Penolakan PK Baiq Nuril Cermin Negara Gagal Lindungi Perempuan
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat menuai kritik dan kecaman dari masyarakat. Selain dinilai sebagai kemunduran hukum bagi Indonesia, penolakan MA atas PK Baiq mencerminkan negara gagal melindungi perempuan dalam kasus pelecehan seksual.
Di Jakarta, sepanjang hari Jumat (5/7/2019), berbagai pernyataan berisi kecaman disuarakan masyarakat. Berbagai lembaga/organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril menggalang petisi #AmnestiUntukNuril #SaveIbuNuril melalui laman: www.change.org. Hingga Jumat, pukul 19.30 WIB, sudah hampir 250.000 tandatangan yang mendukung petisi yang menyuarakan “Amnesti Untuk Nuril: Jangan Penjarakan Korban!
Bagi Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril putusan MA tersebut sangat mengecewakan. MA seharusnya dapat menilai dan memiliki perspektif dalam mengadili kasus Nuril tersebut. Putusan itu tidak sejalan dengan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
“Perma tersebut mengatur, dalam pemeriksaan perkara hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan jender dan non diskriminasi dalam proses identifikasi fakta persidangan. Namun pertimbangan itu gagal untuk dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidanaan Nuril,” ujar Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bestha Inatsan Ashila.
Perma Nomor 3/2017 mengatur, dalam pemeriksaan perkara hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan jender dan non diskriminasi dalam proses identifikasi fakta persidangan.
Melalui Pasal 3 Perma tersebut hakim wajib mengindentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum. Hal ini jelas dialami oleh Baiq Nuril yang merupakan korban kekerasan seksual.
Apresiasi pada presiden
Sebaliknya, masyarakat sipil memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang berjanji menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan Kepala Negara.
“Putusan atas kasus tersebut sekali lagi menunjukkan pentingnya segera dibahas dan disahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Ratna Batara Munti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) menilai putusan MA yang menolak PK Nuril menunjukkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi mimpi buruk yang mengerikan bagi para korban yang memberanikan diri untuk menyuarakan kasus pelecehan seksual yang menimpa diri mereka.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi mimpi buruk yang mengerikan bagi para korban yang menyuarakan kasus pelecehan seksual yang menimpa diri mereka.
Karena itu, selain mendesak agar amnesti diberikan ke Nuril, SAFEnet dan Amnesty International Indonesia juga mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapus pasal-pasal karet di UU ITE termasuk Pasal 27-29 UU ITE. “Pasal-pasal ini telah banyak digunakan untuk melawan ekspresi yang sah dalam standar hak asasi manusia internasional dan keberadaannya akan menggerus kebebasan berekspresi di Indonesia,” ujar Damar Juniarto dari SAFENet.
Pelecehan seksual
Peninjauan Kembali di MA merupakan upaya terakhir dari korban pelecehan seksual, Baiq Nuril Maknun. Kasus yang menimpa mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, berawal pada 2014 ketika dia dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja, dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan, sebab M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung pada laporan M ke Polres Mataram pada awal 2017.
Nuril pun didakwa dengan UU ITE karena mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril ditahan dua bulan, kemudian dituntut enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Majelis hakim PN Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril.
Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Pada 26 September 2018 MA menjatuhkan vonis kepada Nuril enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta sumsider 3 bulan penjara. Nuril kemudian menggunakan upaya hukum terakhir dengan mengajukan PK ke MA. Namun Jumat (5/7/2019) MA melalui juru bicaranya menyatakan bahwa perkara PK dengan Pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak. Ini berarti MA menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Nuril.