Sepanjang periode Januari hingga Juni 2019, tercatat 508 kasus gizi buruk dan 2.221 kasus gizi kurang di Provinsi Papua.
Oleh
FABIO COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sepanjang periode Januari hingga Juni 2019, tercatat 508 kasus gizi buruk dan 2.221 kasus gizi kurang di Provinsi Papua. Jumlah kasus berpotensi bertambah karena belum semua kabupaten melaporkan status gizi anak ke provinsi.
Demikian hasil laporan pantauan status gizi anak yang dikumpulkan Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Papua selama enam bulan terakhir. Laporan itu berasal dari 18 kabupaten dan 1 kota.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Papua Salmon Dwaa, saat ditemui di Jayapura, Selasa (9/7/2019), mengatakan, pihaknya mewajibkan dinas kesehatan di 28 kabupaten dan 1 kota untuk melaporkan status gizi anak setiap bulan.
Dari laporan status gizi 19 daerah yang sudah masuk, tercatat kasus gizi buruk tertinggi terdapat di Nabire (125 kasus), Merauke (124 kasus), dan Intan Jaya (105 kasus). Sementara di Asmat, daerah yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk pada 2018, terdapat 35 kasus gizi buruk.
Kasus gizi buruk tak hanya terjadi di daerah pedalaman Papua. Dari laporan status gizi ini, terungkap 10 kasus gizi buruk terjadi di Kota Jayapura dan 16 kasus gizi buruk di Kabupaten Jayapura. Kedua wilayah itu merupakan daerah perkotaan.
Sementara jumlah kasus gizi kurang tertinggi terdapat di Merauke (343 kasus), Biak Numfor (336 kasus), dan Kepulauan Yapen (307 kasus). ”Setelah mendapatkan data, kami langsung melaporkan status gizi anak dari seluruh wilayah di Papua ke Kementerian Kesehatan,” kata Salmon.
Ia menuturkan, terdapat 10 daerah di Papua yang belum melaporkan status gizi anak hingga bulan Juni karena terkendala sejumlah masalah. Daerah tersebut meliputi Paniai, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Sarmi, Supiori, Mamberamo Raya, Nduga, Puncak, dan Deiyai.
Idealnya, untuk daerah yang memiliki sinyal telekomunikasi, laporan status gizi anak dikirimkan setiap bulan dengan batas waktu hingga tanggal 10. Sementara daerah yang terkendala jaringan telekomunikasi diberi batas waktu hingga tiga bulan.
”Masalah yang sering kali menghambat pengiriman data status gizi anak dari setiap puskesmas karena faktor geografis yang sulit, minimnya sarana telekomunikasi, dan faktor keamanan di lokasi tugas tenaga kesehatan,” ucap Salmon.
Ia menambahkan, Dinas Kesehatan Papua akan melaksanakan kegiatan bimbingan teknis di daerah-daerah yang belum menuntaskan laporan status gizi anak. ”Dalam kegiatan tersebut, kami juga akan meminta laporan status gizi yang terselesaikan di daerah-daerah itu,” ujarnya.
Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Papua Christine Siregar menuturkan, minimnya kesadaran tenaga kesehatan untuk melaporkan hasil temuan gizi buruk disebabkan sejumlah faktor. ”Minimnya laporan disebabkan petugas tidak terjun ke lapangan untuk memantau kondisi anak dan belum adanya tindakan dari pemda apabila pelaporan tidak berjalan rutin,” katanya.
Ia pun memaparkan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masih terjadi kasus gizi kurang hingga gizi buruk di Papua, yakni pola asuh, minimnya kesadaran orangtua untuk membawa anaknya ke posyandu, minimnya layanan kesehatan, dan masalah ekonomi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pegunungan Bintang Jeremias Tapyor, ketika dikonfirmasi, mengatakan, tidak ada unsur kesengajaan sehingga menyebabkan laporan status gizi anak dari Pegunungan Bintang belum terkirim ke Dinas Kesehatan Papua.
”Tenaga kesehatan di Pegunungan Bintang selalu terkendala dua masalah utama dalam melaksanakan tugasnya, yakni tidak tersedianya jaringan telekomunikasi yang memadai dan sarana transportasi udara yang menjangkau seluruh wilayah pedalaman,” ungkap Jeremias.