MA Dinilai Abaikan Produk Hukumnya Sendiri
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat terus menuai kritik dan kecaman dari berbagai kalangan. Berbagai komentar dan pernyataan terus ditujukan kepada Mahkamah Agung.
“Dalam mengadili kasus Baiq Nuril, Mahkamah Agung mengabaikan produk hukumnya sendiri yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan,” ujar Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ninik Rahayu, Minggu (7/7/2019), di Jakarta.
Mahkamah Agung mengabaikan produk hukumnya sendiri yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Padahal menurut Ninik, pertimbangan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tersebut karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi, yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Selain mengabaikan produk hukumnya sendiri, dalam mengadili perkara Nuril, dia menilai ada potensi mal administrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur penanganan pada kasus tersebut. Sebab hakim dalam mengadili kasus ini tidak mempertimbangkan proses sebagaimana yang diatur pada Pasal 6 Perma Nomor 3 Tahun 2017.
Pasal 6 Perma antara lain menyebutkan, hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum harus mempertimbangkan kesetaraan jender dan stereotip jender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis; serta melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan jender.
Pada kasus Baiq, posisi pelaku adalah atasan korban. Karena itu, dalam segala situasi korban dikondisikan sebagai pihak yang tidak ada pilihan lain harus mengikuti perintahnya. Posisi saksi korban adalah orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melawan kehendak atasannya.
“Aparat penegak hukum mulai dari kepolisian yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh jaksa hingga hakim yang mengadili perkara Nuril, gagal menggali keberanian saksi korban dalam mengungkap kasus yang sulit terungkap ini,” ujar Ninik.
Secara terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, mengatakan, MA menolak permohonan PK dari Baiq Nuril karena alasan yang diajukan terdakwa bukan alasan yang diatur dalam undang-undang. “Alasan yang digunakan untuk PK hanya mengulang fakta-fakta yang sudah diputus di pengadilan tingkat pertama dan kasasi. Hakim ‘kan terbatas pada apa yang sudah disampaikan yakni alasan-alasannya. Tidak bisa (hakim) mencari-cari alasan,” ujar Abdullah.
Soal sorotan bahwa putusan MA tidak selaras dengan Perma 3/2017, menurut Abdullah, perma tersebut bukan berarti harus membebaskan orang bersalah, tetapi bagaimana memperlakukan perempuan dan anak dalam proses persidangan yang menjunjung tinggi HAM.
Perma tersebut bukan berarti harus membebaskan orang bersalah, tetapi bagaimana memperlakukan perempuan dan anak dalam proses persidangan yang menjunjung tinggi HAM
“Jadi bukan berarti kalau perempuan harus dibebaskan walaupun bersalah. Tidak boleh seperti itu. Jadi bagaimana memperlakukan terdakwa, saksi maupun korban yang berperspektif jender, serta tidak bertanya yang menyudutkan,” kata Abdullah.
Ada kekeliruan
Sementara itu, tim penasihat hukum Nuril, Joko Sumadi dan Aziz Fauzi menyatakan alasan Nuril mengajukan PK sudah sesuai dengan UU. Pasal 263 ayat (1) huruf c KUHAP dengan jelas menentukan salah satu alasan PK adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.
“Alasan itulah yang kami pakai. Salah satu poin di permohonan PK yang dibuat tim penasihat hukum itu terkait kekeliruan hakim yang mempertimbangkan bukti elektronik berupa salinan rekaman dan hasil cetaknya sebagai alat bukti untuk memidanakan terdakwa,” kata Aziz.
Bukti tersebut, menurut penasihat hukum, tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat komulatif bukti elektronik dalam Pasal 5 dan 6 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yaitu karena "tidak dapat dijamin keutuhannya" dan "dapat dipertanggungjawabkan".
Sebagian besar saksi sudah menyatakan baik rekaman maupun hasil cetaknya (transkrip) itu berbeda isinya dengan yang pernah para saksi dengar di sekolah, ada nama L (juga korban) yang hilang atau dipotong) di awal dan pertengahan percakapan. Hal itu membuat rekaman itu menjadi tidak jelas siapa yang dibicarakan.
“Jadi, secara kedudukan rekamannya sudah tidak utuh sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya tidak memenuhi syarat sebagai bukti hukum yang mengikat sebagai perluasan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP,” ujar Aziz.
Berjuang mendapatkan amnesti
Meski sangat terpukul dan kecewa dengan putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali, Baiq Nuril bertekad mencari keadilan. Bersama dengan tim penasihat hukumnya, Nuril kini berjuang untuk mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Rencananya Senin (8/7/2019) Baiq Nuril bersama tim penasihat hukum akan berangkat ke Jakarta menemui Menteri Hukum dan HAM serta mendatangi Kantor Staf Presiden.
Kasus Nuril berawal pada 2014 ketika dia dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan. Pasalnya, M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung pada laporan M ke Polres Mataram awal 2017.
Nuril pun didakwa dengan UU ITE karena mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril dituntut enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Majelis hakim PN Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril, namun jaksa mengajukan kasasi dan diterima MA.