun, kita baru bisa menyediakan 2,3 juta ton bahan baku. Padahal, setiap tahun kebutuhan naik rata-rata lima persen. Jadi, siapapun investornya pasti tertarik, dan kami akan usahakan agar tetap ke sini," tuturnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa.
Kemenperin mencatat, saat ini ada 925 perusahaan yang memproduksi 7,23 juta ton berbagai macam produk plastik pada 2018. Sekitar 60 persen produksi tersebut berupa plastik jenis Polyethylene (PE) dan Polypropylene (PP) yang biasa digunakan untuk kemasan makanan dan minuman, sedotan plastik, hingga botol.
Kantong plastik sendiri, kata dia, hanya sebagian kecil dari total produksi tersebut. Namun, pelarangan penggunaan kantong plastik oleh sejumlah kebijakan pemerintah daerah beberapa tahun terakhir menurut para pelaku industri telah membuat produksi plastik turun 20 persen.
"Kalau kebijakan cukai ini diberlakukan pasti akan lebih menurunkan kapasitas produksi industri plastik secara keseluruhan. Jadi, mungkin ke depan perlu ada diversifikasi produk kantong plastik. Nanti kami akan tindak lanjuti setelah ada implelmentasinya," lanjut Achmad.
Diversifikasi bahan produksi
Di sisi lain, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kebijakan cukai kantong plastik tidak akan membebani produsen yang memproduksi plastik untuk kebutuhan yang tidak tergantikan. Hal itu seperti produksi plastik untuk pembungkus makanan atau alat kesehatan.
Kebijakan cukai kantong plastik akan lebih mendorong produsen untuk mendiversifikasi bahan kantong plastik dengan bahan yang lebih ramah lingkungan.
"Kami berharap ini mendorong mereka memproduksi plastik mudah terurai, yang dikenakan tarif cukai lebih murah," katanya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pengembangan Industri Plastik dengan Berorientasi Pada Lingkungan" di Kemenperin.
Tidak dibebani
Dalam pembahasan terakhir, Kemenkeu mengusulkan tarif cukai terhadap kantong plastik Rp 30,000 per kilogram atau Rp 200 per lembar, dengan standar 150 lembar per kilogram. Tarif cukai tertinggi diberikan pada kantong plastik paling tidak ramah lingkungan. Sementara itu, untuk kantong plastik yang lebih ramah lingkungan akan diberikan tarif cukai yang lebih murah.
Selain itu, Nirwala menegaskan, tarif cukai tidak dibebankan bagi pelaku industri plastik, melainkan kepada konsumen. Perusahaan plastik bahkan akan diberikan kelonggaran waktu untuk membayarkan cukai kantong plastik ke pemerintah.
"Cukai memang dipungut dari perusahaan, tapi ada kelonggaran pembayaran sampai satu bulan," kata dia.
Kebijakan cukai kantong plastik didorong karena kantong plastik masih menjadi mayoritas dari sampah plastik yang dibuang di dalam negeri. Saat ini, dari 65 juta ton sampah yang dibuang setiap tahun, sebanyak 40 juta ton (61,5 persen) di antaranya adalah kantong plastik.
Manajemen sampah
Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rachmat Hidayat, menilai, sampah kantong plastik memang belum dilihat sebagai sampah yang bernilai tambah. Hal itu berbeda dengan sampah kemasan minuman yang banyak dicari untuk didaur ulang menjadi produk bernilai ekonomis.
"Kalau kantong plastik kenapa tidak? Masalahnya sekarang, bagaimana kantong plastik ini dibuang dengan benar di tempat terpisah. Kalau sudah terpisah, teman-teman pemulung akan mudah mengambilnya dan bisa langsung dijual ke tempat daur ulang," tuturnya.
Dengan demikian, Rachmat mengatakan, kunci dari pengelolaan sampah kantong plastik ada pada manajemen sampah dari rumah tangga ke pengelola akhir. Hal itu juga senada dengan pendapat Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rifai.
"Kebijakan cukai ini memang bisa jadi jalan pintas untuk mengontrol sampah plastik. Tapi kalau manajemen sampahnya tidak digerakkan, ini akan percuma. Kami berharap, itu jadi perhatian agar plastik ini punya nilai tambah dengan menjalankan sistem ekonomi sirkular," ujarnya.
Sistem ekonomi sirkular adalah sistem yang mempertahankan nilai sebuah produk agar dapat digunakan secara berulang, baik dengan cara mendaur ulang atau penggunaan kembali. Untuk mewujudkan itu, Edi meminta pemerintah agar fokus dalam menyediakan sistem pengumpulan sampah dan mengoptimalisasi manajemen di tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA).