JAKARTA, KOMPAS — Ketidakajekan koordinasi antara aparat pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menghasilkan informasi simpang siur terkait Penerimaan Peserta Didik Baru. Masa sosialisasi selama empat bulan belum dimanfaatkan secara maksimal.
Demikian topik keluhan masyarakat terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020 yang diadukan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Posko pengaduan PPDB di KPAI dibuka pada 20 Juni-4 Juli. Total ada 95 pengaduan yang terdaftar. Pengaduan tersebut berasal dari 33 kabupaten/kota di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Yogyakarta, Bali, Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat.
"Terungkap dari aduan ternyata masih banyak wali murid yang tidak mengetahui bahwa mereka sebenarnya bisa mengadu ke dinas pendidikan kabupaten/kota untuk masalah di PPDB SD dan SMP ataupun ke dinas pendidikan provinsi untuk jenjang SMA," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Jakarta, Jumat (5/7/2019), dalam acara peluncuran laporan aduan masyarakat terkait PPDB.
Retno menjelaskan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB diterbitkan pada Desember 2018 dan disosialisasikan ke pemda pada Februari 2019. Bagi pemda yang sudah memiliki peta zonasi, pelaksanaannya relatif tidak bermasalah. Namun, juga ada pemda yang hingga awal tahun 2019 tidak memiliki peta wilayah, persebaran sekolah per jenjang pendidikan, dan persebaran siswa.
Ditambah kurangnya koordinasi antarlembaga, pelaksaan PPDB menjadi terkendala. Misalnya, sistem zonasi yang diterapkan kaku dan berbasis batas administrasi wilayah sehingga bagi kecamatan yang tidak memiliki SMA para lulusan SMP-nya tidak bisa mendaftar ke SMA negeri.
"KPAI mendorong agar pemda menerapkan zonasi lintas wilayah administrasi dan mempertimbangkan pendirian sekolah negeri baru di kecamatan tanpa SMP, SMA, dan SMK negeri," ujar Retno. Contoh daerah yang menerapkannya dalam tiga tahun berjalannya sistem zonasi adalah Kalimantan Barat yang menambah satu SMAN di Pontianak dan Kabupaten Bekasi (Jawa Barat) membangun tujuh SMPN.
KPAI mendorong agar pemda menerapkan zonasi lintas wilayah administrasi dan mempertimbangkan pendirian sekolah negeri baru di kecamatan tanpa SMP, SMA, dan SMK negeri.
Dari sisi pemahaman wali murid tampak masih minim karena di beberapa kota seperti Surabaya dan Tangerang, mereka mengantre dari subuh hingga sore, bahkan malam, demi mendapat nomor urut atas. Padahal, PPDB menggunakan sistem daring.
Wali murid cukup membawa berkas ke sekolah untuk diverifikasi dan setelah itu diberi kata sandi (token) untuk mendaftar di laman resmi PPDB. Pendaftaran dilakukan di telepon pintar atau komputer masing-masing. Setelah itu, sistem komputer otomatis mengurut nama siswa berdasar zona dan jarak rumah ke sekolah.
DKI Jakarta ditegur
Sejumlah daerah menyalahi aturan PPDB. DKI Jakarta, misalnya, ditegur karena menggunakan nilai Ujian Nasional sebagai syarat masuk. Alasannya karena Jakarta menerapkan sistem zona, bukan radius. Semua anak dalam satu zona diurutkan nilai UN-nya oleh sekolah dan diterima berdasarkan faktor tersebut. Sistem ini juga dikritisi oleh Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Jakarta Raya Teguh Nugroho. (Kompas, 28 Juni 2019)
Retno mengatakan, hal ini jelas menyalahi aturan zonasi. Apabila kuota tinggal sedikit dan masih banyak kandidat calon siswa, baru boleh menggunakan nilai UN sebagai tolak ukur. Apabila jumlah kandidat tersaring masih banyak, digunakan aspek usia, yaitu anak dengan usia lebih tua yang diterima. Kalau belum bisa menyeleksi juga, baru dilihat nomor antreannya.
Apabila kuota tinggal sedikit dan masih banyak kandidat calon siswa, baru boleh menggunakan nilai UN sebagai tolak ukur.
"Untuk wilayah seperti Jakarta, semestinya bisa dipakai sistem skor dalam memilih siswa baru. Artinya, faktor jarak rumah ke sekolah mencakup 60 persen dari penilaian terhadap seorang anak, 40 persen sisanya baru dilihat dari nilai UN," ucapnya.
Batas usia
Ia juga mengungkapkan keluhan wali murid mengenai anak-anak yang usianya lebih tua dari batas penerimaan tidak diterima di sekolah. Misalnya, untuk masuk SMP usia siswa harus 15 tahun. Mereka yang berusia di atas itu akibat dulu terlambat masuk SD ditolak oleh sistem.
Sekretaris Jenderal Kemdikbud Didik Suhardi yang dihubungi pada kesempatan berbeda mengatakan bahwa aturan tersebut memang ada sebelum tahun 2018. Per 2018 tidak ada lagi batas usia maksimal siswa karena sekolah harus menerapkan wajib belajar 12 tahun. "Tidak masalah jika anak tersebut lulus SD di usia lebih tua dari rata-rata," katanya.